Hari Selasa, Pekan Biasa XVI
Mi 7:14-15.18-20
Mzm 85:2-4.5-6.7-8
Mat 12:46-50
Indahnya bersaudara dengan Yesus Kristus
Dalam suatu pentas seni untuk menghormati Santa Sesilia, 22 Nopember di Bethlehem, seorang frater berkebangsaan Italia bertugas sebagai MC. Ia memperkenalkan semua anggota paduan suara dengan menyapa satu persatu dengan sapaan “saudara” dan beberapa kali mengatakan “saudara-saudaraku sekomunitas”. Orang-orang Palestina yang hadir dalam acara tersebut kebingungan karena melihat frater bule menyapa semua orang berwajah dan kulit Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur dan Timur Tengah sebagai saudara. Setelah selesai semua rangkaian acara, seorang Palestina datang menghampiri frater itu dan berkata kepada frater itu, “Anda menyapa semua orang saudaramu padahal anda berbeda dengan mereka”. Frater itu menjawab, “Ya mereka adalah saudara-saudaraku. Kami telah menjadi saudara karena sama-sama tinggal dalam satu rumah, bekerja dengan semangat yang sama dan kami juga memiliki Yesus Kristus yang sama.” Orang itu mengangguk-angguk dan berkata, “Seandainya kami bangsa Palestina juga merasakan yang sama”.
Kalau kita membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, gambaran relasi antara Allah dan manusia didasarkan pada pilihan Allah semata-mata dan pilihan itu diperkuat dalam ikatan Perjanjian. Ia memanggil Musa untuk membebaskan Bangsa Israel dari perbudakan Mesir, kemudian mengikat mereka dengan Perjanjian di gunung Sinai. Melalui para nabi Allah membaharui ikatan perjanjianNya dengan manusia. Perjanjian dengan manusia menjadi baru dan sempurna dalam diri Yesus Kristus. Meskipun Yesus secara manusiawi adalah orang Yahudi namun Ia memilih mengikuti kehendak Bapa dengan membaharui segala sesuatu. Maka semua orang, baik Yahudi maupun bukan Yahudi yang mengalami kasih Allah Bapa merupakan bagian dari Kristus sendiri. Dengan demikian ikatan kekeluargaan bukan lagi semata-mata ikatan keluarga alamiah (natural family) melainkan ikatan baru yang didasarkan pada kemampuan untuk melaksanakan kehendak Bapa di Surga.
Bacaan Injil hari ini membuka pemahaman relasional yang baru dengan Yesus. Ketika Ia sedang berbicara dengan orang banyak, seorang datang dan berkata bahwa Maria ibuNya dan saudara-saudaraNya ingin menjumpaiNya. Yesus tidak langsung pamit dan pergi menemui mereka. Dia justru mengangkat kepala dan bertanya, “Siapakah ibuKu?” Dan siapakah saudara-saudaraKu? Sambil memandang kepada semua orang yang hadir, Ia berkata, “Inilah ibuKu, inilah saudara-saudaraKu! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak BapaKu di Surga, dialah saudaraKu, dialah saudariKu, dialah ibuKu.” Mungkin bagi kita kedengaran aneh, tetapi Yesus tetaplah Tuhan yang tentunya berbeda dengan Maria ibuNya.
Injil menyadarkan kita semua akan ikatan kekeluargaan yang baru dalam Kristus yang didasarkan pada usaha untuk melakukan kehendak Bapa. Menjadi saudara, saudari dan ibu Yesus berarti mendengar Sabda dengan baik dan melakukannya secara nyata di dalam hidup kita. Pemahaman ini menjadi universal dan menembusi batas-batas relasi antar pribadi manusia. Semua orang dari berbagai suku dan bangsa serta bahasa dapat menjadi saudara karena mengimani Yesus yang sama sebagai Tuhan dan Juru Selamat dunia.
Mengapa kita menjadi saudara di dalam Yesus Kristus? Kata kuncinya adalah taat pada kehendak Allah. Di dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus meskipun Anak Allah rela belajar menjadi taat. Ia berkata, ”Lihatlah, Aku datang untuk melakukan kehendakMu, ya Allah.” (Ibr 10:5-7). Ia mengajar para muridNya untuk berdoa, “Jadilah kehendakMu di bumi dan di Sorga” (Mat 6:10). Sambil siap untuk menderita di Getsemani, Ia masih berdoa, “Bukanlah kehendakKu melainkan kehendakMu” (Mat 26:39). Dia menunjukkan sikapNya sebagai Anak yang taat kepada Bapa. Maria ibunya sudah menunjukkan teladan yakni mentaati kehendak Bapa ketika berkata, “Terjadilah padaku menurut kehendakMu” (Luk 1:38).
Hampir semua orang dapat mengakui dirinya sebagai pribadi-pribadi yang tidak sempurna di hadirat Tuhan. Semua orang mengalami kesulitan untuk mewujudkan diri sebagai pribadi yang sungguh taat pada kehendak Allah. Umat Israel sebagai bangsa terpilih sering jatuh dalam dosa. Tuhan tetap rela untuk mendampingi perjalanan hidup mereka. Nabi Mikha dalam bacaan pertama mengatakan bahwa Allah itu laksana gembala yang mendampingi domba-dombaNya. Ia memiliki kuasa untuk mengampuni dosa-dosa serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran umatNya. Dia juga yang menyayangi kita. Dia menghapus kesalahan-kesalahan dengan melemparkan dosa kita ke tubir-tubir laut. Allah sungguh-sungguh maharahim bagi kita. Oleh karena itu hal yang penting adalah keterbukaan hati kita untuk menerima dan melaksanakan kehendakNya.
Sabda Tuhan pada hari ini membuat kita berbangga karena disapa oleh Yesus sebagai saudara, saudari dan ibu. Tuhan menyapa kita dengan caraNya yang istimewa. Coba bayangkan bahwa Yesus berdiri di hadapanmu dan menyapamu demikian. Bagaimana perasaanmu? Dia tenyata tidak memperhitungkan dosa-dosa dan salah kita tetapi memperhatikan iman kita. Kita dapat menjadi saudara, saudari dan ibu yang baik jika kita melakukan kehendakNya. Maka hiduplah sebagai orang beriman yang baik.
Kita juga berbangga karena Tuhan mengasihi kita apa adanya. Dia laksana gembala yang memperhatikan domba-dombaNya. Dia maharahim, menyayangi, mengampuni, memaafkan dan membuang semua dosa dan salah kita ke tubir-tubir laut. Hebatnya Tuhan di sini adalah Dia tidak menyimpan dendam karena orang berdosa. Memang dalam Kitab Suci sering digambarkan Tuhan murka dengan orang berdosa, tetapi lebih dari itu, Allah tetaplah maharahim yang melupakan dosa-dosa kita. Mengampuni berarti melupakan! Mengapa anda selalu menyimpan dendam terhadap saudaramu?
Doa: Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mengampuni dan menjadikanku saudaraMu. Amen.
PJSDB