St.Laurensius, Diakon dan Martir
2Kor 9:6-10
Mzm 112:1-2.5-6.7-8.9
Yoh 12:24-26
Menjadi martir itu indah
St. Lukas, dalam Kisah Para Rasul memberi kesaksian bahwa ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang Yahudi berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani karena pelayanan kepada para janda mereka diabaikan dalam pelayanan setiap hari (Kis 6:1). Oleh karena itu para rasul mengumpulkan semua murid untuk menyampaikan perlunya pelayan-pelayan tertentu yang melayani kaum miskin sehingga para rasul dapat lebih fokus pada pewartaan Sabda dan Ekaristi. Para rasul lalu menyuruh mereka memilih tujuh orang yang layak dan penuh dengan Roh Kudus untuk menjadi diakon atau pelayan. Para rasul berdoa dan meletakkan tangan di atas kepala para pelayan terpilih (Kis 6: 2-6). Meletakkan tangan di atas kepala adalah tanda para pelayan itu dikuduskan atau ditahbiskan.
Di dalam gereja purba para diakon memiliki peran penting sebagai abdi atau pelayan Tuhan. Setelah Stefanus salah seorang diakon perdana wafat sebagai martir (Kis 7:60), teladannya kemudian diikuti oleh banyak orang yang mau membaktikan diri sebagai diakon untuk berfokus pada pelayanan terhadap orang-orang miskin. Di Roma, terdapat diakon Laurensius yang mengabdikan diri melayani Tuhan sampai meninggal sebagai martir. Laurensius dibakar hidup-hidup karena iman dan cintanya kepada Kristus. Sebagai seorang diakon ia bertugas melayani orang-orang miskin, sakit dan mengajar para katekumen atau calon-calon baptis.
Santu Paulus dalam bacaan pertama menggambarkan satu kekhasan dari para martir yakni sikap memberi dengan sukacita. Allah sendiri mengasihi orang yang memberi dengan sukacita, lebih lagi kalau yang diberikan itu adalah tubuhnya sendiri (kemartiran). Bagi Paulus, orang yang memberi segalanya secara total kepada Tuhan, ia akan tetap dikasihi Tuhan: “Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu, malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan”.
Penginjil Yohanes menggambarkan kemartiran itu ibarat biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Hal ini sama dengan kata-kataYesus sendiri,“Jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Darah para martir itu tertumpah karena iman dan cinta mereka kepada Kristus. Tertulianus, seorang Bapa Gereja pernah menulis, “Darah para martir itu ibarat benih yang ditaburkan dan bertumbuh subur, itulah benih iman kristiani”. Kristus sendiri merupakan martir agung dan karena kematianNya semua orang memperoleh rahmat istimewa yakni hidup baru dan keselamatan kekal. Oleh karena itu satu hal yang diminta oleh Yesus dari kita adalah pemberian diri: “Barang siapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayanKu akan berada. Barang siapa melayani Aku, ia dihormati Bapa”. Gereja pada perkembangan awalnya bertumbuh subur dan bertahan hingga saat ini karena darah para martir.
Kemartiran pada zaman ini sudah mulai bergeser maknanya. Kita tidak lagi memahaminya secara sempit yakni menumpahkan darah demi Kristus. Kemartiran berarti mengorbankan diri dalam pelayanan-pelayanan kita. Sekecil apa pun pelayanan, itu adalah tanda kemartiran kita. Jadi menjadi martir dapat bermakna ketika kita melakukan tugas pelayanan dengan baik, tidak bersungut-sungut tetapi setia melakukannya sampai tuntas. Kemartiran juga berarti menjadi saudara bagi semua orang. Kita melayani berarti kita mau menjadi saudara bagi semua orang.
Saya menutup renungan ini dengan sebuah kisah. Leo Tolstoy adalah seorang penulis besar dari Rusia. Pada suatu kesempatan ia melewati sebuah lorong kecil dan berjumpa dengan seorang pengemis. Tolstoy membuka dompetnya hendak mengambil uang dan memberinya kepada si pegemis itu. Tetapi kebetulan dompetnya kosong. Sambil menatap si pengemis itu, Tolstoy berkata, “Saudaraku, saya minta maaf karena untuk saat ini saya tidak punya uang di dalam dompet untuk memberikannya kepadamu”. Pengemis itu tersenyum dan berkata,““Tidak masalah karena anda telah memberi lebih dari yang saya harapkan.” “Apa itu?” tanya Tolstoy. Pengemis itu berkata, “Anda sudah memanggil aku saudara. Ini nilainya lebih mahal dari pada uang”.
Martir adalah seorang pelayan atau abdi Tuhan dan sesama. Alasan utama seorang menjadi martir adalah karena ia mau menjadi saudara dengan Kristus dan semua orang. Hidup kristiani juga akan bernilai ketika semua orang hidup sebagai saudara. Itulah kemartiran yang nyata dan benar. Jangan takut menjadi martir!
Doa: Tuhan, semoga kami memiliki semangat melayani bukan dilayani. Amen
PJSDB