Food For Thought: Manusia tanpa nurani

Manusia tanpa nurani!

Indonesia digemparkan oleh berita penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto oleh Syahril Amansyah alias Abu Rara, dan Fitri Andriana di kawasan Pandeglang, Banten. Tentu saja berita ini menggemparkan seluruh negeri karena Wiranto bukanlah orang biasa-biasa. Dia seorang purnawirawan, pejabat publik dan mestinya dikawal dengan ketat oleh penjaga keamanannya. Namun kali ini beliau sepertinya kurang dijaga sehingga Abu Rara dan Fitri leluasa menghujamkan senjata tajamnya ke perut Wiranto.

Reaksi terhadap peristiwa keji ini berdatangan dari berbagai lapisan masyarakat. Ada orang yang masih memiliki hati nurani sehingga mengutuk tindakan kekerasan melawan pejabat publik ini. Konon Abu Rara dan Fitri termasuk dalam jaringan ISIS. Tindakan semacam ini memang sangat disayangkan. Orang seperti ini beraksi dulu baru berpikir tentang akibat-akibat setelah melakukan tindakan kekerasan ini.

Ada orang yang seolah-olah kehilangan nurani dan pikirannya. Reaksi-reaksi yang muncul di media sosial menunjukkan betapa rendahnya kualitas hidup sebagai manusia yang punya hati dan mau hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Hati nurani orang-orang itu sudah tidak normal lagi. Misalnya, ada yang mengaitkan peristiwa Wiranto dengan peristiwa Novel Baswedan yang disiram air keras pada wajahnya beberapa tahun yang lalu. Ada yang berpikir bahwa Wiranto sedang membuat pencitraan. Ada yang bahkan mengutuk-ngutuk Wiranto di media sosial seperti ini: Mereka berharap supaya beliau lenyap sekalian dari muka bumi ini. Ada yang mengatakan bahwa peristiwa Wiranto terlalu dibesar-besarkan kalau dibandingkan dengan para korban kerusuhan di Papua. Memang orang berkoar-koar tentang Papua tetapi tidak mengetahui medannya di sana. Ada yang mengatakan bahwa karma sedang melanda Wiranto. Ada yang bahkan menghubungkan peristiwa Wiranto dengan kekurangan pemerintahan saat ini. Sebenarnya terlalu jauh menghubung-hubungkan peristiwa-peristiwa ini dengan suasana penderitaan yang sedang dialami sesama kita.

Sebenarnya, apa yang masih kurang dalam hidup ini? Kita perlu merasa sedih karena kultur orang-orang sedang berubah ke arah yang radikalis. Orang lain masih memiliki hati nurani tetapi orang lain lagi seolah-olah tidak memiliki hati nurani. Orang tertawa di atas penderitaan orang lain. Kata yang menguasai orang-orang seperti ini adalah ‘kebencian’. Dari Afrika Selatan, Nelson Mandela pernah berkata: “Kebencian adalah seperti meminum racun dan berharap musuhmu yang terbunuh.” Sedangkan dari Amerika, Martin Luther King pernah berkata: “Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya yang bisa melakukannya. Kebencian tidak akan mampu menghapus kebencian; hanya cinta yang mampu melakukannya.”

Kalau kita mengaku masih memiliki hati nurani maka semoga dijauhkan dari rasa benci dan dendam yang berkepanjangan terhadap sesama manusia. Wiranto dengan segala kelebihan dan kekurangan, tetaplah sesama manusia yang perlu kita kasihi di saat dia sedang menderita. Berbeda pandangan bukan menjadi masalah untuk menjadi musuh satu sama lain. Mari kita memiliki hati Tuhan yang ‘lemah lembut dan rendah hati’ supaya mampu mengasihi-Nya dan sesama manusia dengan sepenuh hati.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply