Hari Rabu Abu
Yoel 2:12-18
Mzm 51: 3-6a.12-14.17;
2Kor 5:20-6:2
Mat 6:1-6.16-18
“BERBALIKLAH KEPADA TUHAN, ALLAHMU”
(Yoel 2,13)
Banyak di antara kita pasti sudah mendengar kisah kehidupan Santo Agustinus dari Hippo, Uskup dan Pujangga Gereja (354-430). Ia adalah seorang tokoh luar biasa. Daya ciptanya sungguh mengaggumkan, ketajaman dan kelincahan daya berpikirnya diimbangi daya spekulasinya, perhatiannya kepada penggembalaan umat beriringan dengan kesungguhannya dalam membina hidup rohaninya. Namun sebelum mencapai tingkat kematangan rohani seperti ini, Agustinus harus menempuh perjalanan hidup yang sangat berat, suatu perjalanan penuh tantangan, petualangan dan pergulatan hidup. Hatinya terbelenggu oleh berbagai macam kelemahan manusiawi (jatuh dalam dosa). Meskipun demikian, ia mengarahkan hatinya kepada Tuhan dengan berjuang untuk mencari kebenaran sejati dengan sejujur-jujurnya. Dalam ziarah hidupnya itu, ia menemukan hujan rahmat Tuhan yang gilang-gemilang.
Pada saat-saat terakhir menuju pertobatannya, Agustinus menulis: “Sesungguhnya jauhlah dari pikiranku bahwa di dalam kemahMu, orang berharta dianggap lebih penting dari pada yang miskin, yang bangsawan dari rakyat biasa, mengingat apa yang lemah bagi dunia Kaupilih untuk memalukan apa yang kuat dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia Kaupilih, bahkan apa yang tidak berarti seakan-akan berarti, untuk meniadakan apa yang berarti” (Pengakuan Agustinus VIII,9).
Agustinus bertobat. Ia mengarahkan seluruh hidupnya yang sebelumnya dikuasai oleh dosa kepada Tuhan. Hatinya rindu untuk mencari dan bertemu dengan Tuhan serta mencintaiNya kembali. Ia menulis: “Hendaklah orang bertanya kepadaMu, Hendaklah orang mencari dalam diriMu, Hendaklah orang mengetuk di pintuMu. Maka dengan demikian ia bakal menerima, dengan demikian ia bakal menemukan, dengan demikian pintu bakal dibukakan” (Pengakuan Agustinus XIII, 53).
Kita semua adalah Agustinus yang lain. Kisah pertobatan Agustinus ini boleh membantu kita sepanjang masa prapaskah yang hari ini kita mulai dengan perayaan Rabu Abu. Sebentar lagi kita akan menerima abu. Kita perlu sadar bahwa abu yang di tandai di kepala kita masing-masing bukan hanya sebuah ritus belaka dalam hidup kristiani tetapi merupakan tanda kerendahan hati di hadapan Tuhan bahwa kita adalah ciptaanNya yang rapuh yang akan kembali menjadi debu. Menerima abu di kepala juga menyadarkan kita pada rahmat pertobatan, metanoia atau berubah kiblat dari hidup penuh kegelapan dan dosa untuk kembali kepada Tuhan. Sebagai anak-anakNya, prinsip dan doa yang bagus selama masa prapaskah adalah seperti prinsip anak yang hilang: “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa” (Luk 15,18-19.21).
Bertobat atau berubah kiblat kepada Tuhan sebagai Bapa yang baik, hendaklah disertai oleh niat hati yang tulus dan ikhlas. Ada kepercayaan yang teguh seperti santo Agustinus, bahwa Allah itu baik dan Maharahim. Ia tetap mencintai sekalipun kita lemah karena cintaNya setia dan kekal. Ini semua akan membantu menyucikan diri kita dan menguatkan kita untuk mengalami paskah Kristus. Kita menjadi ciptaan baru di dalamNya.
Kisah Agustinus ini juga boleh membuka pikiran kita untuk memahami nubuat Tuhan melalui nabi Yoel tentang pertobatan. Yoel, dalam bacaan pertama bernubuat dengan penuh keyakinan bahwa Allah yang kita imani itu maharahim dan berbelas kasih terhadap orang berdosa, terutama ketika kita memiliki hati yang tulus dan ikhlas, terarah hanya kepadaNya, dan itu bisa diwujud-nyatakan dalam berpuasa. Tuhan bernubuat melalui nabi Yoel bergini: “Sekarang juga berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia”.
Yoel menampilkan sosok Allah yang mengasihi manusia, dan yang menyeruhkan pertobatan: “Berbaliklah kepada Tuhan dengan segenap hati”. Seruan tobat dari Allah ini hendaklah kita jawab dengan gerakan hati untuk berubah menjadi ciptaan baru, hati yang murni seperti doa pemazmur ini: “Kasihanilah aku ya Allah, menurut kasih setiaMu, menurut besarnya rahmatMu, hapuskanlah kesalahanku. Bersihkanlah aku dari kesalahanku dan cucilah aku dari dosaku. Ciptakanlah hati murni bagiku, ya Allah.” (Mazmur 51,3-4.12). Pertobatan yang benar itu ditandai dengan perubahan kiblat hati, hati murni, bukan perubahan eksterior seperti mengoyakan pakaian, karena itu terkadang bisa menjadi tanda kemunafikan manusia saja.
Seruan tobat Allah bagi manusia melalui nubuat Yoel dalam bacaan pertama tadi, dipertegas oleh Santo Paulus dalam bacaan kedua dengan mengingatkan kita semua bahwa bertobat berarti berdamai atau berrekonsiliasi dengan Allah. Berdamai dengan Allah tidak bisa ditunda-tunda lagi tetapi berdamai saat ini juga dan dengan segenap hidup: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Waktu ini, sesungguhnya adalah waktu perkenanan itu. Sesungguhnya hari ini adalah hari penyelamatan Tuhan”.
Marilah kita berdamai dengan Allah (katallassein). Ini adalah suatu ajakan yang bagus! Berdamai dengan Allah berarti kita mentransformasikan hubungan pribadi kita dengan Allah dan sesama. Atas inisiatif Allah juga, Ia menganugerahan kebebasan pada masing-masing pribadi untuk menjadi ciptaan baru dalam Kristus (1Kor 5,18), sebuah kondisi yang menguntungkan kita untuk memenangkan cinta kasihNya. Dari situ kita hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi bagi Dia yang sudah wafat dan bangkit bagi kita yaitu Kristus (1Kor 5,14).
Berubah kiblat dengan mengoyakan hati (Bacaan I) dan ini memampuhkan kita untuk berdamai dengan Tuhan saat ini (Bacaan II), tidak bisa hanya menjadi selogan saja. Sikap bathin ini harus menjadi nyata dalam hidup kita. Tuhan Yesus dalam Injil Matius menganjurkan kepada kita praktek-praktek kesalehan yang tidak lain adalah wujud konkret tobat dan damai. Ada tiga praktek kesalehan yang ditawarkan oleh Tuhan Yesus kepada kita:
Pertama, Melakukan karya amal kasih. Melakukan karya amal kasih ditandai dengan sikap untuk memberi dengan ketulusan hati tanpa perlu meminta balasan: “Apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi”. Nah, kalau memberi dengan tangan kanan, tangan kiri jangan mengetahuinya. Karya amal kasih sangat bermanfaat untuk membangun keadilan dalam hidup bersama. Di samping itu dapat menyadarkan kita untuk membangun rasa solidaritas dan saling berbagi kepemilikan terutama dengan sesama yang berkekurangan, miskin dan tak diperhatikan di dalam masyarakat. Kita boleh melihat hidup kita selama ini. Mungkin banyak kali kita lebih merampas kepemilikan orang lain dengan cara-cara yang bagi kita halal untuk kebaikan diri kita. Janganlah merampas! Bangunlah solidaritas satu sama lain.
