Hari Minggu Biasa XXIIIC
Selama beberapa hari terakhir ini nama Paus Fransiskus menempati peringkat yang istimewa. Pada tanggal 1 September 2013, beliau meminta kepada seluruh umat manusia yang menghuni dunia ini untuk melakukan puasa dan pantang serta berdoa bagi perdamaian di Siria. Dari Vatikan dilaporkan bahwa ada sekitar 100.000 orang berkumpul bersama sri Paus di pelataran St. Petrus untuk berdoa bagi perdamaian di Siria. Inisiatif Sri Paus disambut dengan baik oleh para pemimpin dunia, pemimpin agama seperti pemimpin spiritual Sunni di Siria Ahmed Badreddin Hassou. Selama 4 jam doa, Sri Paus bersama umat yang hadir berdoa rosario, adorasi Sakramen Mahakudus dan refleksi tentang perdamaian oleh Sri Paus. Dengan mengambil kisah Kain dan Abel, Paus bertanya kepada semua orang yang berdoa: “Apakah saya sungguh-sungguh menjaga saudara saya?” “Ya”, lanjut Sri Paus, “Anda adalah penjaga saudaramu! Menjadi manusia berarti menjaga saudara-saudaramu”.
Paus juga menganggap situasi di Siria seperti kelahiran baru Kain dan Abel di dalam dunia modern ini. Kekerasan meledak bukan dengan manusia lain tetapi dengan saudara sendiri. Sebagai pengikut Kristus, sebaiknya kita memandang salib. Dari salib yang kita pandang akan muncul jawaban Tuhan bahwa kekerasan tidaklah dibalas dengan kekerasan, kematian tidaklah dijawab dengan bahasa kematian. Dari salib orang seharusnya meletakkan senjatanya, membangun perdamaian, pengampunan dan dialog. Bagi Sri Paus, kekerasan dan perang bukanlah jalan menuju perdamaian. Suasana doa untuk perdamaian di Siria ini sangat menyentuh hati banyak orang yang masih memiliki hati nurani. Semoga Tuhan menganugerahkan damaiNya kepada banyak orang. Dari refleksi Sri Paus, ia mengajak kita untuk memandang Salib Kristus, biar hanya sejenak saja memandangnya. Menurutnya, sambil memandang salib Kristus, kita akan menemukan jalan penuh kasih. Dari Salib terpancar perdamaian, pengampunan dan dialog. Tiga hal yang kelihatan sederhana tetapi sangat sulit untuk dilakukan di dalam hidup. Apakah orang sungguh-sungguh membawa damai? Apakah orang sungguh-sungguh mengampuni musuhnya? Apakah orang sungguh-sungguh mau berdialog dan mencari penyelesaian atas masalah-masalah yang sedang terjadi? Semuanya ini kembali kepada manusianya. Kalau masih beriman, kalau masih memiliki hati nurani maka ia akan berubah menjadi sungguh-sungguh manusia.
Pertama, Yesus berkata, “Jika seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawaNya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Perkataan Yesus ini mengagetkan kita semua karena ia mengatakan “membenci” bapa dan ibu. Bagi orang Yahudi “membenci” itu menjadi sebuah perbandingan dengan “mengasihi lebih dari pada” (Mat 10:37). Membenci juga berarti melepaskan atau meninggalkan. Jadi Yesuslah yang harus diutamakan. Maka menjadi murid Kristus berarti meletakkan Kristus di atas segalanya, mengasihiNya lebih dari kaum kerabat.
Ketiga syarat pemuridan ini membawa setiap orang untuk menjadi pengikuti Kristus yang radikal. Namun demikian, para murid Kristus juga dituntut untuk menjadi orang yang bijaksana sehingga dapat menghindar dari batu sandungan. Orang boleh meninggalkan kerabatnya, memikul salib, meninggalkan hartanya tetapi ia harus bijaksana membuat perhitungan yang matang supaya dapat mengikuti Kristus dengan menanggung semua konsekuensinya. Semua itu karena cinta kasih yang dialami dari Kristus dan membalasnya dengan mengasihi Kristus secara radikal.
Santu Paulus dalam bacaan kedua mengkonkretkan sikap bijaksana yang ditekankan dalam bacaan pertama ini. Paulus mengambil contoh Onesimus. Onesimus berarti dibutuhkan. Dia adalah seorang budak pada seorang tuan bernama Filemon. Konon ia mencuri barang-barang milik Filemon. Filemon tidak mencarinya tetapi Onesimus ditangkap dan dipenjarakan. Di dalam penjara ia berjumpa dengan Paulus, melayani Paulus dan bertobat di bawah bimbingan Paulus. Paulus sendiri menyebutnya sebagai anak kesayangan hatinya. Ungkapan-ungkapan Paulus tentang Onesimus dapat kita baca dalam Kol 4:9 dan Filemon 10. Paulus meminta kepada Filemon dalam suratnya suaya menganggap Onesimus bukan sebagai budak tetapi layaklah sebagai saudara. Hitunglah dalam hari-hari hidup ini, berapa kali kita tidak dapat menjadi saudara bagi orang lain dan bagaimana mereka juga tidak menjadi saudara bagi kita. Mengikuti Yesus secara radikal dan bijaksana tercermin dalam kemampuan kita untuk menjadikan manusia sebagai saudara dan saudari kita.