Hari Selasa, Pekan Prapaskah III
T.Dan. 3:25,34-43
Mzm. 25:4bc-5ab,6-7bc,8-9
Mat. 18:21-35
Berani mengampuni saudaramu?
Beberapa tahun yang lalu saya diundang untuk mendoakan seorang bapa yang sedang sakit keras di rumahnya. Dari cerita orang-orang yang mengenal keluarga ini, mereka mengatakan bahwa selama lebih dari dua puluh tahun pasutri ini sudah pisah ranjang. Bapa itu meninggalkan keluarganya dan pergi tinggal menyendiri dan bersenang-senang di rumahnya yang lain. Alasannya karena sering tidak cocok dengan istrinya. Sang istri dan anak-anak dibiarkan merana. Akibatnya, anak-anaknya menjauh dan tidak bersahabat dengannya. Mereka bahkan tidak mengakuinya sebagai ayah yang baik. Ia jatuh sakit dan tidak ada yang mau merawatnya. Orang-orang dilingkungannya mencari alamat keluarganya. Mereka menemukan alamat keluarganya dan menghubungi istrinya. Istrinya dengan lapang dada mengijinkan suaminya kembali ke rumah. Mulanya istri dan anak-anaknya bereaksi keras terhadapnya, namun sang istri menenangkan mereka sambil berkata: “Saya sebenarnya tidak membutuhkanya lagi. Tetapi ketika dia datang ke rumah kita dalam keadaan sakit maka saya berani untuk melupakan masa lalunya yang menyakitkanku dan memaafkannya.”
Mengampuni berarti melupakan. Banyak orang mudah sekali mengatakan mau mengampuni dan memaafkan sesama padahal orang itu juga masih mau mengingat-ingat segala kesalahan yang sudah dilakukan orang kepadanya. Ada orang yang bahkan berpikir bahwa tidak ada gunanya menerima dan mengampuni sama saudara. Ada yang merasa sudah kebal dengan perbuatannya maka tak ada rasa bersalah di dalam dirinya. Dengan demikian ia juga tidak akan banyak berpikir rentang mengampuni sesamanya. Kalau toh ia mengampuni mungkin selalu menghitungnya secara matematis. Tuhan menghendaki sebuah pengampunan tanpa batas.
Penginjil Matius mengisahkan bahwa Santo Petrus pernah datang kepada Yesus. Ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat 18:21). Pada waktu itu Petrus berpikir bahwa praktek yang sedang dijalaninya itu sudah baik adanya. Namun Yesus tidak pernah memikirkan tentang mengampuni dengan batas-batas tertentu. Maka Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat 18:22). Sebenarnya praktek pengampunan bagi kaum Yahudi itu dilakukan sebanyak tiga kali. Petrus mengucapkan angka tujuh, sebagai sebuah angka sempurna, sejalan dengan ajaran Yesus tentang rekonsiliasi (Mat 5:23-25; 6:12.14-15). Tuhan Yesus lalu mengoreksi Petrus dengan mengatakan: bukan hanya sampai tujuh kali melainkan tujuh puluh kali tujuh kali. Jadi bukan angkanya melainkan pengampunan itu sifatnya tanpa batas. Orang selamanya mengampuni.
Angka-angka yang keluar dari mulut Yesus ini kiranya berkaitan dengan perbuatan jahat Lamek dan ganjarannya (Kej 4:23-24). Selanjutnya, untuk memperdalam perkataan Yesus kepada Petrus maka Ia memberikan sebuah perumpamaan tentang kualitas pengampunan dari Tuhan. Tuhan Yesus memulai perumpamaan-Nya dengan mengatakan bahwa hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang raja yang membuat perhitungan dengan para hambanya.Di antara para hamba itu, ada seorang hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta. Ini nilainya besar sekali maka ia harus menjual segala yang dimilikinya, termasuk istri dan segala miliknya untuk melunasi utangnya. Namun ia masih mau memohon belas kasihan raja dengan berkata: “Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” (Mat 18:26). Raja pun menunjukkan belas kasihnya kepada orang itu dengan menghapus segala surat utangnya.
Namun setelah ia menerima pengampunan total atas utangnya kepada raja, ia pergi dan berjumpa dengan seorang yang memiliki utang kepadanya sebanyak seratus dinar. Orang itu berlaku kejam terhadap temannya yang berhutang seratus dinar kepadanya. Orang yang berhutang seratus dinar ini dijebloskan ke dalam penjara, meskipun ia sempat sujud kepada temannya untuk mendapat keringanan dalam melunasi utangnya. Sang raja mendengar tindakan jahat hambanya yang mengalami penghapusan utang besar. Raja lalu menjebloskan hamba ini ke dalam penjara. Tentu orang ini utangnya besar dan selama-lamanya ia ada di dalam penjara.
Tuhan memiliki kerelaan untuk menunjukkan kerahiman-Nya kepada manusia. Meskipun manusia memiliki dosa yang berat namun Tuhan tetap mengampuninya. Maka Tuhan menghendaki agar kita memiliki kemampuan untuk mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Karena itu Yesus berkata: “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Mat 18:35). Apakah kita masih bisa berani mengampuni sesama saudara yang bersalah kepada kita?
Kita semua percaya bahwa Tuhan mengampuni kita. Kita pun dipanggil untuk mengampuni sesama saudara yang bersalah kepada kita semua. Setiap kali kita mendoakan doa Bapa Kami, kita berkata: “Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Kata-kata ini sangat indah tetapi selalu sulit bagi kita untuk melakukanya. Hanya bersama Yesus kita mampu melakukannya.
Dalam bacaan pertama kita berjumpa dengan seorang figur pemuda dalam dunia Perjanjian Lama yakni Azarya yang menderita karena dicampakkan ke dalam tanur api. Ia berdoa kepada Tuhan seraya memohon supaya Tuhan jangan menolak mereka selamanya. Ia berharap supaya Tuhan juga tidak membatalkan perjanjian kasih-Nya kepada mereka. Azarya percaya bahwa Tuhan adalah Bapa yang baik karena semua kebaikan-Nya telah dilimpahkan kepada leluhurnya yakni Abraham (kekasih Tuhan), Ishak sang hamba dan Yakub orang kudus. Tuhan berjanji untuk memberikan berkat berlimpah seperti keturunan manusiawi dan harta yang berlimpah di negeri yang baru. Pada akhirnya Azarya berkata kepada Tuhan: “Lepaskanlah kami dengan perbuatan-Mu yang ajaib dan nyatakanlah kemuliaan-Mu, ya Tuhan.” (T.Dan 3:43).
PJSDB