Hari Minggu Biasa XXIV
Seorang sahabat pernah membagi pengalamannya seperti ini. Ia memiliki satu kebisaan yang baik yakni akrab dengan semua orang. Pada suatu kesempatan ia didatangi seorang sahabat pertama dan mengatakan kepadanya untuk menjaga jarak dengan sahabatnya yang satu karena dia itu memiliki selingkuhan. Oleh karena itu ia harus menjaga diri jangan sampai menjadi korban selingkuhan juga. Tentu saja ia merasa kaget karena selama mereka menjadi sahabat tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Pada kesempatan yang lain sahabat yang lain datang dan mengatakan kepadanya untuk menjaga jarak dengan sahabat yang pertama tadi. Menurutnya, sahabat itu mata duitan dan suka meminjam uang. Oleh karena itu ia harus berhati-hati karena bisa jadi semua uang habis dipinjamnya. Tentu saja orang ini bingung, kira-kira yang menjadi sahabat itu yang mana karena tenyata mereka saling menjual kelemahan satu sama lain. Ketika mendengar sharing ini saya merasa bahwa hal ini sudah menjadi pengalaman umum. Memang sangat sulit untuk memiliki sahabat sejati. Rasa cemburu, curiga dan bersaing selalu mewarnai sebuah persahabatan. Kalau orang tidak mampu mengolahnya maka mereka akan saling menjauh bahkan bermusuhan.
Terhadap sikap kaum Farisi dan para ahli Taurat, Yesus berusaha untuk mengubah hidup mereka dengan memberi tiga perumpamaan yang intinya mau mengatakan tentang kemurahan hati Allah Bapa. Perumpamaan pertama tentang seorang kaya yang memiliki 100 ekor domba. Ketika membawanya ke padang rumput, ada satu ekor yang tersesat. Ia meninggalkan Sembilan puluh Sembilan ekor dan pergi mencari satu ekor yang tersesat. Setelah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya, kembali ke rumah dengan suka cita. Perumpamaan kedua, ada seorang Bapa yang murah hati. Ia memiliki dua orang anak. Anak bungsu meras bebas maka ia menutut warisannya. Bapanya dengan murah hati memberikan yang menjadi haknya. Anak bungsu itu segera pergi dan menghabiskan semua kekayaan itu dengan hidup dalam dosa. Ia akhirnya kembali ke rumah, dan disambut dengan meriah oleh bapanya. Anak yang sulung tetap tinggal di dalam rumah, hidup dari semua harta kekayaan bapanya, tanpa menggunakan hartanya sendiri. Anak sulung lupa diri di hadapan bapanya. Ia bahkan menolak kehadiran adiknya. Tokoh utamanya adalah Bapa yang murah hati kepada anaknya yang berdosa (bungsu) dan anak sulungnya yang tidak tahu diri. Perumpamaan ketiga, seorang wanita miskin hanya memiliki uang sepuluh dirham. Satu dirham nilainya sama dengan satu dinar yang sebanding dengan upah kerja sehari. Rumahnya juga sederhana. Ketika ia mengalami kehilangan satu dirham, ia berusaha mencarinya dengan berbagai cara dan ketika menemukannya ia juga bersukacita. Ketiga perumpamaan Yesus ini menunjukkan seorang Allah yang murah hati yang sedang hadir di tengah-tengah kita.
Paulus dalam bacaan kedua mengisahkan kemurahan dan kerahiman Tuhan kepadanya. Ia merasa dirinya sebagai orang berdosa tetapi Tuhan mengasihinya. Oleh karena itu ia bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena telah menguatkannya karena menganggapnya setia dan mempercayakan pelayanan Injil kepadanya. Tentu saja bagi pribadi Paulus, sulit sekali menangkap dan memahami rahasia kasih Allah yang tiada batasnya. Mengapa demikian? Karena Paulus juga merasa dirinya orang yang rapuh: “Sebelumnya aku seorang penghujat dan seorang penganiaya yang ganas”, singkat kata, Paulus berkata bahwa dialah yang paling berdosa. Paulus memang lambat mengasihi Allah tetapi Allah tidak lambat mengasihinya. Ia rendah hati dan mengakui kemurahan dan kerahiman Tuhan.