Ketika masih bertugas sebagai pastor di daerah terpencil, saya selalu menikmati kehangatan dalam suasana kekeluargaan. Setelah perayaan ekaristi di dalam Gereja, biasanya umat melanjutkannya dengan bersyukur bersama dalam acara makan bersama. Umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi biasanya membawa makanan dari hasil kebun mereka berupa pisang masak, singkong yang sudah direbus atau digoreng dan aneka buah-buahan. Umat diundang untuk ikut mencicipi makanan bersama pastor. Ada di antara mereka yang datang dan mengucapkan terima kasih kepada pastor untuk waktu dan pelayanan di stasi mereka. Saya secara pribadi merasa bahwa ucapan syukur dan terima kasih orang-orang sederhana ini benar-benar tulus dan tidak mengada-ada.
Tuhan Yesus dalam Injil hari ini mengajar kita semua untuk belajar dan tahu bersyukur. Dalam perikop kita hari ini, pertama-tama Yesus bersyukur dan memuji Bapa di Surga. Ia berkata dengan suara lantang: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu” (Ayat 25-26). Kedua, Yesus mengenal identitasnya diriNya sebagai Anak dan Allah sebagai BapaNya. Mereka saling mengenal satu sama lain. Yesus berkata: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (ayat 27).
Yesus bersyukur kepada Bapa dengan wajah sebagai seorang anak yang sangat mengasihi Bapa karena Bapa juga sangat mengasihiNya. Ini mengungkapkan sebuah relasi pribadi yang sangat mendalam antara Bapa dan Putra. Yesus menyapa “ABBA”, Aku bersyukur (exomologoumai). Ucapan syukur diberikan oleh Yesus sang Putra karena rencana keselamatan diberikan atau dikuasakan oleh Bapa kepadaNya. Hanya Allah Bapa sendiri satu-satunya Pencipta yang mengetahui awal dan akhir dunia. Relasi Yesus yang begitu akrab dengan Bapa, ditambah dengan ucapan syukur ini membuat kita bertanya di dalam diri kita masing masing apakah kita sebagai pengikut Kristus juga merasakan kedekatan dan keakraban dengan Bapa seperti Yesus sendiri atau belum merasakannya. Apakah kita juga merasakan kedekatan dan keakraban dengan sesama kita atau belum sepenuhnya. Mengapa demikian?
Mengapa Yesus bersyukur? Karena Bapa mewahyukan Misteri Kerajaan Allah di dalam diriNya sebagai Putra Allah yang menjelma menjadi manusia. Ia rela mengosongkan diriNya menjadi miskin dan hina untuk keselamatan manusia. Yesus merasakan perutusan dari Bapa dan menghendaki agar kita pun berani menjadi kecil sehingga mudalah menjadi pelayan. Kuasa untuk menyelamatkan manusia merupakan bukti kasih yang agung dari Bapa. Terhadap rencana keselamatan ini, Yesus dengan berkata: “Semuanya ini telah diserahkan Bapa kepadaKu”. Penginjil Yohanes mengatakan bahwa, “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepdaKu jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa mengutus Aku, dan Ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman”(Yoh 6:44).
Dalam bacaan pertama kita berjumpa dengan figur Musa. Ia menjadi seorang gembala sederhana yang menggembalakan kambing dan domba Yitro mertuanya, imam Midian. Ketika berada di gunung Tuhan, Musa melihat sebuah penglihatan. Tuhan menampakkan diri dalam wujud semak belukar yang menyala tetapi tidak terbakar. Ketika itu Musa diingatkan untuk melepaskan sepatu sebab tempat di mana ia berdiri adalah tanah yang kudus. Tuhan lalu mewahyukan diriNya sebagaui Allah Abraham, Ishak dan Yakub.Selanjutnya, Ia mengutus Musa untuk membebaskan mereka dari Tanah Mesir. Tuhan berjanji untuk menjadikan Musa sebagai utusan yang akan membebaskan mereka dari tanga Mesir dan mereka akan menyembah dan beribadah kepada Allah di gunung Tuhan.
Menarik sekali dialog Tuhan dengan Musa. Di saat bani Israel masih menderita, tidak berdaya di tangan Firaun, Tuhan menjanjikan keselamatan melalui hambaNya Musa. Tuhan tidak akan melupakan janji-janjiNya kepada leluhur mereka yakni Abraham, Ishak dan Yakub. Janji yang intinya adalah kasihNya tiada batas bagi Israel. Sikap Allah yang mengasihi tanpa syarat kepada Israel juga tetap berlagsung selamanya di dalam Gereja. Tuhan hadir dan senantiasa membebaskan umat yang berharap kepadaNya. Sekali lagi syukur karena Tuhan hadir pada saat yang tepat untuk menunjukkan kasihnya bagi manusia yang percaya kepadanya.

