Hari Minggu Biasa XXV/A
Yes 55:6-9
Mzm 145: 2-3.8-9.17-18
Flp 1:20c-24.27a
Mat 20:1-16a
Berbahagialah orang yang murah hatinya
Ada seorang romo yang menceritakan pengalaman hidupnya pada perayaan ulang tahun tahbisan imamatnya. Sebelum menerima tahbisan imamat, ia bersama teman-temannya mengikuti retret persiapan tahbisan dan menentukan moto tahbisan. Moto tahbisan itu nantinya menjadi pedoman yang mengantar imam tersebut melayani Tuhan dan sesama dengan sukacita. Setelah berdoa dan berefleksi, ia memilih moto tahbisannya: “Berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Mat 5:7). Mengapa ia memilih moto tahbisan ini? Ia merasa bahwa selama proses pembinaan sebagai calon imam ia terkadang pelit dan susah untuk berbagi dengan sesama di komunitas. Sekarang ia akan menjadi imam maka ia berniat untuk berubah total menjadi orang yang murah hati. Ia mau melayani Tuhan dengan hati yang bahagia. Ia juga merasa bahwa menjadi imam yang murah hati adalah sebuah bentuk pertobatannya.
Tuhan Yesus dalam Injil berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk 6:36). Kita bangga menjadi anak-anak Allah karena pembaptisan maka dengan bangga kita juga harus bermurah hati menyerupaiNya. St. Yakobus menambahkan: “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya.” (Yak 1:5). Murah hati adalah adalah wujud kasih yang sebenarnya (1Kor 13:4). Pertanyaan bagi kita adalah, apakah kita murah hati kepada Tuhan dan sesama?
Murah hati adalah satu kebajikan yang luhur yang harus dimiliki oleh setiap orang karena berasal dari Tuhan sendiri. Murah hati itu seperti cahaya yang terpancar dari diri kita untuk menerangi sesama kita. Hal ini akan terwujud dalam perbuatan-perbuatan yang nyata. Murah hati berarti tidak pelit, siap untuk membantu sesama yang sangat membutuhkan. Murah hati berarti perasaan empati dan mau terlibat aktif dalam kehidupan orang yang menderita. Murah hati berarti kesiapan diri untuk bisa mengampuni dan diampuni, memaafkan dan dimaafkan. Murah hati adalah kasih yang luhur kepada sesama tanpa hitung-hitungan tertentu.
Dalam bacaan pertama nabi Yesaya mengingatkan kita bahwa relasi persaudaraan kita tidak harus diukur dengan ukuran duniawi. Artinya masih ada banyak orang yang cendrung mengukur kebaikan orang dengan ukuran yang bersifat ekonomis, prestasi dan waktu berbakti. Tuhan Allah mengukur dengan kasih dan kemurahanNya bukan berdasarkan prestasi manusiawi kita. Untuk itu kita perlu mencari Tuhan selama Ia berkenan ditemui, berseru kepadaNya selagi Ia dekat. Orang fasik dan jahat harus meninggalkan hidup lamanya dan berbalik kepada Tuhan. Mengapa? Karena hidup bersama Tuhan lebih menyenangkan. Semua orang mengikuti kehendakNya dari pada kehendak kita sendiri. Tuhan berkata: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku.” Dialah yang murah hati dan berkehendak baik bagi kita.
Usaha mengikuti kehendak dan rancangan Tuhan berarti ada usaha dari dalam hati kita untuk bersatu denganNya. Tuhan benar-benar ada dan menghidupkan diri kita dari dalam. St. Paulus dalam bacaan kedua mengisahkan pengalamannya sendiri dari dalam penjara dan bagaimana ia tetap mau bermurah hati dengan sesamanya di Filipi. Ia memang menderita tetapi tidak meninggalkan umat Allah sendirian. Ia berani bersaksi bahwa Kristus dimuliakan di dalam tubuhnya, baik hidup maupun matinya. Maka dengan tegas ia berkata: “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keberuntungan.” Hidup baginya merupakan kesempatan untuk berbuah sehingga ia memilih tetap tinggal bersama umat. Ini adalah salah satu kesaksian Paulus tentang hidup sebagai orang yang murah hati. Dalam suka dan duka ia tetap setia melayani Tuhan dan sesama.
Tuhan Yeus dalam Injil memberi perumpamaan yang bagus tentang Kerajaan Surga. Ia mengatakan bahwa Kerajaan Surga itu seumpama seorang tuan rumah yang memiliki kebun anggur yang luas dan mencari pekerja untuk bekerja dengan upah harian. Ia keluar dari rumahnya dan dengan bebas memanggil orang-orang untuk bekerja di kebun anggur pada jam-jam yang berbeda yakni jam enam, sembilan, dua belas, tiga dan lima sore. Orang-orang yang dipanggil itu akan mendapat upah satu dinar sesuai kesepakatan bersama pada awal perjumpaan mereka.
Pada jam enam sore, tuan rumah itu memanggil mandor untuk membayar upah orang-orang upahan itu mulai dari mereka yang bekerja pada jam lima, tiga, dua belas, sembilan dan enam. Semuanya mendapat satu dinar sesuai dengan kesepakatan. Reaksi pun berdatangan dari para pekerja. Orang yang bekerja dari jam lima sore pasti merasa senang tetapi orang yang bekerja dari awal merasa bahwa tuan kebun anggur itu tidak adil karena ia memberi semuanya satu dinar tanpa membedakan waktu bekerja. Mereka bersungut-sungut karena lupa kesepakatan awal bahwa bekerja sehari diberikan upah satu dinar. Bahwa mereka yang masuk pada jam lima sore juga diberikan satu dinar adalah hak dari tuan rumah itu.
Ketika mendengar sungut-sungut itu, tuan rumah itu berkata: “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” (Mat 20: 13-16).
Perumpamaan ini sangat bagus karena membuka mata dan hati kita untuk semakin mencintai Allah karena Ia murah hati dengan kita dan kita sendiri disadarkan untuk melepaskan segala hitungan kita secara manusiawi. Kemurahan hati Allah itu ditunjukkan dengan komitmen untuk keluar dari diriNya dalam setiap waktu kehidupan untuk menyapa dan memanggil manusia supaya masuk ke dalam KerajaanNya. Ia bahkan memanggil orang-orang pada saat terakhir untuk masuk ke dalam KerajaanNya dengan status yang sama yakni sebagai anak-anak Allah.
Di dalam Kerajaan Allah, Ia juga tidak membedak-bedakan manusia. Semua orang yang dipanggilNya memiliki hak yang sama tanpa membuat perhitungan waktu mengabdi dan prestasi kerja. Orang-orang berdosa yang sudah lama bertobat dan barusan bertobat memiliki hak yang sama untuk tinggal di dalam KerajaanNya.
Sikap Tuhan ini berbeda dengan sikap manusiawi kita. Banyak kali kita hanya mengeluh, membuat hitungan. Misalnya dalam hal hidup menggereja. Banyak orang yang merasa sudah lebih lama mengabdi, punya jasa dengan Gereja dan patut mendapat prioritas pelayanan pastoral dari gembalanya. Akibatnya mereka akan mengeluh kalau tidak dilibatkan lagi, apalagi kalau pendatang baru dalam pelayanan lebih profesional. Mari kita meninggalkan sikap iri hati dan memilih lebih bermurah hati karena Bapa di surga juga murah hati adanya.
Doa: Tuhan, bantulah kami untuk selalu bermurah hati. Amen
PJSDB