Hari Minggu Biasa ke XXVII/B
Kej 2:18-24
Mzm 128:1-2.3.4-5.6
Ibr 2:9-11
Mrk 10:2-16
Betapa Luhurnya Sebuah Perkawinan
Seorang Romo merasa kecewa ketika seorang ibu muda berusia 22 tahun yang barusan menikah 6 bulan datang ke pastoran untuk menanyakan syarat-syarat perceraian di dalam Gereja Katolik. Dia mau bercerai dengan suaminya. Romo dengan keras mengusirnya dari pastoran. Romo mengatakan kepadanya, “Saya mempersiapkan kalian cukup lama melalui pembinaan pra nikah sampai menikah di gereja itu untuk bersatu bukan untuk bercerai.” Ini hanya salah satu contoh kecil yang di alami seorang romo. Saya sendiri pernah mewawancarai calon pasutri selama persiapan perkawinan. Saya bertanya kepada calon istri, “Apa yang anda harapkan setelah menikah dengan suamimu ini?” “Pokoknya saya ingin kawin aja, selanjutnya Tuhan yang tahu”, jawabnya. Saya mengatakan kepadanya, “Wah, kalau ini keinginanmu, pulanglah dan pikir-pikir dulu baru mengambil keputusan untuk menikah” Calon pasutri itu kaget dengan pernyataanku ini. Saya mengatakan kepada mereka bahwa hidup sebagai suami dan istri itu sebuah panggilan untuk menjadi kudus bukan hanya sekedar keinginan sebagai pria dan wanita untuk hidup bersama.
Hal-hal yang dicontohkan di atas mencerminkan betapa lemahnya katekese dan pembinaan umat tentang sakramen-sakramen di dalam Gereja katolik. Di samping itu keluarga-keluarga katolik juga mengalami kemunduran dalam memahami hakikat hidup berkeluarga dan kurangnya keluarga katolik sebagai model seperti keluarga kudus di Nazareth. Bagaimana anak-anak dapat belajar membentuk keluarga kalau orang tuanya bukanlah orang tua terbaik dalam hidup perkawinan mereka?
Bacaan-bacaan Kitab Suci dalam perayaan Ekaristi hari ini, terutama bacaan pertama dari Kitab Kejadian dan Injil Markus berbicara tentang nilai-nilai luhur sakramen perkawinan. Di dalam bacaan pertama, Tuhan menunjukkan rencana luhurnya untuk menciptakan manusia pria dan wanita. Tuhan bersabda: “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja! Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”. (Kej 2:18). Manusia pertama itu kemudian berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan karena ia diambil dari laki-laki. Maka laki-laki meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan istrinya menjadi satu daging” (Kej 2:23-24). Hal penting yang patut kita ingat di sini adalah Tuhan menciptakan Hawa bukan untuk mencintai Adam tetapi supaya sepadan atau cocok dengan Adam. Mereka berdua juga bukan hanya sepadan tetapi saling menolong satu sama lain.
Orang-orang Farisi mengenal dengan baik Kitab Taurat tentang keluhuran perkawinan tetapi mereka mau mencobai Yesus. Mereka bertanya kepada Yesus apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya karena Musa sendiri juga mengijinkannya dengan surat cerai (Ulangan 24:1-4). Yesus tidak menjawab ya atau tidak tetapi mengatakan bahwa adanya perceraian di atas dasar surat cerai yang dibuat oleh Musa karena “ketegaran hati” mereka. Tetapi Tuhan sendiri tidak memiliki rencana apa pun untuk memisahkan relasi pria dan wanita dalam perkawinan. Sejalan dengan Kitab Kejadian, Markus menulis, “Allah pada mulanya menciptakan laki-laki dan perempuan dan laki-laki itu akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya supaya menjadi satu daging sehingga apa yang dipersatukan Allah janganlah diceraikan manusia”. (Mrk 10:6-9).
