Seharusnya Rasa Malu itu Ada, Tetapi…!
Seorang guru wali kelas di sebuah Sekolah Dasar memiliki satu kebiasaan yang baik. Ketika masuk ke dalam kelas, sebelum memulai pelajaran, ia menyalami semua siswa dan mengecek daftar hadir para siswanya. Sepuluh menit sebelum kegiatan belajar mengajar selesai, ia sudah berjalan di dekat ruangan kelas sambil mengecek jumlah siswa yang masih bertahan di dalam kelas. Pada suatu hari ada siswa-siswi tertentu yang bolos sebelum kegiatan belajar mengajar selesai. Pada hari berikutnya ia bertanya kepada para siswa yang bolos: “Apakah kalian masih memiliki rasa malu?” Anak-anak menjawab, “Ya, ibu. Kami masih memilikinya”. Ibu itu berkata, “Syukurlah kalau kalian masih memilikinya. Kalau begitu, mulai hari ini, belajarlah untuk tidak bolos dari sekolah.” Sejak saat itu anak-anak menjadi segan dan merasa malu kalau bolos dari sekolah. Anak-anak sekolah di kelas itu masih memiliki rasa malu sehingga mereka berjanji untuk tidak mau bolos dari sekolah. Kelas itu menjadi teladan di sekolah karena kematangan hidup para siswanya. Mereka tidak menyalahgunakan kebaikan guru wali kelasnya.
Pada suatu kesempatan yang lain saya memperhatikan perilaku para pegawai di sebuah perusahan. Mereka datang pada pagi hari dan tugas pertama ketika masuk ke halaman perusahan adalah sidik jari di tempat satpam. Delapan jam kemudian mereka melakukan hal yang sama. Saya bertanya kepada salah seorang staf perusahan itu dan ia mengatakan bahwa sejauh ini absensi karyawan dengan cara sidik jari cukup akurat. Belum ada persekongkolan antara pihak satpam dan para pekerja lainnya. Mereka tertib waktu sesuai ketentuan perusahan. Ini berarti para pekerja di perusahan ini masih memiliki rasa malu.
Apa yang terjadi dengan para Wakil Rakyat atau DPR kita di Senayan? Ternyata para Wakil Rakyat kita sudah tidak punya rasa malu. Para Wakil Rakyat atau para Anggota Dewan sudah tidak punya rasa malu karena mereka kerap kali bolos dalam rapat komisi. Buktinya, pada hari Rabu, 5 Februari 2014, Komisi I, III, IV dan VIII DPR mengadakan rapat komisi tetapi hanya sebagian anggota yang hadir. Koordinator ICW, Abdullah Dahlan berkata: “Mereka lebih mengedepankan pemilu. Sementara gaji, tunjangan dan segala macam terus diberikan”. Seharusnya ada Kontrol dari Badan Kehormatan DPR untuk memberi hukuman atau sangsi setimpal kepada mereka.
Para anggota DPR masih pergi mengobral janji-janji kepada rakyat di Daerah pemilihannya dan lupa apa yang seharusnya dikerjakan saat ini. Mereka boleh absen tetapi gaji dan tunjangan tetap mereka terima. Orang yang tak berpendidikan mengatakan, “makan gaji buta”. Kalau seandainya ada rasa malu, maka bapak-bapak dan ibu-ibu yang berada di Senayan dengan legowo mengatakan, “Bulan ini saya tidak menerima gaji. Saya sudah bolos sidang komisi maka saya juga tidak menerima gaji dari uang negara dan uang rakyat itu”. Ini hanya terjadi pada orang yang masih punya rasa malu dan punya hati nurani.
Saya ingat Pesepak Bola AC Milan, Riky Kaka, ketika mengalami cedera melawan Torino di liga Seri A tahun yang lalu. Pada waktu itu ia berkata: “Saya tidak akan menerima gaji selama pemulihan cedera saya”. Ia mengalami cedera di lapangan saat itu. Ia merasa malu karena baru pertama kali menjadi starter setelah pindah dari Madrid, ia langsung cedera. Orang yang masih punya hati nurani akan merasa malu.
Seandainya Badan Kehormatan DPR juga pro rakyat bukan pro partai maka mereka akan berani mengekspose nama-nama anggota DPR dari daerah pemilihan tertentu yang selalu bolos dalam rapat. Badan Kehormatan DPR tidak perlu takut untuk mengatakan kepada Indonesia para wakil rakyat yang sebenarnya. Ini adalah moment yang baik bagi rakyat untuk menentukan pilihannya. Biarlah rakyat mengetahui wakilnya yang datang dengan janji-janji muluk untuk melakukan ini dan itu tetapi tidak ada realisasinya. Biarlah rakyat menilai siapa yang layak atau tidak layak menjadi wakil mereka. Untuk apa kita memiliki wakil yang berada di Senayan tetapi selalu pasif (kurang fokus, mengantuk saat rapat bahkan melihat film porno di gadget selama sidang paripurna, suka bolos dan tidak pro rakyat? Untuk apa para wakil rakyat lebih mengabdi kepada partainya dari pada kepada rakyat Indonesia? Untuk apa memiliki wakil rakyat yang belum tahu etika berkomunikasi sehingga membuat keributan pada saat sidang-sidang tertentu?
Para siswa Sekolah Dasar di pedalaman masih memiliki rasa malu sehingga tidak membolos dari sekolah. Para pekerja kasar masih memiliki rasa malu sehingga mereka bekerja delapan jam dengan penghasilan yang pas-pasan. Para wakil rakyat sudah tidak memiliki rasa malu sehingga bolos dalam siding komisi, mereka lebih mementingkan jualan program kepada para pemilih di Daerah Pemilihannya. Mereka juga lebih mengabdi kepada partai daripada kepada bangsa dan Negara. Banyak orang terancam jadi golput kalau punya wakil seperti ini. Menyedihkan sekali.