Hari Senin, Pekan Biasa XIX
Yeh 1:2-5.24-2:1
Mzm 148: 1-2.11-12ab.12c-14a. 14bcd
Mat 17:22-27
Allahku, Engkau Teramat Mulia!
Pada suatu kesempatan, saya mengunjungi seorang sahabat lama di kantornya. Ia memiliki kebiasaan mengoleksi ikon-ikon tertentu dan di pajang di rumah dan tempat bekerja. Salah satu ikon yang saya lihat di kantornya adalah ikon seorang anak kecil yang kelihatan miskin sedang berlutut sambil berdoa: “Allahku, Engkau Teramat Mulia.” Saya bertanya kepadanya mengapa ia menyukai ikon seperti itu. Ia menjawab: “Aku merasa bahwa di hadirat Tuhan, aku hanya seorang anak miskin yang berdoa dan berharap kepadaNya.” Ini sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa dia orang beriman dan bahwa Tuhan adalah bagian dari hidupnya. Banyak kali orang lupa Tuhan di tempat kerja karena mereka memprioritaskan uang sebagai segalanya, tetapi sangat bersyukur kalau ada yang masih membuka diri kepada Tuhan melalui doa, pujian dan syukur. Allah sungguh-sungguh dimuliakan oleh manusia yang berharap kepadaNya.
Allah kita adalah Allah yang mahamulia. Nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama menggambarkan bahwa Allah kita itu teramat mulia. Bagaimana Yehezkiel mengalami panggilan Tuhan untuk menikmati kemuliaanNya? Dikisahkan bahwa Tuhan memanggil imam Yehezkiel, anak Busi, di negeri Kasdim di tepi sungai Kebar. Ia mendengar panggilan ini sekitar tahun 593 B.C, atau sekitar empat tahun setelah orang-orang Yehuda mengalami masa pembuangan di Babel. Ia mengalami kuasa dan kemuliaan Tuhan di Babel, sebuah negeri asing. Pengalamannya ini berbeda dengan pengalaman nabi Yesaya yang melihat kemuliaan Tuhan di dalam bait Suci di Yerusalem. Yesaya melihat para Serafim memiliki enam, sayap di mana dua sayap dipakai untuk menutupi muka mereka, dua sayap dipakai untuk menutupi kaki dan dua sayap lagi untuk melayang. Ia juga melihat Serafim memegang bara api (Yes 6: 3.6). Di dalam Kitab perjanjian Lama, api, badai dan awan gemawan merupakani tanda kemuliaan Allah. Api, badai dan awan gemawan mengingatkan kita pada kisah Tuhan Allah mewahyukan diriNya di atas gunung Sinai (Kel 19:1-25; 24:1-8).
Lalu apa yang dilihat oleh Yehezkiel di negeri asing ini? Ia melihat kemuliaan Tuhan dalam wujud angin badai yang bertiup dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, di tengah-tengah api itu kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka menyerupai manusia. (Yeh 1:4-5). Makhluk-makhluk yang menyerupai manusia itu berjalan dan sayapnya berbunyi seperti air terjun, seperti suara Yang Mahakuasa, seperti keributan laskar yang besar.
Penglihatan Yehezkiel ini merupakan tanda pengharapan dan pengadilan. Dikatakan tanda pengharapan karena Tuhan mewahyukan diriNya di negeri asing atau tanah pembuangan. Dengan demikian umat Allah akan memiliki harapan untuk kembali ke Sion, tempat Tuhan Yang Mahamulia bersemayam di BaitNya yang kudus. Sebagai tanda pengadilan Tuhan karena kemuliaanNya sedang meninggalkan Yerusalem. Di sini Yehezkiel sedang melihat pergeseran kemuliaan Tuhan dari Bait Suci di Yerusalem yang sudah dinodai dan dihancurkan Nebukadnesar dan diharapkan suatu saat akan kembali lagi karena Bait itu dibangun kembali dan disucikan.
Yehezkiel juga melihat adanya takhta dan suara di atas cakrawala. Takhta itu seperti permata lazurit dan di atasnya ada sesuatu yang kelihatan seperti manusia dengan api dan sinar yang mengelilinginya. Ada suara juga yang didengarnya: “Hai anak manusia, bangun dan berdirilah! Aku hendak berbicara dengan dikau.” (Yeh 2:1). Penglihatan Yehezkiel ini juga mirip penglihatan Daniel dalam Kitabnya dan Yohanes dalam Kitab Wahyu. Daniel melihat seorang yang menyerupai Anak Manusia datang di hadapan takhta yang Mahakudus dan menerima kekuasaan, kemuliaan dan kerajaan. Yohanes mengalami penglihatan yang sama dalam pembuangan di Patmos (Why 1:3).
Sama seperti Yehezkiel, Yohanes melihat empat makhluk penuh dengan mata mengelilingi Takhta kemuliaan. Satunya menyerupai singa, makhluk yang kedua sama dengan anak lembu, makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat seperti burung nasar yang sedang terbang. Makhluk-makhluk ini berseru siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang akan datang.” (Why 4:6-8). Setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, hormat dan syukur maka tersyungkurlah keduapuluh empat tua-tua di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu dan mereka menyembah Dia selama-lamanya (Why 4:9-11).
Di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus untuk kedua kalinya menyampaikan warta penderitaanNya. Yesus berkata: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali.” (Mat 17:22-23). Sebelumnya Yesus sudah mengatakan hal yang sama bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari yang ketiga (Mat 16:21). Untuk memuliakan manusia sebagai ciptaan yang indah maka Tuhan Yesus rela wafat di kayu salib. KebangkitanNya yang mulia menandakan kemuliaanNya karena dosa dan maut berhasil dikalahkan.
Pada hari ini kita juga mendapat inspirasi orang kudus yakni St. Klara. Klara Sciffi lahir pada tanggal 16 Juli 1194, putri sulung bangsawan Asisi Favorino Sciffi dan Ortolona. Semua kekayaan dalam keluarga bangsawan ini tidak menggiurkan Klara. Sebaliknya ia memiliki sikap lepas bebas dan meninggalkan segala-galanya, menjadi miskin supaya bisa menikmati kemuliaan Tuhan dan melayaniNya. Perjumpaan dengan St. Fransiskus dari Asisi mengubah hidupnya. Ia menjadi miskin dan mengabdikan dirinya di dalam biara suster Benediktin di Bastia. Ia kemudian menjadi pimpinan Biara selama 40 tahun di mana 29 tahunnya itu ia lewati dalam suasana sakit. Ia mempersembahkan penderitaannya untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Ia meninggal dunia pada tanggal 11 Agustus 1253.
Sabda Tuhan dan hidup St. Klara dari Asisi ini mengarahkan kita supaya memiliki harapan untuk menikmati kemuliaanNya. Setiap kali merayakan Ekaristi, kita melihat Tuhan hadir secara nyata. Ia berbicara melalui sabda dan memberi tubuh dan darahNya yang mulia untuk kita santap sebagai santapan rohani. Tuhan itu kasih!
Doa: Tuhan bantulah kami untuk selalu menikmati kemuliaanMu. Amen
PJSDB