Food For Thought: Suka mempersalahkan orang lain

Suka mempersalahkan orang lain

Apakah anda pernah dan masih memiliki kebiasaan yang satu ini: ‘Suka mempersalahkan orang lain?’ Saya merasa yakin bahwa anda, saya dan kita semua sudah pernah dan akan mempersalahkan orang lain selagi masih bernafas. Ada orang yang mudah mempersalahkan orang lain, dan menjadikan mereka bumper atau sasaran untuk mengungkapkan kekesalan dan kemarahan. Kadang-kadang saya sendiri merasa malu karena suka mempersalahkan orang lain, meskipun kadang saya juga keliru. Memang sangatlah sulit untuk mempersalahkan diri sendiri. Kita butuh waktu supaya memperbaiki diri dari semua kekurangan yang kita miliki.

Kebiasaan mempersalahkan orang lain ini bukanlah hal yang baru. Adam dan Hawa pernah melakukannya dan menjadi dosa turun temurun. Kita membaca dalam Kitab Kejadian (Kej 3: 9-13), bagaimana Tuhan menyapa Adam dan Hawa yang barusan jatuh ke dalam dosa pertama. Pada saat itu Adam merasa malu di hadapan Tuhan sebab ia telanjang. Tuhan bertanya kepadanya apakah ia sudah memakan buah dari pohon yang dilarang Tuhan. Adam mempersalahkan Hawa dan Hawa mempersalahkan ular. Tuhan sungguh baik, sebab itu Ia tetap memberkati manusia yang diciptakan sesuai wajah-Nya sendiri. Hanya ular saja yang mendapat kutukan dari Tuhan. Dapatlah dikatakan bahwa saling mempersalahkan sebagai saudara akan berakhir saat ajal menjemput.

Di dalam keluarga sendiri, saling mempersalahkan masih ada. Orang tua mempersalahkan anak-anak, anak-anak mempersalahkan orang tua. Kakak mempersalahkan adik dan sebaliknya. Para siswa mempersalahkan guru dan sebaliknya. Kita butuh waktu untuk mawas diri, mengontrol diri supaya tidak mudah mempersalahkan sesama manusia. Setiap kali kita gagal dalam hidup maka kita selalu kesulitan untuk mengakuinya. Kita mencari alasan untuk membenarkan diri, seolah-olah kita itu suci adanya. Padahal nyatanya kita masih hidup sebagai orang berdosa, yang masih terus berjuang untuk menjadi yang terbaik bagi Tuhan dan sesama. Kesulitan untuk menerima diri apa adanya, minder dengan orang lain karena alasan-alasan tertentu.

Paulo Coelho pernah berkata: “Tidaklah mudah untuk menjelaskan kesusksesan, lebih mudah menjelaskan kegagalan dengan seribu satu alasan.” Saya sepakat dengan perkataan ini. Betapa mudahnya ketika kita menjelaskan sebab-sebab kegagalan kita dalam pekerjaan, supaya semua orang mengakui bahwa kita pernah gagal. Sebaiknya kita jujur dan mengakui kegagalan kita. Dari kegagalanlah kita belajar untuk menjadi sosok yang berhasil, kuat dan gagah. Maka apakah untungnya kita masih mempersalahkan orang lain dan lupa mempersalahkan dan memperbaiki diri sendiri?

Viva Don Bosco,

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply