Kematian: mengapa harus ditakuti?
Bulan November hampir berakhir. Kita selalu mengingatnya sebagai bulan khusus untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Di samping mendoakan, kita juga mengunjungi kuburan, membersihkan dan mengenang kembali pengalaman kebersamaan dengan orang yang kita kasihi itu. Kalau kita membuka Kitab Suci, kita boleh berbangga karena sebagai manusia, kita adalah ciptaan yang paling mulia. Tuhan sendiri bersabda: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej 1:26-27).
Kutipan Kitab Suci ini menggambarkan bahwa di hadapan Tuhan, manusia itu begitu mulia, luhur dan ilahi karena diciptakan sesuai dengan rupa Allah. Namun demikian manusia menyalahgunakan kebebasan dan kebaikan Tuhan. Manusia pertama yakni pria dan wanita jatuh dalam dosa. Ganjaran dari dosa pertama adalah kematian. Manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Tuhan bersabda: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kej 3:17-19).
Manusia memulai hidup dengan kelahiran dan akan berakhir dengan kematian. Kematian merupakan suatu kepastian. Setiap orang pasti mengalaminya. Tuhan Yesus sendiri menebus manusia dengan kematianNya di atas kayu salib. Satu hal yang dilakukan Yesus bagi orang-orang mati adalah membangkitkan kembali. Anak perempuan Yairus (Mat 9:25), seorang anak muda dari Nain (Luk 7:14), Lazarus (Yoh 11:43-44). Tuhan membangkitkan mereka tetapi kemudian mereka akan meninggal dunia lagi. Tuhan Yesus mau menunjukkan perbedaan manusia dan diriNya. Ia sendiri wafat satu kali dan bangkit satu kali untuk selama-lamanya. Yesus berkata: “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa.” (Yoh 16:28).
St. Paulus menasihati jemaat di Kolose supaya hidup mereka sepadan dengan Tuhan. Manusia sudah dibangkitkan bersama dengan Kristus maka mereka haruslah mencari perkara yang di atas, di mana Kristus juga berada, duduk di sebelah kanan Allah. Bagi Paulus, manusia sudah mati dan hidupnya tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Maka Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan. (Kol 3: 2-4). Kebangkitan Kristus menjadi kebangkitan kita semua.
Apakah kematian itu menakutkan?
Banyak orang merasa takut untuk mati. Mereka mau hidup seribu tahun lagi. Daud dalam doanya pernah berkata: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” (Mzm 90:10). Hidup memang sementara, bahagia dan derita datang silih berganti.
Saya sedang membaca sebuah buku karya Tammy Cohen berjudul: “The Day I Died” Buku yang terbit hampir sepuluh tahun silam itu berisikan kisah-kisah menakjubkan tentang pengalaman mati suri (Near Death Experiences). Janet Larsen mengisahkan pengalamannya mati suri selama sembilan hari. Apa yang menakutkan dan membahagiakannya. Ia memulai kisahnya kepada Cohen dengan mengatakan bahwa andai saja ada seorang yang berkata kepadanya bahwa ia akan mati karena sakit kanker, ia akan berkata kepada Tuhan: “Terima kasih Tuhan”. Menurut Janet, kematian bukanlah hal yang harus ditakuti sama sekali. Ia pernah mengalaminya sembilan hari dan ketika hidup kembali ia sungguh-sungguh memiliki perasaan dan kerinduan yang luar biasa untuk mengalaminya lagi.
Sejak kecil ia mengalami diabetes. Pada suatu hari ayahnya membawa daging asap yang aromanya sangat nikmat. Ia memakannya kemudian muntah sampai kehilangan cairan tubuh. Selama sembilan hari ia mati suri. Apa yang dialaminya pada saat mati suri? Ia memasuki suatu ruang yang gelap meskipun ia seorang phobia tempat gelap. Kegelapan itu kemudian berubah menjadi sebuah lorong dan ia melewatinya menuju ke seberkas cahaya di ujung lorong itu. Pada saat itu ia tidak merasa takut, tekanan, hanya kegelapan dan cahaya yang menakjubkan itu. Tak ada kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan cahaya itu. Cahaya itu tidak mendatanginya, ia justru berjalan menuju kepada cahaya itu. Ia terhanyut dalam perasaan damai, dan begitu indah mempesona. Dia sadar pada hari kesembilan dan hidup, menikah dan memiliki tiga anak.
Pengalaman melewati lorong gelap menuju cahaya penuh kedamaian itu juga dirasakan orang tuanya di saat-saat terakhir hidup mereka. Janet menemani ayahnya di saat-saat terakhir. Ayahnya melihat sebuah jalan dan Janet menyuruh untuk mengikuti jalan itu. Ayahnya merasakan kedamaian yang luar biasa. Ibunya juga mengalami hal yang sama yakni kedamaian.
Dari pengalamannya yang menakjubkan ini, Janet berkesimpulan bahwa kematian bukanlah hal yang perlu ditakuti. Kematian baginya adalah sebuah persinggahan untuk memasuki dimensi waktu yang lain. Ia mengatakan bahwa kita tidak menghilang begitu saja. Kita selalu ada setelah kematian dengan tubuh yang berbeda, hanya saja tidak berada di dalam tubuh yang sama. Kematian itu hanyalah sebuah permulaan.
Secara rohani, mari kita menyiapkan diri untuk menyambut saudara kematian. Ia pasti akan datang untuk menjemput kita supaya di mana Yesus berada kita juga berada bersama dengan Dia (Yoh 14:1-3). Apakah anda masih cemas atau gelisa menghadapi kematianmu?
P.John, SDB