Hari Kamis, Minggu Biasa XIX
Yeh 12: 1-2
Mzm 78: 56-57.58-59.61-62
Mat 18:21-19:1
Betapa mahalnya harga sebuah pengampunan!
Setiap orang pasti merasakan kesulitan untuk mengampuni. Ketika seseorang disakiti, dilecehkan secara fisik atau verbal, tidak diterima dengan baik di dalam keluarga atau di tempat kerja biasanya orang menjadi marah, kecewa dan dendam. Perasaan-perasaan ini nantinya menjadi pengalaman pahit dan lahirlah kebenciaan yang mengakibatkan keinginan untuk mengampuni menjadi sulit. Seorang istri merasa sulit untuk mengampuni suami yang tidak setia di dalam perkawinan mereka. Seorang anak sulit untuk mengampuni orang tuanya yang memperlakukannya tidak adil. Seorang muda tidak dapat mengampuni pacarnya yang mengingkari janjinya. Setiap orang menghendaki sesuatu yang ideal dalam membangun relasi antar pribadi tetapi selalu terhalang pada kemampuan untuk mewujudkan cinta kasih yang benar sesuai kehendak Tuhan. Orang tidak sabar dalam menerima dirinya di hadapan Tuhan dan sesama.
Penginjil Matius mengisahkan bahwa pada suatu kesempatan Petrus datang kepada Yesus dan berkata, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadapku? Sampai tujuh kalikah?” Dalam pengalaman praktis, seorang Yahudi boleh mengampuni tiga kali untuk sebuah dosa yang sama. Petrus menanyakan kepada Yesus apakah cukup kalau mengampuni tujuh kali. Barangkali ia beranggapan bahwa angka tujuh itu angka sempurna. Dari sikapnya, ia juga menunjukkan sikap murah hati dalam mengampuni supaya sesuai dengann ajaran Yesus tentang rekonsiliasi (Mat 5:23-25; 6:12.14-15).
Yesus tidak menjawab ya atau tidak atas perkataan Petrus. Ia menjawab, “Bukan hanya sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Ekspresi Yesus ini untuk menujukkan jumlah angka yang tidak terbatas bukan angka secara matematis. Artinya, pengampunan kepada saudara-saudara yang berdosa kepada kita itu tanpa batas seperti yang Tuhan berikan kepada kita. Angka-angka dari jawaban Yesus ini kiranya mirip dengan ungkapan jahat Lamekh yang memprediksi hukuman atas kejahatannya dan kejahatan Kain. Dalam Kitab Kejadian kita membaca,”Berkatalah Lamekh kepada kedua isterinya itu: ‘Ada dan Zila, dengarkanlah suaraku: hai isteri-isteri Lamekh, pasanglah telingamu kepada perkataanku ini: Aku telah membunuh seorang laki-laki karena ia telah melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat” (Kej 4:23-24).
Untuk memperjelas perkataanNya, Yesus memberi sebuah perumpamaan tentang belas kasih yang dterima dari Tuhan dan diteruskan kepada semua orang. Hal Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Ada seorang hamba, katakanlah hamba pertama memiliki hutang 10.000 talenta. Karena ia tidak mampu melunasinya maka raja menyuruh untuk menjual ia beserta anak dan isterinya untuk membayar utang. Ia bersujud dan memohon kesabaran raja maka raja pun berbelaskasih dan membebaskannya. Namun ketika ia berjumpa dengan seorang lain yang berhutang 100 dinar kepadanya, ia mencekik dan menuntut agar orang tersebut segera membayar utangnya. Hamba pertama diminta untuk bersabar oleh hamba kedua tetapi hamba pertama ini hanya punya satu kata “segera bayar utangmu seratus dinar”. Akibatnya adalah ia yang tadinya sudah mendapat belaskasih sang raja, harus kembali mendapat hukuman sampai ia membayar hutangnya.
Kisah Injil ini membicarakan kehidupan kita setiap hari. Pengalaman menunjukkan bahwa kita selalu mengalami kesulitan dalam membangun relasi dengan sesama. Terkadang kesabaran pribadi itu sungguh-sungguh diuji dan ternyata kita gagal karena tidak sabar dengan diri sendiri apalagi berhadapan dengan musuh atau orang yang menyakiti kita. Yesus memang menunjukkan contoh yang tepat dalam perumpamaan tetapi orang-orang tidak menangkap maksud perumpamaan tersebut.
Ketika seorang yang berdosa, dosanya berat sekali sebanding dengan 10.000 talenta, dan dia memohon kesabaran dan keringanan dari sang raja yang tidak lain adalah Bapa Surgawi sendiri dan ia memperoleh keringanan maka sikap Bapa Surgawi ini haruslah dimiliki oleh setiap pribadi dan diterapkan kepada pribadi yang lain. Artinya hendaklah belas kasih dan pengampunan yang diterima dari Tuhan, bobot belas kasih dan pengampunan yang sama juga diberikan kepada sesama. Tuhan mengampuni tanpa batas maka kita pun hendaknya memiliki sikap bathin yang sama yakni mengampuni tanpa batas.
Umat Israel adalah contoh konkret orang-orang yang mengalami belaskasih Tuhan dalam perjalanan panjang di padang gurun. Berkali-kali mereka jatuh dalam dosa tetapi Tuhan tetap menunjukkan kesetiaanNya kepada mereka. Ketika mereka jatuh lagi dalam dosa dan dideportasi ke Babel, Tuhan menunjukkan belas kasihNya melalui para nabi. Di antara mereka adalah Yehezkiel yang hari ini melukiskan tentang kesetiaan Tuhan. Umat Israel mengalami penderitaan di Babel karena mereka tidak setia, Tuhan tetap setia dan mau melepaskan mereka dari perbudakan.
Sabda Tuhan hari ini mengundang kita semua untuk memiliki kemampuan mengampuni sesama yang berdosa kepada kita tanpa batas. Kita harus mengingat pengampunan dari Tuhan: Tuhan mengampuni kita tanpa batas, kita masih mengampuni dengan angka-angka yang terbatas. Kita dituntut untuk sabar dengan diri kita dan sesama. Kesabaran diri memampukan kita untuk mengontrol kecenderungan diri terhadap perbuatan salah dan dosa. Kita juga harus menyadari bahwa kita telah menerima belaskasih dan pengampunan dari Tuhan, maka panggilan kita adalah meneruskan secara nyata belas kasih dan pengampunan Tuhan kepada sesama.
Doa: Tuhan, ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Amen
PJSDB