Seberapa luhurkah perkawinan itu? Di dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa baik pria maupun wanita harus mengerti bahwa Allah adalah cinta dan yang telah menciptakan manusia untuk cinta, telah memanggilnya untuk mencinta. Dengan menciptakan laki-laki dan perempuan, Allah memanggil mereka kepada persatuan hidup yang intim dan cinta di antara mereka dalam perkawinan. Dengan demikian mereka bukan lagi dua melainkan satu (Mat 19:6). Tuhan sendiri bersabda dan memberkati mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah” (Kej 1:28).
Pertanyaan yang muncul adalah apa tujuan Tuhan menetapkan perkawinan? Hubungan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yang didasarkan dan didukung dengan hukum-hukumnya sendiri oleh Tuhan sang Pencipta, bertujuan untuk persatuan dan kebaikan suami dan istri dan mempunyai serta mendidik anak-anak. Untuk tujuan yang mulia ini maka perkawinan itu tidak dapat diceraikan. Yesus dalam Injil hari ini mengatakan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mrk 10:9). Lebih keras lagi Yesus berkata, “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan dengan istrinya itu. Dan jika istri menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina” (Mrk 10:11-12)
Tuhan Yesus memang menghendaki agar perkawinan memiliki martabat baru dalam bentuk sakramen. Perkawinan menjadi simbol cinta kasih Kristus dengan GerejaNya. Santo Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus mengasihi jemaat” (Ef 5:15). Sakramen perkawinan melahirkan ikatan yang kekal dan eksklusif antara suami dan istri. Tuhan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan nikah. Maka perkawinan yang sudah ratum dan consummatum antara pria dan wanita yang sudah dibaptis tidak pernah dapat diceraikan. Mereka justru diberi rahmat untuk mencapai kekudusan dan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak.
Keluhuran perkawinan terletak pada kesepadanan suami dan istri. Namun demikian ada saja dosa yang dapat mengancam perkawinan. Akibat dosa asal maka persekutuan laki-laki dan perempuan seringkali terancam oleh ketidakharmonisan dan ketidaksetiaan. Dosa-dosa dalam perkawinan adalah perzinahan, poligami, menolak untuk tidak memiliki anak dan perceraian. Perzinahan dan poligami bertentangan dengan kesetaraan martabat pria dan wanita. Menolak untuk tidak mempunyai anak bertentangan dengan anugerah untuk mempunyai anak dalam perkawinan. Perceraian tentu bertentangan dengan sifat tak terceraikannya perkawinan. Namun demikian harus diingat bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana ilahi bagi setiap orang untuk tetap bersatu.
Sabda Tuhan menguatkan dan meneguhkan semua keluarga, suami dan istri yang telah dipanggil secara istimewa untuk menjadi kudus. Kita belajar dari Yesus dalam bacaan kedua yang sangat empati dan rela berkorban bagi manusia yang berdosa. Ia rela direndahkan di bawah malaikat-malaikat padahal malaikat adalah pembantu Tuhan. Yesus sendiri berkata, “Malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak manusia” (Yoh 1: 51). Ia bahkan menderita sampai wafat untuk keselamatan manusia. Inilah pengorbanan diri Yesus bagi manusia. Suami dan istri dapat bahagia dalam perkawinan kalau mereka memiliki rasa empati dan berkorban demi kebaikan bersama.
Di samping nilai empati dan pengorbanan diri, suami dan istri juga dipanggil untuk memberikan diri secara total. Mengapa memberikan diri kepada pasangan secara total? Sabda Tuhan memberi jawaban pasti yakni karena suami dan istri diciptakan sepadan dan mereka menjadi satu daging. Tuhan mempersatukan mereka selama-lamanya dan mereka juga bertugas untuk mendidik anak-anak. Maka para pasutri ingatlah, berikanlah dirimu secara total bukan memberi diri setengah-setengah kepada pasanganmu. Kita berdoa semoga Tuhan memelihara dan mempersatukan suami dan istri dalam sakramen perkawinan selama-lamanya.
Doa: Tuhan, terima kasih atas keluarga: bapa, mama dan saudara-saudari yang Engkau berikan kepadaku. Amen
PJSDB