Hari Rabu, Pekan Prapaskah III
Ul. 4:1,5-9
Mzm. 147:12-13,15-16,19-20
Mat. 5:17-19
Berani berkomitmen untuk setia?
Ada seorang bapa yang selalu mengulangi nasihat yang sama kepada anak-anaknya. Pada suatu hari, anak bungsunya bertanya: “Ayah, mengapa selalu mengulangi nasihat yang sama? Saya dan kakak bosan mendengar nasihat yang sama.” Ayahnya bertanya kepadanya: “Apakah engkau sudah berubah setelah mendengar nasihat-nasihatku?” Anak itu menjawab, “Saya belum berubah, ayah!” Ayahnya berkata, “Aku tidak akan berhenti menasihatimu”. Hal yang sama dialami di sekolah, ketika kepala sekolah selalu mengulangi wejangan yang sama karena dia melihat para murid di sekolahnya belum berubah menjadi lebih baik dalam belajar dan berdisiplin. Seorang romo juga selalu mengulangi homilinya bukan karena dia malas menyiapkan homili, melainkan karena dia melihat bahwa umat gembalaannya belum berubah dan menyerupai Yesus Kristus. Mereka hanya bangga sebagai orang yang dibaptis, orang kristiani tetapi belum menjadi seperti serupa Kristus sendiri. Proses transformasi diri untuk menjadi pribadi yang berkomitmen untuk setia itu bukanlah hal yang mudah.
Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kita berjumpa dengan figur Musa. Ia dipilih Tuhan untuk memimpin saudara-saudaranya keluar dari tanah Mesir. Kesulitan yang dialami oleh Musa dalam perjalanan di padang gurun bersama kaum Israel adalah kaum Israel belum setia mendengar dan melakukan nasihat-nasihatnya. Musa selalu berkonsultasi dengan Tuhan dalam dialog pribadinya. Tuhan juga hadir dalam perkemahan dan perjalanan dalam simbol tertentu seperti tiang api di malam hari dan tiang awan pada siang hari. Kalau orang tidak mampu mendengar maka dengan sendirinya, ia tidak setia sebagai pribadi yang taat dan dengan demikian, ia juga tidak mampu mengasihi.
Musa mengetahui keadaan kaum Israel maka dengan tegas ia berkata: “Maka sekarang, hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu.” (Ul 4:3). Dua kata kunci untuk melakukan ketetapan dan peraturan-peraturan adalah mendengar dan melakukan. Orang yang mampu mendengar akan setia melakukannya apa yang didengarnya. Segala yang Musa katakan bukan berasal dari diri Musa, melainkan berasal dari Tuhan. Musa adalah perantara kaum Israel dengan Tuhan yang harus didengar. Apakah anda juga seorang pendengar yang baik?
Tuhan juga menghendaki sebuah kesetiaan dalam melakukan ketetapan dan peraturan-peraturan-Nya. Tuhan menghargai kebebasan manusia sebagai anak-anak-Nya. Pada saat yang sama Ia juga mengingatkan bahwa kesetiaan merupakan sebuah kebijaksanaan. Musa berkata kepada kaum Israel: “Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi.” (Ul 4:6). Kita juga, ketika setia melakukan kehendak Tuhan akan menjadi pribadi yang bijaksana dan berakal budi. Apakah anda juga orang yang setia?
Mengapa kita harus menjadi pribadi dan bangsa yang bijaksana serta berakal budi? Alasannya adalah karena Tuhan senantiasa hadir terus menerus di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Banyak kali kehadiran Tuhan tidak dirasakan manusia karena manusia tidak membuka dirinya kepada Tuhan Allah. Tuhan Allah yang kita imani adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Dia senantiasa menjadi Allah yang mahabesar dan dekat dengan umat-Nya. Ia memberikan ketetapan dan peraturan yang adil kepada umat-Nya dan umat berkewajiban melakukan segalanya dengan setia. Musa juga menasihati kaum Israel dengan perkataan ini: “Tetapi waspadalah dan berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan hal-hal yang dilihat oleh matamu sendiri itu, dan supaya jangan semuanya itu hilang dari ingatanmu seumur hidupmu. Beritahukanlah kepada anak-anakmu dan kepada cucu cicitmu semuanya itu.” (Ul 4:9).
Sabda Tuhan pada hari ini mengundang kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang setia kepada Tuhan dan sesama. Kesetiaan itu berasal dari kemampuan kita untuk mendengar dan melakukan segala perintah dan ketetapan Tuhan. Tuhan Yesus sendiri menerjemahkan peraturan dan ketetapan Tuhan dengan hukum kasih. Dia datang bukan untuk meniadakan Torah dan Kitab para nabi, melainkan untuk menyempurnakannya. Tuhan Yesus memberi makna baru hukum dan ketetapan Tuhan dengan hukum baru yaitu kasih kepada Tuhan dengan seluruh totalitas hidup dan kasih kepada sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Apakah kita berani setia kepada Tuhan dan sesama? Apakah kita berani berkomitmen untuk mengasihi seperti Tuhan sendiri yang lebih dahulu mengasihi kita?
PJSDB