Pada suatu ketika ada gempa bumi yang menimpa sebuah daerah. Banyak gedung yang roboh termasuk sebuah gedung sekolah dengan jumlah siswa lebih dari seribu orang. Para orang tua dan sanak keluarga berlarian ke sekolah setelah gempa untuk menyelamatkan anak, adik mereka. Tetapi dengan melihat bangunan yang runtuh itu banyak orang tua langsung pesimis. Ada seorang bapa setiap hari bekerja sebagai tukang batu. Anaknya bernama Chiko, berusia 10 tahun. Ia kembali ke rumahnya, mengambil peralatan kerjanya dan mulai mencari posisi kelas di mana anaknya berada. Ia mulai membersihkan, memecahkan batu-batu, memotong besi-besi beton dan memisahkan kayu-kayu.
Setelah seharian bekerja kelihatan belum menunjukkan dampak apa-apa. Hari kedua ia datang dan bekerja sendirian dari pagi sampai soreh. Banyak orang mencelanya bahwa usahanya itu sia-sia saja. Pada hari ketiga ia berhasil membuat sebuah lubang dan mendengar suara anak-anak dari dalam reruntuhan ruangan kelas. Ia semakin berusaha akhirnya berhasil memanggil nama anaknya. Ternyata anaknya bersama teman-teman sekelas masih hidup dan mereka menyahut. Ia berkata kepada anaknya: “Chiko, jangan takut, ayah ada di sini!” Anaknya berseru dari dalam kelas: “Ayah aku juga yakin bahwa engkau pasti datang untuk menjemput kami. Ayah seorang pemberani!” Pada sore harinya anak-anak berhasil dievakuasi. Semua orang merasa bahagia dan bersyukur atas pahlawan yang mau menyelamatkan banyak anak di sekolah.
Kisah sederhana ini menggambarkan figur seorang ayah yang sangat mencintai anaknya. Dalam situasi yang sulit ia tidak merasa panik tetapi menenangkan dirinya dan berusaha untuk mencari solusi untuk menyelamatkan anak-anak yang terjebak di dalam reruntuhan bangunan sekolah. Kadang-kadang kita melihat banyak orang tua memilih untuk pasrah dan menangis. Mungkin kita bisa membayangkan ada orang tua anak-anak sudah ke pastoran untuk meminta misa requiem. Ada juga yang diam sambil menunggu kedatangan pihak berwewenang untuk membersihkan puing reruntuhan bangunan sekolah. Ayah Chiko memiliki inisiatif untuk menyelamatkan bahkan bekerja sendiri untuk menyelamatkan anak-anak yang terjebak termasuk anaknya sendiri. Dia menjadi seorang pahlawan.
Di dalam masyarakat kita, ketika terjadi malapetaka tertentu seperti bencana alam, orang lebih cepat memilih pasrah dan pasif. Mungkin saja karena situasi yang mencekam sehingga membuat orang tidak berpikir lebih jauh dan mengambil tidakan penyelamatan yang konkret. Saya teringat akan dua orang anak yang bermain-main di atas pohon bambu. Tiba-tiba ada ular hijau menggigit salah seorang anak di perutnya. Orang tuanya panik dan menangis histeris karena anak mereka yang tunggal digigit ular. Saya sendiri saat itu nyaris panik. Saya mencari batu hitam yang dapat mengisap racun ular, mengambil pisau cukur dan melukai perut anak itu sehingga ada tetesan darah lalu menempel batunya. Keesokan harinya anak itu pergi ke sekolah seperti biasa. Orang tuanya datanga dan mengatakan kepadaku, “Romo, kami minta maaf karena kemarin kami sangat panik”.
Pada hari ini kita berjumpa dengan figur seorang pria dan ayah yang hebat. Ketika ada kesulitan yang dialami anak-anak, sang ayah biasanya tampil sebagai pahlawan yang bekerja tanpa kenal lelah. Ia akan berusaha, dengan cara apa saja untuk menyelamatkan anaknya dari bahaya. Seorang ayah yang berjiwa besar, ia memiliki iman dan keyakinan yang kuat bahwa Tuhan masih memelihara anaknya. Oleh karena itu meskipun dicela, dia tidak takut, tetap berani bekerja sampai tuntas. Seorang ayah yang memiliki keperihatinan tertentu terhadap anaknya.
Apa spiritualitas yang patut dimiliki oleh seorang pria katolik? Seorang pria katolik adalah dia yang mampu mengambil Tuhan Yesus sebagai model hidupnya. Tuhan Yesus rela berkorban untuk menebus dosa manusia meskipun Ia dicaci maki. Ia sangat menderita dan rela wafat di salib untuk keselamatan orang-orang berdosa. Kasih Yesus itu tidak berkesudahan dan inilah yang kiranya menjadi sumber spiritualitas kita hari ini. Di dalam Injil Yohanes, Yesus berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16).
Marilah kita kembali kepada panggilan kita masing-masing. Tuhan telah memanggil dan menentukkan kita untuk hidup seperti sekarang ini: sebagai ayah, guru, dosen, pengusaha dan aneka profesi lainnya. Lakukanlah semua pekerjaanmu dengan kasih dan pengorbanan diri. Biarkanlah orang mencelamu, tetapi ingat bahwa hasil pekerjaanmu akan membuat orang memiliki hidup. Kasih itu tidak berkesudahan.
PJSDB