Hari Sabtu, Pekan Paskah VII
Kis. 28:16-20,30-31
Mzm. 11:4,5,7
Yoh. 21:20-25.
Jangan suka mencampuri urusan orang!
Ada dua orang bersaudara. Mereka memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Mereka juga berbeda dalam memandang sebuah persoalan dan mencari solusinya. Orang tua mereka sangat tanggap dan berusaha untuk mendidik mereka dengan baik sesuai karakter mereka supaya bisa menjadi diri mereka sendiri. Pada suatu hari kedua bersaudara ini mengikuti ayahnya ke kebun. Ketika tiba di sana, mereka bekerja bersama-sama. Sang ayah memperhatikan perilaku mereka berdua. Anak sulung bekerja dengan tekun sedangkan anak bungsu hanya bermalas-malasan. Oleh karena itu anak sulung memarahi adiknya di depan ayahnya. Ia juga bersungut-sungut, membandingkan dirinya dengan adiknya. Ketika itu ayahnya menasihati anak sulungnya: “Nak, biasakanlah dirimu untuk tidak perlu mencampuri urusan orang lain. Adikmu lebih muda dan ia masih belajar untuk bekerja di kebun.” Anak sulung itu mendengar nasihat ayahnya dengan baik dan mencoba mengubah kebiasaannya itu. Kedua orang tua ini menghendaki supaya anak-anaknya menjadi mandiri, berpikiran positif dan tidak terbiasa mencampuri urusan orang lain.
Banyak kali kita mudah terprovokasi untuk membandingkan diri kita dengan sesama yang lain. Misalnya dalam hal tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan kepada kita. Ada yang optimis dalam melakukannya, melihat berbagai persoalan sebagai peluang yang baik untuk berkembang. Ada orang yang pesimis dan hanya bisa mengeluh kepada semua orang di sekitarnya. Orang itu masih belum berani menjadi dirinya sendiri. Dia butuh waktu untuk bertumbuh menjadi diri sendiri dan menerima sesama apa adanya. Mungkin juga karena imannya masih kecil.
Hal-hal yang disebutkan di atas bisa juga berlaku dalam mengikuti Tuhan. Mari kita melihat sisi kehidupan Petrus dan Tuhan Yesus. Petrus pernah berkata kepada Tuhan Yesus: “Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” Jawab Yesus: “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” (Yoh 13:37-38). Petrus boleh berjanji tetapi ketika dalam situasi yang sulit ia mudah mengingkari janjinya kepada Yesus. Ia menyangkal Yesus tiga kali dan membiarkan Yesus menderita seorang diri.
Petrus menyesal dan mau memulihkann hubungannya dengan Tuhan. Ia berjanji untuk mengasihi Tuhan lebih dari yang lain. Tuhan Yesus pun memerintahkannya untuk menjadi gembala atas domba-domba. Domba-domba itu milik Tuhan dan Petrus menggembalakannya atas nama Tuhan. Dengan demikian Tuhanlah yang harus semakin dikenal oleh banyak orang bukan dirinya sebagai gembala. Hal ini bisa terlaksana kalau sang gembala belajar menderita seperti Yesus Kristus sang gembala agung.
Berkaitan dengan hal ini, Tuhan Yesus pernah berkata kepada Petrus: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.” (Yoh 21:18-19). Seorang pemimpin yang baik adalah dia yang bisa menderita untuk anggota-anggotanya. Dia melayani dengan sukacita dan selalu mencari kebaikan dari sesamanya.
Apakah pengalaman kebersamaan Yesus ini berjalan mulus? Petrus tetaplah Petrus. Dia siap untuk menderita dan mati bagi Yesus sebagai bukti bahwa ia mengasihi-Nya lebih dari pada yang lain, namun ia juga masih membandingkan dirinya dengan sesamanya. Ketika melihat murid yang dikasihi Yesus, ia bertanya kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” (Yoh 20:21). Yesus menjawabnya: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (Yoh 21:22). Tuhan Yesus mengingatkan Petrus supaya tekun mengurus domba-domba milik Tuhan bukan hal-hal lain di luar tanggungjawabnya. Urusan Tuhan tetaplah menjadi urusan Tuhan bukan manusia. Tuhan sendiri pernah berfirman: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalan-Ku bukanlah jalanmu.” (Yes 55:8).
Prinsip hidup Petrus berbeda dengan Paulus. Dalam situasi yang sulit, Paulus tetap setia mengikuti rencana Tuhan dalam hidupnya. Ia ditangkap di Yerusalem, diadili tetapi tidak memiliki kesalahan. Pokok perkaranya hanya soal kebangkitan Yesus Kristus yang diwartakannya. Karena itu dia naik banding dan dikirim ke Roma. Di sana ia tinggal sendirian dan melanjutkan aktivitasnya sebagai rasul. Lukas bersaksi: “Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus.” (Kis 28:31). Seluruh kehidupann Paulus tercermin dalam perkataannya: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9:16).
Figur Petrus dan Paulus membantu kita untuk bertumbuh dalam Gereja. masing-masing umat Allah memiliki karakter dan keunikannya yang bisa membuat Gereja kita indah, dan terus berkembang. Hal yang ditinggalkan oleh Petrus dan Paulus adalah cinta kasih mereka kepada Kristus. Mari kita membaharui kasih kita kepada Kristus Tuhan kita.
PJSDB