Hari Rabu Pekan Biasa XXIV
1Kor 12:31-13:13
Mzm 33: 2-3.4-5.12.22
Luk 7:31-35
Kasih itu…
Sebagai seorang imam, saya memiliki banyak pengalaman dalam pelayanan pastoral. Misalnya dalam melayani sakramen perkawinan. Saya sering bertanya kepada pasangan yang hendak menikah pertanyaan seperti ini, “Manakah yang lebih dahulu, cinta atau kecocokan?” Hampir semua mengatakan, “Cinta”. Hanya ada satu dua pasang suami isteri yang mengatakan bahwa yang duluan ada adalah cocok baru menyusul cinta. Saya lalu mengutip ayat Kitab Kejadian yang mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan menciptakan Hawa bukan untuk mencintai Adam tetapi pertama-tama Hawa diciptakan supaya sepadan atau cocok dengan Adam (Kej 2:18). Kalau Hawa diciptakan untuk mencintai Adam maka aroma keluarga-keluarga pasti berbeda, lebih banyak keluarga yang bubar. Sadar atau tidak, ada perbedaan tertentu dalam hal berkeluarga di Indonesia dan di Barat. Kalau di Asia seperti kita di Indonesia, orang biasanya jatuh cinta setelah hidup bersama sebagai suami dan isteri. Kalau di Barat, orang jatuh cinta duluan setelah itu baru hidup bersama.
Hari-hari ini kita mendengar Paulus memberi banyak wejangan bagi jemaat di Korintus. Dia mengingatkan jemaat di Korintus tentang perjamuan cinta kasih atau perjamuan agape (Ekaristi) sebagai bagian dari kenangan akan Paskah Kristus. Ia juga mengingatkan jemaat di Korintus tentang rupa-rupa karunia yang dapat diterima seperti: kemampuan untuk membuat mukjizat, menyembuhkan, melayani, memimpin dan berbicara dalam bahasa Roh. Tuhan juga membentuk orang-orang pilihan jemaat untuk menjadi rasul, nabi dan guru. Semua ini membentuk satu Tubuh yang sama yaitu Tubuh Kristus. Hari ini Paulus memuji keluhuran kasih. Kasih menjadi dasar yang kokoh untuk mengembangkan semua anugerah dari Tuhan. Tanpa kasih, semua anugerah dari Tuhan tidak berharga.
Yohanes menulis dalam suratNya: “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8.16). Konsekuensinya adalah manusia mengasihiNya dan saling mengasihi di antara manusia. Kalau manusia mengaku bahwa dirinya mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya, ia seorang pembohong. Bagi Paulus, hidup tanpa kasih itu ibarat gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (1Kor 13:1). Paulus juga menyadari keluhuran kasih maka ia menulis: “Kasih itu sabar, murah hati dan tidak cemburu. Kasih tidak memegahkan diri, tidak sombong dan tidak bertindak kurang sopan. Kasih tidak mencari keuntungan sendiri, tidak cepat marah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih tidak bersukacita atas kelaliman, tetapi atas kebenaran. Kasih menutupi segala sesuatu, percaya akan segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan” Lihatlah bahwa kasih memiliki nilai yang sangat luhur karena kasih adalah segalanya. Maka pada bagian terakhir dari bacaan pertama, Paulus menegaskan kebajikan-kebajikan teologal yakni iman, harapan dan kasih dan baginya yang paling luhur adalah kasih. memang kasih adalah hakikat Allah sendiri.
Sebenarnya kalau kita menyadari maksud ketiga kebajikan teologal iman, harapan dan kasih, ketiganya seperti rantai yang saling mengikat. Barang siapa mengakui dirinya beriman maka dengan sendirinya ia memiliki harapan dan kasih. Siapa yang mengatakan bahwa ia memiliki harapan maka ia seharusnya memiliki iman dan kasih. Siapa yang mengatakan ia memiliki kasih maka dia harus menyadari bahwa dirinya beriman dan memiliki harapan di dalam hidupnya. Supaya orang dapat hidup dalam kasih maka setiap hari harus merasa bahagia sebagai pilihan Tuhan dan milik kepunyaanNya. Kasih setia Tuhan menyertai setiap pribadi. Pertanyaan bagi kita adalah, apakah kita semua mampu mengasihi Tuhan dan sesama?
Setelah berkeliling untuk mewartakan Injil, Yesus curhat dengan para muridNya. Ia curhat karena menyadari bahwa Yohanes Pembaptis ketika datang dan mewartakan seruan tobat ia menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang sederhana dan suka membela kebenaran. Makanannya adalah belalang dan pakaiannya juga sederana. Sikap Yohanes ini membuat orang Yahudi menganggapnya “kerasukan setan”. Yesus sendiri datang ke dunia, ia makan dan minum dengan para pendosa maka Ia pun ditolak. Padahal Yesus mau menunjukkan saat sukacita mesianis. Yesus hadir dan membawa sukacita. Tentu saja sukacita macam apa yang harus diterima dan dihayati. Sukacita karena Tuhan menerima setiap pribadi apa adanya. Tetapi orang yahudi menganggapnya: “Lihatlah seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.” Meskipun dalam kenyataan hidup, Tuhan boleh mengajak tetapi manusia tetap membisu. Sama seperti peniup seruling yang meniup seruling sambil mengajak orang untuk bernyanyi namun orang lebih suka melagukan kidungnya sendiri. Ia mengajak orang menari, namun orang lebih suka berjingkrak-jingkrak sesuai iramanya sendiri.
Perikop Injil kita hari ini mau mengoreksi hidup kita dengan aneka kedangkalan hidup rohani yang ada. Orang-orang Israel merasa nyaman sebagai bangsa terpilih dan mau berjalan sendiri. Kenyamanan membuat hidup rohani menjadi dangkal atau superfisial. Iman, harapan dan kasih juga menjadi dangkal. Bahaya yang ditakuti adalah bahaya ateisme dalam gareja secara teritorial atau kategorial. Orang terlalu cepat merasa puas dengan hidup rohani sehingga dangkal dalam menghayati hidup beriman yang sesungguhnya. Siapa di antara kita yang sugguh-sungguh beriman, memiliki harapan yang kuat dan kasih yang utuh kepada Tuhan? Siapa di antara kita yang sungguh-sunguh mengandalkan Tuhan sebagai sumber kasih?
Doa: Tuhan, tambahlah selalu kasihMu dalam diri kami. Amen
PJSDB