Hari Selasa, Pekan Biasa II
1Sam. 16:1-13
Mzm. 89:20,21-22,27-28
Mrk. 2:23-28
Yesus itu lebih dari segalanya!
Ada seorang pemuda yang mengaku pernah mengalami keraguan dalam imannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Ia rajin berdoa, membaca Kitab Suci, melakukan perbuatan amal kasih, namun kadang-kadang di dalam hatinya selalu muncul keraguan yang besar. Menurutnya, hal yang mengganjal hatinya adalah pada pertanyaan apakah Yesus itu Tuhan? Ia pernah berdoa sambil memohon kepada Tuhan supaya Ia bisa membuka mata imannya yang tertutup rapat itu. Pada suatu hari ia berbicara dengan seorang pastor di parokinya. Ia bertanya kepada pastor, “Apakah Yesus benar-benar Tuhan?” Pastor mendengarnya dengan penuh perhatian, memandangnya dengan penuh kasih dan berkata kepadanya: “Saya percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia lebih dari segalanya bagiku”. Pemuda itu kembali ke rumahnya dengan suasana bathin yang semakin penuh dengan keraguan. Ia duduk di kamarnya sambil mengingat kembali kata-kata pastor tadi: “Saya percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Dia lebih dari segalanya. Ia ada dan tidak pernah mengecewakan saya” Pemuda itu mendengar dan merenung, akhirnya merasakan kekuatan baru. Ia berkata dalam hatinya: “Saya harus percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan bahwa Dia lebih dari segalanya.” Ini adalah awal pertobatannya.
Pengakuan iman pemuda ini juga menjadi gambaran iman dari banyak di antara kita. Orang bisa saja rajin berdoa, membaca Kitab Suci, kuat dalam kehidupan devosional, aktif dalam setiap kelompok kategorial, namun belum merasa bahwa Yesus adalah Pribadi yang dibutuhkannya di dalam hidup. Orang bisa merasa dekat dengan Yesus meskipun sebenarnya jauh dari Yesus. Orang mengaku akrab dengan Yesus hanya di mulut saja sedangkan di hatinya tidak ada tempat. Penginjil Markus dalam bacaan Injil, menghadirkan kontroversi tentang hari Sabat. Hari Sabat adalah hari istirahat bagi semua orang Yahudi sebagaimana dikatakan Tuhan sendiri (Kel 20:8-11; Ul 5:12-15). Orang-orang Farisi berpegang teguh pada peraturan dan ketetapan dari Tuhan.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Ketika itu para murid sedang kelaparan maka mereka memetik bulir gandum untuk memakannya padahal hari itu hari Sabat. Dalam tradisi Yahudi tindakan memetik dan mengolah makanan tertentu itu sama saja dengan melanggar hari hari Sabat. Orang-orang Farisi menggunakan kesempatan untuk mencela Yesus karena bagi mereka, Yesus telah melewan hukum Taurat.
Tuhan Yesus menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan jati diri-Nya kepada kaum Farisi dan para murid-Nya. Ia mengambil contoh Raja Daud dan para pengiringnya yang kelaparan lalu masuk ke dalam Rumah Allah, mengambil roti sajian dan memakannya (1Sam 21:2-10). Hanya para imam yang bisa memakan roti sajian itu (Im 24:5-9). Daud melakukan itu dengan sadar dan tidak menimbulkan masalah apa pun. Maka mengherankan, mengapa Yesus dan para murid-Nya dipersalahkan oleh kaum Farisi. Namun satu hal yang penting di sini adalah, Yesus mau mengatakan bahwa diri-Nya melebihi Daud. Dia adalah Anak Manusia yang melebihi segalanya di atas dunia ini. Yesus memiliki superioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Daud dan siapa pun di atas dunia ini. Yesus dengan tegas megatakan: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Mrk 2:27-28).
Kisah Injil ini sebenarnya membuka pintu keraguan iman banyak orang. Pada waktu itu orang-orang Farisi menyaksikan banyak hal yang dilakukan oleh Yesus. Ia berbicara dengan kuasa dan wibawa, Ia menyembuhkan banyak orang sakit dan mengusir roh-roh jahat. Namun hati orang-orang Farisi tetap tertutup rapat. Mereka tidak percaya akan kuasa Yesus. Itulah sebabnya mereka selalu berusaha untuk melawan Yesus dengan dalil apa saja. Namun mereka tidak mampu melawan Yesus. Dia tetap menunjukkan kuasa, superioritas-Nya di mata mereka.
Dalam hidup bersama pun selalu ada keraguan terhadap sesama. Ada saja kecenderungan untuk memiliki prinsip suka atau tidak suka terhadap pribadi tertentu. Pasangan suami istri yang menggunakan prinsip suka dan tidak suka hanya membentuk asrama bukan keluarga. Para imam, biarawan dan biaeawati pun tidak luput dari kebiasaan buruk: suka dan tidak suka terhadap pribadi tertentu di dalam komunitas. Orang seperti ini adalah orang Farisi yang berjubah putih dan tidak berguna banyak bagi Tuhan dan sesama. Orang ini merasa berhasil tetapi sebenarnya gagal dalam hidup sebagai imam, biarawan dan biarawati.
Di dalam bacaan pertama, kita belajar bagaimana Tuhan memilih Daud sesuai kehendak-Nya. Samuel saja nyaris keliru ketika menggunakan perasaan manusiawinya untuk memilih anak-anak Isai sesuai kesukaannya untuk menjadi raja Israel. Tuhan ikut terlibat, meluruskan pikiran hati Samuel untuk memilih bukan berdasarkan prinsip suka dan tidak suka tetapi pada kehendak Tuhan.
Misalnya, ketika Samuel melihat penampilan anak-anak Isai bernama Eliab, Abinadab dan Syama, ia berpikir bahwa postur tubuh mereka bisa masuk dalam persyaratan untuk menjadi raja. Ini adalah kesukaan manusiawi Samuel. Tuhan mengoreksinya dengan mengatakan tidak! Tuhan berkata kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1Sam 16:7). Pilihan Tuhan justri jatuh pada Daud yang bertubuh kecil dan bekerja sebagai gembala untuk menggantikan Saul.
Pada hari ini kita berbangga karena Tuhan membaharui hidup kita. Banyak kali kita lupa diri dan menjaduh dari Tuhan dan sesama. Kita mengadili sesama kita seperti orang Farisi melakukannya kepada Tuhan. Sabda Tuhan membaharui kita untuk mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah segalanya! Dia adalah Tuhan atas semua yang ada di atas dunia.
PJSDB