Hari Sabtu, Sesudah Rabu Abu
Yes 58:9b-14
Mzm 86:1-6
Luk 5:27-32
Mengapa anda takut dengan orang berdosa?
Seorang ibu menasihati anaknya setelah seharian tidak kembali ke rumah. Ketika ditanya kemana dan dengan siapa ia pergi, anak itu menyebut nama sahabatnya. Mamanya tersentak dan langsung berubah raut mukanya. Ia memandang anaknya dan berkata, “Untuk terakhir kalinya kamu pergi dengan anak itu”. Anaknya bertanya, “Mengapa mami?” Ibunya menjawab, “Bapanya seorang pencuri, ibunya seorang penipu”. Anak itu berkata, “Tapi anaknya baik maka jadi teman aku”. Ibunya berkata, “Tapi buah jatuh tidak jauh dari pohon”. Sejak saat itu anak itu menjauhi persahabatannya dengan anak yang lain.
Kisah ini memang sederhana tetapi punya dampak yang sangat besar. Ibu itu telah keliru atau lebih tepat salah dalam mengajar anaknya. Ibu itu mungkin hanya mendengar cerita orang tentang orang tua dari teman anaknya tetapi ia percaya dan memiliki persepsi buruk. Lebih parah lagi persepsinya yang buruk ditanamkan dalam otak anaknya: “Ingat, bapanya seorang pencuri dan ibunya seorang penipu”. Anaknya yang tadinya begitu bersahabat berubah perilakunya terhadap sahabatnya dengan menjauhinya. Anak yang menjadi sahabat anaknya juga menderita karena tiba-tiba dijauhi begitu saja.
Seringkali pikiran ala kaum Farisi dan para ahli Taurat juga dimiliki banyak orang. Kita mudah sekali mengadili sesama berdasarkan apa yang didengar dari orang lain, atau berdasarkan profesinya. Ada seorang pemuda pernah mengatakan kepadaku bahwa ia malu ketika ditanya tempat kerjanya. Ia sedang bekerja sebagai manager keuangan di hotel yang bagi banyak orang adalah hotel persinggahan dan tempat berjudi. Ia selalu di sindir bahwa gajinya adalah hasil dari “jual diri” orang-orang dan dari “perjudian” di hotel. Orang lain mungkin bersalah tetapi tidak separah apa yang ada dalam pikiran kita!
Yesus memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menaklukkan orang-orang yang Ia kasihi. Ia pernah melihat seorang pemungut cukai bernama Lewi. Ia sedang bekerja sebagai pemungut cukai. Yesus memandang dan memanggilnya untuk mengikuti Dia dari dekat. Lewi pun bangun dan mengikuti Yesus. Sikap Yesus inilah yang terbaik dan patut kita ikuti. Apa yang baik? Yesus tidak takut bergaul dengan orang berdosa. Ia makan dan minum bersama mereka. Dengan kasihNya Ia berhasil menyadarkan orang berdosa untuk keluar dari belenggu dosa dan menjadi manusia baru. Pengalaman Yesus ini menantang kita semua untuk belajar berbuat baik. Dengan kebaikan-kebaikan yang kita miliki dapat mengubah orang berdosa atau orang jahat menjadi baik. Maka tepat kata Yesus, bukan orang sehat yang memerlukan dokter melainkan orang sakit yang membutuhkannya. Demikian juga orang berdosa membutuhkan Tuhan Yesus untuk bertobat bukan orang benar.
Setiap pribadi memiliki masa lalu tersendiri dan merupakan bagian dari sejarah hidupnya. Orang harus belajar untuk berbuat baik kepada sesama. Melalui nabi Yesaya dalam Bacaan Pertama, Tuhan berfirman: “Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu, dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah; apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas, maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari” (Yes 58:9-10).
Berpuasa yang benar adalah berbuat baik, melakukan perbuatan kasih kepada semua orang. Memang kadang-kadang orang berpikir bahwa berpuasa itu soal makan dan minum saja. Sebenarnya puasa yang benar adalah jangan lagi berbuat jahat kepada sesama: memeras, mencurigai, memfitnah dan berbagai tindakan lain yang tidak manusiawi. Ada yang boleh berpuasa soal makan dan minum tetapi cinta kasih dan keadilan diabaikan begitu saja maka mereka adalah orang Farisi modern. Orang yang berbuat baik akan menjadi terang seperti matahari. Yesus sendiri berkata: “Hendaklah terangMu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik” (Mat 5:16). Orang yang berbuat baik akan merasakan penyertaan Tuhan siang dan malam. Dia akan seperti “Taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan” (Yes 58: 11).
Hidup kita selalu ditandai dengan panggilan yang terus menerus untuk mengikuti Tuhan. Ia senantiasa mengundang kita “Ikutlah Aku”. Tentu saja undangan ini membutuhkan jawaban yang pasti dan terus menerus dari pihak kita. Jawaban pasti seperti apa? Jawaban pasti untuk selalu berbuat baik, melakukan perbuatan kasih kepada sesama. Dengan sikap seperti ini, orang jahat dan berdosa sekali pun dapat berubah. Kebaikan dan kasih akan menghancurkan kejahatan dan dosa. Apakah kita berani untuk berbuat baik sehingga dapat mengubah hidup sesama?
Doa: Tuhan yang mahabaik, ajarilah aku untuk berbuat baik kepada sesama. Amen
PJSDB