Hari Rabu, Pekan Biasa XVIII
Bil. 13:1-2a,25 – 14:1,26-29,34-35
Mzm. 106:6-7a,13-14,21-22,23
Mat. 15:21-28
Meragukan Janji Allah
Pengalaman akan Allah yang menakjubkan Musa pertama kali terjadi di Gunung Horeb. Ketika itu Musa bekerja sebagai penggembala kambing dan domba Yitro, mertuanya yang saat itu menjabat sebagai imam Midian. Ia melihat nyala api yang keluar dari semak duri, semak durinya memang menyala tetapi tidak terbakar. Ini tentu sangat mengherankan seorang gembala seperti Musa saat itu. Ini adalah kesempatan pertama kali Musa berjumpa dengan Tuhan, mengenal nama Tuhan sebagai Yahwe, mendapat tugas sebagai pemimpin untuk membebaskan Israel dari perbudakan Mesir. Satu janji yang Tuhan sampaikan kepada Musa adalah: “Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus.” (Kel 3:8.17). Tentu sangat menggiurkan janji Tuhan ini. Sebuah negeri yang merdeka, baik, luas dan berkelimpahan. Musa mendengar, merenungkan dan percaya kepada janji Tuhan ini. Tentu tanah terjanji itu adalah impian yang pasti mereka rasakan bersama.
Tentu saja Musa sebagai leader menyampaikan janji Tuhan kepada bangsa Israel. Semua hal baik yang bisa membahagiakan, mensejahterakan merupakan harapan bagi bangsa Israel. Namun demikian dalam perjalanan menuju ke tanah terjanji, bangsa Israel mengalami pergumulah hidup yang luar biasa. Kita mengingat peristiwa laut merah yang menakutkan karena kejaran para prajurit Mesir namun Tuhan menyelamatkan mereka. Tuhan memihak bangsa Israel. Ketika berkemah di kaki gunung Sinai, mereka semua jatuh dalam dosa berat yaitu menyembah berhala. Tuhan masih mengampuni mereka semua. Ketika mereka bersungut-sungut karena kekurangan makanan dan minuman, Tuhan memberikan mereka Manna, daging burung puyuh dan air. Namun satu hal yang selalu mereka lakukan dan menyakitkan Tuhan adalah menggerutu, bersungut-sungut, memiliki hati yang tegar melawan Tuhan.
Pengalaman jatuh dan bangun, mengulangi dosa yang sama yakni menggerutu tidak membuat Tuhan menutup mata hati-Nya kepada mereka. Ia tetap membimbing mereka perlahan-lahan namun pasti menuju ke tanah Kanaan. Pada siang hari Tuhan hadir dalam rupa tiang awan dan pada malam hari dalam rupa tiang api. Ketika tiba di Gurun Paran, Tuhan mengingatkan Musa untuk mengirim para pengintai yang mewakili setiap suku Israel, untuk melihat dari dekat tanah Kanaan yang Tuhan sudah janjikan bagi mereka. Tentu saja tanah Kanaan bukanlah tanah kosong, ada penghuninya maka tujuan pengintaian adalah supaya mereka bisa membangun strategi untuk menghadapi para penghuni negeri Kanaan itu.
Ekspedisi untuk pengintaian dilakukan selama empat puluh hari. Mereka melaporkan kepada Musa dan Harun pengintaian mereka selama empat puluh hari. Inilah isi laporannya: “Kami sudah masuk ke negeri, ke mana kausuruh kami, dan memang negeri itu berlimpah-limpah susu dan madunya, dan inilah hasilnya. Hanya, bangsa yang diam di negeri itu kuat-kuat dan kota-kotanya berkubu dan sangat besar, juga keturunan Enak telah kami lihat di sana. Orang Amalek diam di Tanah Negeb, orang Het, orang Yebus dan orang Amori diam di pegunungan, orang Kanaan diam sepanjang laut dan sepanjang tepi sungai Yordan.” (Kel 12:27-29).
Orang-orang Israel memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap laporan ini. Ada yang berani melawan arus, ada yang langsung menyerah kalah, ada yang merasa takut untuk masuk ke tanah Kanaan karena berita-berita yang simpang siur seperti ada penduduk asli yang berperawakan seperti raksasa, ada yang bisa makan daging manusia. Orang-orang Israel berpikir bahwa mereka berjuang sendiri maka mereka pun takut dan menangis semalam-malaman. Mereka sungguh-sungguh meragukan janji Tuhan. Memang, kalau kita mengandalkan diri sendiri dan melupakan Tuhan maka yang ada pada kita hanya ketakutan yang berkepanjangan. Hanya ada keraguan yang menguasai hidup kita.
Tuhan mengetahui seluruh keadaan orang-orang Israel. Mereka masih menggerutu, masih merasa takut, masih menggugat janji Tuhan akan negeri yang baru dengan segala kelimpahannya. Ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan, mereka cepat putus asa dan menyerah. Inilah perkataan mereka, “Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini! Mengapakah Tuhan membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan isteri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir? Baiklah kita mengangkat seorang pemimpin, lalu pulang ke Mesir.” (Bil 14:2-4). Ini menandakan betapa rapuhnya iman mereka di hadapan Tuhan. Iman mereka kecil! Oleh karena itu Tuhan menunjukkan murka-Nya kepada mereka.
Musa dan Harun mendengar semua celotehan orang-orang Israel dan bersujud di depan mereka. Yosua dan Kaleb juga para pengintai mengoyakkan pakaian mereka dan mengingatkan mereka supaya jangan menggerutu melawan Tuhan. Tanah Kanaan dan isinya memang sesuai dengan janji Tuhan. Namun karena sikap orang-orang Israel yang melawan Tuhan secara terang-terangan maka Ia pun menunjukkan murka-Nya kepada mereka. Tuhan mengatakan bahwa kata-kata mereka akan menjadi hakim bagi diri mereka sendiri. Akan ada banyak bangkai yang berserakan di padang gurun. Mereka semua yang sudah terdaftar, yang berusia dua puluh tahun ke atas termasuk Musa dan harun tidak akan masuk ke tanah terjanji. Hanya Khaleb dan Yosua yang akan bertahan hidup.
Pengalaman akan Allah di padang gurun ini erat dengan pengalaman hidup kita setiap hari. Bersungut-sungut atau menggerutu selalu menjadi bagian dari kehidupan kita setiap hari. Kita selalu menggerutu karena lupa bahwa Tuhan adalah kasih. Ia mengasihi kita apa adanya tetapi kita tidak menyadarinya. Kitalah yang melupakan Tuhan! Kitalah yang meragukan kasih Tuhan padahal kita mengalaminya setiap saat. Mari kita berdoa bersama Pemazmur: “Ingatlah akan daku, ya Tuhan, demi kemurahan-Mu terhadap umat” (Mzm 106:4).
PJSDB