St. Bonaventura
jenderal. Ia juga diangkat menjadi uskup dan kardinal. Bersama St. Thomas Aquinas, mengikuti Konsili di Lion untuk mempersatukan Gereja yang terpecah-pecah terutama Gereja Yunan dan Latin. Kata-kata yang memotivasinya: “Takut akan Allah merintangi seseorang untuk menyukai hal-hal duniawi yang mengandung benih-benih dosa. Kesombongan biasanya menggilakan manusia karena diajar untuk meremehkan apa yang sangat berharga seperti rahmat dan keselamatan”. Ia meninggal pada tanggal 15 Juli 1274. Hidup st. Bonaventura sangat menginspirasikan kita hari ini untuk memahami sabda Tuhan. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk memisahkan dirinya dari sesama karena perasaan iri dan dengki. Hal yang memang ada di dalam Gereja Kristus dari dulu hingga saat ini.
Pak Dominikus terpilih menjadi ketua Forum Kerja sama Antar Umat Beragama (FKAUB) di Kabupatennya. Dalam sambutan perdananya ia berkata, “Kita semua sebagai umat beragama mengakui adanya Tuhan. Mari kita wujudkan persaudaraan sejati demi menghancurkan iri hati yang selalu ada di mana-mana. Jangan kita hanya berpikir bahwa iri hati itu hanya ditujukan kepada umat beragama lain. Di dalam satu agama pun masih ada iri hati! Mengapa demikian? Karena banyak orang hanya beragama tetapi tidak beriman”. Ini adalah sebuah sambutan sederhana tetapi sangat menyentuh hati banyak orang yang hadir saat itu. Memang tidak dapat disangkal bahwa iri hati itu tidak hanya ditujukan kepada umat beragama lain karena kenyataan menunjukkan bahwa meskipun masih seagama, orang masih saling membunuh dan mengancurkan. St. Yakobus menulis: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yak 3:16). Iri hati menjadi pintu masuk perbuatan jahat.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menggambarkan bagaimana manusia dikuasai oleh iri hati sehingga dapat menghancurkan relasi sebagai saudara. Kisah-kisah terkenal seperti Kain membunuh Abil saudaranya hanya karena iri hati. Anak-anak Israel menjual Yusuf saudara mereka kepada para pedagang Midian ke Mesir. Semua tindakan itu dilakukan dengan kesadaran penuh tanpa melihat bahwa yang menjadi sasaran juga adalah manusia. Ketika dosa bertambah banyak, kesombongan dan egoisme menguasai manusia maka manusia akan lupa berbuat baik.
Setelah kita mengenal keluarga Israel, terutama kisah Yusuf dan kejayaannya di Mesir, pada hari ini kita mendengar bagaimana muncul raja Mesir, kemungkinan Raja Ramses II (1306 sM) yang tidak mengenal Yusuf dan kebaikan-kebaikannya. Ramses II memang terkenal sebagai Firaun yang kejam dan berlaku kasar terhadap orang asing di Mesir. Ia mengatakan kepada rakyatnya untuk membenci dan menindas orang-orang Israel. “Lihat, bangsa Isarel itu sangat banyak, dan jumlahnya lebih besar daripada kita.Marilah kita bertindak terhadap mereka dengan bijaksana, agar mereka jangan semakin bertambah banyak. Jangan-jangan, jika terjadi peperangan, mereka bersekutu dengan musuh kita dan memerangi kita lalu pergi”. Strategi yang dipakai adalah menempatkan pengawas-pengawas rodi dan menindas bangsa Israel dengan kerja paksa dalam membangun kota-kota Firaun. Semakin Israel ditindas, jumlah mereka semakin banyak. Ramses membuat peraturan baru supaya anak laki-laki orang Israel dibuang ke sungai Nil.
Di dalam kisah ini, kita tidak harus serius melihat aspek manusiawinya saja. Kaum keturuan Israel mengalami penindasan dan penolakan di negeri asing. Secara manusiawi kita prihatin tetapi dari pihak Tuhan ada suatu rencana yang indah. Pengalaman ditindas, menderita sengsara menjadi kesempatan berahmat bagi kaum keturunan Israel (Yakub), untuk tetap berharap dan berpegang pada Tuhan Allah nenek moyang mereka. Tuhan sudah merencanakannya dan akan memberikan kelimpahan rahmat kepada mereka. Pengalaman Yusuf sebelumnya sudah terbukti di mana ia dianiaya oleh saudara-saudaranya tetapi Tuhan menjadikan dia sebagai berkat bagi semua saudaranya. Hal yang sedang dialami oleh orang-orang Israel yakni kekerasan dan penindasan, di masa depan akan menjadi berkat melalui Musa.
Di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengatakan bahwa diriNya datang bukan untuk membawa damai melainkan membawa pedang. Dua hal yang memang saling bertentangan: pedang sebagai simbol kuasa dan kekejaman, damai sebagai simbol pribadi Tuhan sendiri. Tuhan Yesus tentu bermaksud supaya kita berani memilih untuk setia menjadi murid Kristus atau tidak setia. Kalau kita memilih setia menjadi murid Kristus maka kita semua juga harus menanggung semua konsekuensinya. Misalnya harus ada sikap lepas bebas terhadap orang tua dan saudara-saudari, berani memikul salib hari demi hari, perhatian terhadap kaum papa dan miskin. Orang yang tidak setia dalam pemuridannya akan berlaku iri hati dan benci terhadap semua orang.
Di dalam hidup ini banyak kali ada hasrat yang besar untuk menyerupai Yesus. Ada niat yang baik untuk berlaku baik, jujur, setia, senang berbuat baik tetapi banyak kali juga mengalami kesulitan tertentu. Masih ada perasaan iri hati, benci dan dendam terhadap saudara-saudari kita. Hari ini kita diajak untuk memilih: tetap setia dan berbuat baik atau tidak setia dan berbuat jahat. Tuhan tentu menghendaki agar kita membuang jauh-jauh sikap hidup yang berlawanan dengan kebaikan Tuhan. Kita ingat sabda ini: “Hari ini, kalau kamu mendengar suara Tuhan, janganlah bertegar hati” (Mzm 95:8).