Kedua, Doa. Tuhan Yesus hari ini berpesan: “Jikalau engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat yang tersembunyi”. Selama masa prapaskah ini, doa-doa pribadi perlu dan harus ditingkatkan selain doa bersama. Berdoa dengan tekun bisa membantu kita untuk membangun relasi yang lebih mendalam dengan Tuhan yang disapa sebagai Bapa, yang mengampuni dan mengasihi kita. Pesan Yesus: “Berjaga-jagalah dan berdoalah!” Kita boleh melihat dan bertanya dalam hati, sejauh mana perkembangan hidup doa saya? Apakah hidup doa saya bisa membuat saya bersahabat lebih intim dengan Tuhan? Saya aktif dalam kegiatan doa bersama di keluarga, lingkungan dan parokiku?
Ketiga, Berpuasa dan berpantang. Tuhan Yesus berpesan demikian: “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu”. Berpuasa dan berpantang berhubungan dengan kenikmatan tubuh kita seperti terhadap makanan dan minuman, rokok dan hiburan-hiburan duniawi. Namun puasa semacam ini hanyalah menyangkut hal lahiria saja. Berpuasa hendaklah menjadi bagian interior kita. Artinya, berpuasa itu menjadi sebuah ritus yang bisa menyelamatkan dan menampakan realitas penebusan. Berpuasa menjadi “sakramen” atau tanda kekudusan kita.
Ada beberapa hal konkret dalam kaitannya dengan berpuasa selama masa prapaskah ini:
· Pertama, Menghayati Sabda Tuhan setiap hari. Ingat: Bukanlah sebuah puasa yang benar bagi siapa yang tidak tahu bagaimana mengenyangkan dirinya dengan Sabda Tuhan. Santo Ambrosius, Uskup Milano berdoa begini: “Tuhan, Engkau tidak hanya mengenyangkan kami dengan makanan dan minuman tetapi juga dengan setiap perkataanMu”. Berpuasa membuat kita makin mencintai Sabda Tuhan yakni Yesus sendiri yang mengorbankan nyawaNya bagi keselamatan kita.
· Kedua, Berpuasa sebagai tanda pertobatan. Santo Yohanes Krisostomus berkata: “Jangan hanya berpuasa untuk bisa merayakan paskah atau berpuasa untuk salib, tetapi berpuasalah untuk dosa-dosamu”.
· Ketiga, Berpuasa sebagai tanda kita berpantang terhadap dosa atau puasa berbuat dosa. Untuk hal ini santo Agustinus berkata: “Puasa adalah hal yang mengagungkan, yang mengikat semua umat beriman. Kita harus berpantang dan berpuasa dari kesalahan dan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Ini baru namanya puasa yang benar”. Puasa berbuat dosa berarti puasa berjudi, memfitnah, menikmati kepuasan dunia seperti kebiasaan menonton film porno dan menghormati harkat dan martabat manusia terutama kaum lemah!
Semua hal praktis ini kalau dijalankan dengan ketulusan hati dan iman yang kuat maka “Bapamu yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu”.
Hari ini kita menerima abu, tanda pertobatan kita. “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1,15). “Ingatlah manusia, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu” (Kej 3,19). Seruan-seruan ini tidak lain merupakan ungkapan kasih Allah kepada manusia karena Ia senantiasa menyiapkan saat-saat yang baik bagi kita untuk bertobat: “Setiap tahun Engkau memberi kami umatMu, masa tobat, yaitu kesempatan untuk menyiapkan diri supaya dapat merayakan paskah dengan hati yang lapang dan murni. Dalam masa tobat ini Engkau mengajak kami untuk meningkatkan ibadat dan amal kasih dan menerima sakramen-sakramen yang menyegarkan dan mempertebal iman” (Prefasi prapaskah I).
Santo Agustinus menjadi tokoh yang hebat karena ia mau bertobat. Ia mengarahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus, berdamai denganNya sebagai Bapa yang baik dan menghayati kebajikan-kebajikan kristiani yang tidak lain adalah praktek kehidupan Kristus sendiri. Marilah kita memulai lembaran hidup yang baru dalam masa prapaskah ini! Ingatlah saudara, “kita ini abu dan akan kembali menjadi abu” (Kej 3,19). Mari kita berbalik kepada Tuhan, Allah kita, saat ini juga. Amen.
PJSDB