Tuan Nadus Bala, SVD
Seorang Misionaris Lokal Yang Tekun
Pada malam hari ini 3 September 2014, Pukul 19.00 WIB, Gereja Katolik, Kongregasi SVD, keluarga besar Atawolo, Paroki Lerek, Lembata kehilangan seorang putra terbaiknya yang selama lebih dari dua puluh tahun melayani Tuhan sebagai biarawan dan imam SVD. Dialah Pater Bernardus Bala Ile, SVD. Pater Nadus meninggal dunia di usianya yang masih setengah abad. Saya mendengar bahwa ia sedang opname di rumah sakit St. Carolus karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Pada sore hari ini saya berniat mengunjunginya di ruangan ICU, tetapi sayang sekali karena saya terlambat sepuluh menit. Beliau sudah tidak ada, ia sudah pergi selamanya dan sudah di bawah ke ruang khusus untuk dimandikan.
Saya coba mengingat kembali sosok imam dari stasi Atawolo, Paroki Lerek, Lembata ini, yang saya kenal saat masih bertugas di Sumba, NTT. Saya masuk ke Pulau Sumba sebagai salah seorang pioner karya Kongregasi Salesian Don Bosco pada tanggal 8 Oktober 2002. Di tempat yang baru ini saya bertemu dengan beberapa imam dan biarawan biarawati dari Paroki Lerek. Saya ingat Bruder Blasius Bala Koban, SVD saat itu bertugas sebagai kepala perkebunan Keuskupan Weetebula. Sr, M. Kharisima Koban, PRR pioner karya suster-suster PRR di Sumba. Pater Bernardus Bala Ile, SVD, saat itu berkarya sebagai pastor paroki di Pala, Sumba Barat Daya dan Pater Arnoldus Yansen Tao, CSsR sebagai pastor Paroki Waimangura, Sumba Barat Daya. Kehadiran para saudara dan saudari ini sangat menguatkanku saat itu dan mereka ini menjadi teman curhat di hari-hari pertama berkarya di Sumba.
Pater Nadus memang saya pernah dengar namanya tetapi belum bertemu sebelumnya. Saya bertemu dan mengenalnya secara pribadi ketika berada di Sumba. Saya mendengar orang bercerita tentang Pater Nadus bahwa dia orang yang baik dan penuh dedikasi. Oleh karena itu ia melayani di Seminari Menengah Sinar Buana Sumba Barat Daya. Banyak di antara para muridnya sudah menjadi pastor. Dia juga banyak tahun berkarya di paroki-paroki tertentu yang dipercayakan keusukupan Weetebula kepada Tarekat SVD. Saya ingat di paroki Pala dan Paroki Arnoldus Yansen, Tambolaka. Saya sering diundang beliau untuk merayakan misa di paroki Pala dan Takmbolaka.
Apa yang saya ingat dari Pater Nadus?
Pertama, Pater Nadus itu orangnya sederhana. Ia menunjukkan kesederhanaannya dalam hidup pribadinya dan juga dalam karya pelayanannya sebagai seorang imam SVD. Saya mengingat bahwa selama berada di Pala, ia selalu mengendarai motor kebanggaannya yang bunyinya seperti helikopter untuk mengunjungi stasi-stasi terpencil. Perlu diketahui bahwa medan Pala itu sangat berat dan berbahaya tetapi Pater Nadus berhasil menaklukan alam itu. Ia setia melayani, bahkan saat sedang sakit pun ia tetap pergi untuk merayakan ekaristi atau berbicara dengan umat di stasi-stasi. Saya pernah bertanya kepadanya apakah ia betah di Paroki Pala. Ia menjawabku bahwa daerah Pala selalu mengingatkan kampung halamannya di Atawolo. Saya menjawabnya: “Ya, tuan Nadus kan dari kampung kecil, saya dari Lerek, kampung besar.” Dia tertawa terbahak-bahak, khasnya tuan Nadus kalau lagi bergembira. Sambil memukul belakang saya dia mengatakan “Dasar gendut…orang Lerek selalu mau menang sendiri.” Nadus itu seorang misionaris lokal yang tekun!
Kedua, Pater Nadus itu punya komitmen pastoral yang kuat. Baik di Paroki Pala maupun di Paroki St. Arnoldus Yansen Tambolaka, Nadus selalu menunjukkan komitmen pastoralnya untuk merayakan Ekaristi dan mengembangkan pastoral keluarga dengan mengunjungi keluarga-keluarga yang sedang mengalami kesulitan. Ia berbicara dan mencari solusi bagi keluarga-keluarga yang bermasalah. Komitmen lain ia tunjukkan sebagai Imam yang merayakan Ekaristi. Ia menyiapkan misanya dengan baik, homilinya terstruktur, kontekstual dan kadang panjang kalau dia memberi homili sambil menutup matanya. Mungkin dia lupa waktunya. Tetapi di kalangan umat sederhana di kampung-kampung sangat mengapresiasinya.
Ketiga, Pater Nadus itu memiliki “passion” untuk mendapat panggilan-panggilan baru di dalam gereja. Sebagai Pastor Paroki, ia berusaha mencari panggilan di kalangan anak-anak muda untuk masuk seminari Sinar Buana. Ia sering mengunjungi saya ketika masih menjadi rektor di komunitas Novisiat SDB, Weepengali Sumba, di bawah Paroki St. Arnoldus Yansen. Dari dialog berdua, saya bisa mengetahui “passion”nya untuk panggilan di dalam gereja.
Keempat, Pater Nadus itu berjiwa besar. Ia mengalami kesulitan tertentu terutama umat yang keras kepala, yang suka protes dan memarahinya. Tetapi dia berjiwa besar Dia berani untuk menghadapi orang-orang yang frontal dengannya dan mencari solusi bersama. Dia sering bercerita ketika selesai bertarung dengan umat yang membuatnya sakit kepala. Jiwa besar juga ditunjukkan ketika harus melawan aneka penyakit yang dideritanya. Dengan berdoa, dengan upaya medis di mana-mana, tetapi saya yakin jiwa besarnya itu tak akan mengubah kehendak Tuhan. Nadus hanyalah manusia yang taat kepada kehendak Tuhan termasuk menyerahkan nyawanya.
Kelima, Pater Nadus itu suka menghibur. Kalau bertemu dengan saya di komunitas, saat masuk kantorku dia selalu berkata: “Hmmm orang dari kampung besar, suku Tolok yang besar di Lerek dan jadi Pembesar di sini. Orang “Lerek aneken” tetapi jadi pembesar di tanah orang.” Biasanya dia mulai tertawa dan menyebut nama orang Lerek yang dikenal seperti “Lonek”. Kalau ada pertemuan pastores di Keuskupan, dia juga bisa mencairkan suasana dengan gayanya sendiri yang membuat orang merasa terhibur, tertawa terpingkal-pingkal dan setelah itu siap untuk melayani.
Pengalaman kebersamaan kami di Sumba berakhir ketika tahun 2009 saya pindah ke Jakarta dan tahun berikutnya beliau juga pindah tugas ke Ruteng untuk membantu formasi di sana. Kami sempat merayakan misa berdua di Cipayung, sambil bernostalgia bersama.
Setengah jam setelah meninggal dunia saya berjumpa dengan keluarga besar Atawolo yang sedang menangis sambil para suster memandikan jenasa Tuan Nadus. Kepada adiknya Agnes Kenupang, saya berpesan kepadanya untuk menyampaikan kepada seluruh keluarga di Jakarta dan Atawolo supaya keluarga harus bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan sudah memanggil Nadus di usia muda. Kita semua pasti tidak suka melihat dia menderita lebih lama! Kematiannya merupakan hadia terbaik dari Tuhan. Dia yang menciptakan, Dia juga yang mengambilnya. Saya juga meminta supaya keluarga bersyukur atas kemenangan besar yakni bahwa Nadus meninggal dunia sebagai seorang Pastor. Dia mengenakan gaun kudusnya sebagai imam dan di batu nisannya akan ditulis lengkap: Pater Bernardus Bala Ile,SVD. Nadus adalah Pastor dari stasi Atawolo kedua yang meninggal setelah Pater Paulus Pemulet, SVD.
Kita percaya bahwa Tuan Nadus akan menjadi pendoa bagi kita semua. Semoga kematiannya ikut menumbuhkan benih panggilan Tuhan dari stasi Atawolo.
Mo mol nepo kam dor bi Tuan.
Sahabatmu,
P. John Laba Tolok, SDB