Homili hari Rabu, Pekan Biasa XIX
Ul. 34:1-12
Mzm. 66:1-3a,5,8,16-17
Mat. 18:15-20
Musa Lama dan Musa Baru
Musa adalah seorang pemimpin Israel yang hebat. Tuhan sendiri yang berkehendak untuk meluputkannya dari bahaya rancangan Firaun. Namanya menunjukkan kuasa Allah yang menyelamatkannya dari air, ia ditarik keluar dari dalam air. Tuhan juga yang memanggil dan mengutus Musa untuk memimpin bangsa Israel supaya keluar dari tanah Mesir. Tentu saja Musa harus melawan arus, menghadapi banyak rintangan baik di hadapan Firaun maupun sesama bangsa Israel. Namun demikian, Tuhan tetaplah Allah yang mahabaik yang selalu mendorong dan memberkati Musa. Ia memimpin bangsa Israel dalam peziarahan hingga mendekati tanah terjanji. Hal yang menarik perhatian dari kehidupan Musa adalah ia dipercayakan Tuhan sebagai pemimpin umat Israel yang sabar dan bisa berdialog dengan Tuhan dan sesamanya. Ia tidak melakukan semua pekerjaannya sendiri tetapi selalu melibatkan Tuhan dalam karyanya.
Musa mewarisi kepemimpinannya kepada Yosua dalam suasana penuh kekeluargaan. Ia tidak memiliki ambisi atau sindrom kekuasaan. Ia tidak mencuci tangan dan membiarkan umat Israel bergumul sendiri. Ia memanggil Yosua dan meletakkan tangannya, menahbiskannya menjadi pemimpin baru Israel. Musa berkata: “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkau akan masuk bersama-sama dengan bangsa ini ke negeri yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyang mereka untuk memberikannya kepada mereka, dan engkau akan memimpin mereka sampai mereka memilikinya. Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.” (Ul 31:7-8). Seorang pemimpin yang akan menjadi mantan pemimpin tetap memiliki hati terhadap orang yang pernah dipimpinnya. Pempimpin itu percaya bahwa Tuhanlah yang akan hadir untuk mendampinginya.
Pada hari ini kita mendengar kisah-kisah terakhir nabi Musa. Ia memiliki visi yang tajam tentang dirinya dan bangsa Israel. Dikisahkan bahwa ia naik ke atas gunung Nebo dari dataran Moab bersama Tuhan. Tuhan memperlihatkan kepadanya seluruh tanah Kanaan yang luas dan kaya. Tuhan berkata kepada Musa: “Inilah negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; demikian: Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu. Aku mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi engkau tidak akan menyeberang ke sana.” (Ul 34:4).
Tentu saja ini merupakan sebuah kisah sedih dan mengharukan bagi Musa. Ia hanya bisa melihat tanah terjanji dari jauh saja tetapi tidak bisa menginjakkan kakinya. Selama empat puluh tahun berjalan bersama bangsa Israel, ia memimpin dengan sukacita, akhirnya ia tiba juga pada puncak hidupnya. Ia meninggal dunia di tanah Moab. Ia disebut hamba Tuhan. Usianya 120 tahun, matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang. Umat Israel lalu memiliki seorang pemimpin baru yaitu Yosua bin Nun. Nama Yosua mirip dengan nama Yesus yang berarti Allah memiliki kuasa untuk menyelamatkan. Yosua penuh dengan roh kebijaksanaan, sebab Musa telah meletakkan tangannya ke atasnya. Sebab itu orang Israel mendengarkan dia dan melakukan seperti yang diperintahkan Tuhan kepada Musa. (Ul 34:9).
Apa yang masih tetap diingat dari Musa oleh bangsa Israel? Musa dikenal Tuhan dengan berhadapan muka (Ul 34:10). Ia bisa melihat kemuliaan Tuhan dan memancarkan kemuliaan Tuhan kepada sesamanya (Kel 34:29-30). Musa melebihi nabi yang bangkit di antara orang Israel (Ul 34:10). Dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas perintah Tuhan di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua pegawainya dan seluruh negerinya, dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel. (Ul 34:11-12). Musa Lama di dalam Kitab Perjanjian Lama menunjukkan dirinya tetap bersekutu dengan Tuhan. Segala rencana dan karya Tuhan sempurna ketika Musa melakukannya.
Tuhan Yesus adalah Musa Baru, di dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam pengajaran-pengajaran-Nya, Yesus juga mengingatkan para murid-Nya tentang peran Musa dalam sejarah keselamatan. Satu contoh, ketika menampakkan diri-Nya di atas gunung yang tinggi, Musa berbicara dengan Yesus, bahwa rencana keselamatan Tuhan akan sempurna di dalam diri Yesus sendiri. Pada hari ini kita mendengar kisah injil tentang bagaimana seharusnya kita hidup bersama sebagai saudara. Satu hal yang penting adalah bagaimana kita semua saling memberikan teguran persaudaraan, bisa juga disebut koreksi persaudaraan. Ini tentu saja bukanlah hal yang ringan. Orang yang mengoreksi maupun yang menerima koreksi harus sama-sama rendah hati. Prinsip Bonum Commune harus dipegang teguh.
Bagaimana tahap-tahap dalam memberi koreksi persaudaraan? Pertama, kita berbicara dari hati ke hati dengan saudara yang berbuat dosa. Yesus berkata: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” (Mat 18:15). Kedua, Kita berbicara bersama dengan beberapa orang dekat. Yesus berkata: “Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.” (Mat 18:16). Ketiga, Kita duduk bersama dalam komunitas. Yesus berkata: “Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.” (Mat 18:17). Koreksi atau teguran persaudaraan itu melibatkan semua saudara karena setiap saudara adalah bagian hidup kita.
Teguran persaudaraan bisa berhasil kalau ada doa. Artinya doa menjadi landasannya. jadi sebelum menengur berdoalah supaya teguranmu itu bisa mengubah hati yang keras menjadi lembut. Yesus berkata: “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20). Banyak orang mengeluh karena kesulitan dalam memberi koreksi persaudaraan karena ia tidak memulainya dengan doa. Biarkan Tuhan yang bekerja dengan kuasa kasih-Nya karena kalau kita sebagai manusia yang menegurnya pasti aspek manusiawi kita ikut terlibat. Ada rasa marah, dendam dan emosi yang sangat manusiawi. Musa menegur umat Israel selalu bersama Tuhan. Tegurannya keras tetapi mengubah hidup umat Israel karena ada kuasa ilahi. Tuhan Yesus sebagai Musa Baru juga menegur dengan keras tetapi orang bisa berubah karena ada kasih. Bagaimana pengalamanmu mengoreksi sesamamu?
PJSDB