Hari Sabtu, Pekan Biasa ke XX
Yeh 43:1-71
Mzm 85: 9ab.10-14
Mat 23:1-12
Jangan hanya banyak bicara tanpa aksi nyata!
Seorang sahabatku memiliki jabatan yang penting dalam sebuah perusahan. Seringkali ia share pengalamannya kepada saya tentang pekerjaan di perusahannya. Ia bercerita bahwa mereka melakukan banyak pertemuan untuk merencanakan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan. Saat pertemuan menjadi saat untuk mengamati perilaku rekan-rekan kerjanya. Ada yang diam-diam atau tidak banyak berbicara tetapi kemampuan dan ketekunan kerjanya luar biasa. Ada rekan lain yang banyak berbicara tetapi ketekunan kerjanya terbatas. Jadi kelihatan tidak ada sinkronisasi antara mulut dan tangan yang bekerja. Saya mendengar dengan tenang dan membayangkan juga di dalam komunitas-komunitas biara. Setiap kali kalau ada pertemuan komunitas, banyak orang mau berbicara. Misalnya tentang hidup doa atau upaya menghayati kaul-kaul kebiaraan. Pembicaaraannya bagus tetapi tidak sinkron dengan perbuatan nyata setiap hari. Seorang suster pernah bertanya kepadaku, apakah di komunitas para biarawan juga ada orang yang banyak berbicara tetapi tidak memberi kesaksian hidup yang baik? Saya menjawab ada dan banyak. Kemudian saya bertanya kepadanya, kalau dalam komunitasmu bagaimana suster. Dia mengatakan banyak yang OD alias “Omong Doang” tapi tanpa aksi nyata.
Kisah-kisah ini akrab dengan kehidupan kita. Terkadang kita tidak menyadarinya dan semuanya datang dan berlalu di dalam hidup. Melalui kesaksian-kesaksian di atas kita semua diarahkan untuk tidak hanya berbicara banyak tetapi hendaknya pembicaraan itu diwujudkan di dalam hidup sebagai pelayan-pelayan yang baik. Ada orang yang banyak berbicara tetapi tidak menghayatinya. Ada orang yang diam-diam tetapi melakukannya dengan sempurna tugas-tugasnya. Ada orang yang pasif, dalam arti hanya menunggu dan menilai kelebihan dan kekurangan orang lain.
Hari ini Yesus mengingatkan para muridNya bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi sudah menduduki “Kursi Musa”. Para ahli Taurat adalah kelompok orang-orang yang mengakui dirinya mahir dalam memahami Kitab Taurat. Kaum Farisi (perusim) adalah kelompok yang memisahkan diri dalam masyarakat Yahudi di mana mereka bertekad untuk melaksanakan ajaran agama Yahudi secara murni. Hanya saja kedua kelompok ini memiliki perilaku yang mirip dengan kesaksian-kesaksian di atas. Dalam arti pembicaraan dan pengajaran mereka bagus tetapi mereka sendiri tidak menghayatinya di dalam hidup. Itu sebabnya Yesus mengatakan bahwa mereka telah menduduki Kursi Musa. Para muridNya diharapkan melakukan pengajaran para ahli Taurat dan orang-orang Farisi tetapi tidak boleh mengikuti pola tindakan mereka karena apa yang mereka ajarkan tidak sinkron dengan kesaksian hidup mereka. Mereka banyak bicara tetapi tidak melakukannya di dalam hidup. Mereka mengungkapkan diri dalam tampilan lahiria sehingga menuntut orang lain untuk menghormati mereka, tetapi mereka sendiri tidak menghormati orang lain.
Para ahli Taurat dan kaum Farisi juga suka disebut rabi, bapa dan pemimpin. Yesus mengingatkan para murid untuk sadar diri terhadap ketiga ungkapan ini. Kepada para muridNya, Ia berkata, “Janganlah kamu disebut rabi karena hanya satu Rabimu dan kamu adalah saudara. Jangan kamu menyebut siapa pun bapa di bumi karena hanya ada satu bapamu di Surga. Janganlah kamu disebut pemimpin karena hanya ada satu pemimpinmu yaitu Kristus.” Semua larangan Yesus ini dipahami dalam konteks kebersamaan di dalam komunitas sebagai murid atau di dalam Gereja sebagai umat. Hendaklah semua orang menjujung tinggi semangat pelayanan dan persaudaraan. Pada akhir pembicaraanNya Yesus berkata, “Siapa pun yang terbesar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu. Barangsiapa meninggikan dirinya akan direndahkan dan barang siapa merendahkan dirinya akan ditinggikan.” Hendaklah setiap pribadi merasa sebagai saudara di dalam komunitas karena mendengar seorang Rabi atau Maestro yang membimbing dan memimpin kita, Dia yang menjadikan kita sebagai anak-anak Allah Bapa di Surga. Dialah Yesus Kristus Tuhan kita!
Sabda Tuhan menyadarkan kita untuk bertumbuh bersama sebagai satu komunitas persaudaraan yang saling melayani. Seorang guru, bapa dan pemimpin adalah pelayan ang rendah hati dan setia di dalam komunitas persaudaraan. Semangat pelayanan ini yang sering dilupakan. Itu sebabnya banyak orang suka berbicara tetapi tidak mampu melayani dengann baik. Banyak orang mau melayani tetapi tidak rendah hati, sombong dan arogan. Mari kita terinspirasi untuk membenahi diri kita masing-masing dan bertumbuh sebagai saudara dan pelayan yang rendah hati. Yesus penebus kita memberi contoh bahwa Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani bahkan menyerahkan nyawaNya sampai tuntas untuk keselamatan kita.
Kesadaran diri yang kiranya dimiliki setiap pribadi di samping kebajikan kerendahan hati adalah bahwa kemuliaan Tuhan hendaknya nampak di dalam hidup kita. Kepada umat Israel yang masih berada di Babel, Yehezkiel mengingatkan mereka tentang kehadiran Tuhan di dalam Bait SuciNya. SabdaNya dibaca, didengar dan direnungkan sehingga membuat hati bergembira. Ini membangun kesadaran mereka untuk kembali ke Yerusalem dan merasakah kemuliaan Tuhan di dalam BaitNya yang Kudus. Kemuliaan Tuhan hendaknya terpancar juga di dalam diri kita saat ini. Paulus mengatakan bahwa Tubuh kita adalah Bait Roh Kudus ( 1Kor 3:16). Apakah anda juga dapat memancarkan kemuliaan Allah lewat pelayanan dan perbuatan-perbuatanmu yang baik.
Doa: Tuhan, jadikanlah kami pelayan-pelayanMu yang setia. Amen
PJSDB