Berani menjadi saksi Kristus
Pada tanggal 4 Maret 2016 lalu, seluruh Gereja menerima berita duka dari Yemen. Ada 4 suster dari Misionaris Cinta Kasih, dibunuh secara tragis bersama dua belas orang lainnya. Keempat suster menjadi martir cinta kasih. Mereka adalah Sr. Anselm (India), Sr. Marguerite (Ruanda), Sr. Judit (Kenya) dan Sr. Reginette (Ruanda). Sr. Sally selaku pimpinan komunitasnya berhasil lolos. Pastor Tom Uzhunnalil, SDB saat itu berdoa di kapel belum ditemukan.
Paus Fransiskus mengirim telegram belasungkawanya dengan mengatakan bahwa peristiwa berdarah ini adalah tindakan yang tidak masuk akal dan jahat (senseless and diabolical act). Sri Paus yakin bahwa para marti cinta kasih berbahagia dengan Beata Theresia di Surga. Sementara Mgr Paul Hinder, selaku wakil Gereja Katolik di Arabia mengatakan bahwa kemartiran keempat suster ini sesuai dengan karisma tarekat mereka. Motivasi agama menjadi pemicu kemartiran mereka. Tentu saja dunia mengecam tindakan kaum radikal Islam yang tidak berperikemanusiaan.
Peristiwa tragis ini mengundang kita untuk berefleksi lebih dalam tentang kemartiran sebagai pengikut Kristus masa kini. Para suster bekerja sebagai pelayan Tuhan bagi para orang sakit dan jompo setiap hari. Mereka hidup sederhana bersama mereka tanpa membedakan siapakah orang itu. Bahwa sesama adalah manusia maka layak menjadi sesama yang dikasihi. Mereka dibunuh dihadapan orang-orang yang setiap hari menerima pelayanan kasih para suster. Mereka berani menjadi saksi Kristus dengan mengasihi bahkan menumpahkan darah seperti Kristus sendiri.
Pada hari ini Tuhan Yesus berbicara tentang menjadi martir (saksi). Kalau Ia bersaksi atas nama diri-Nya sendiri maka kesaksian-Nya tidak benar. Kesaksian yang benar adalah bahwa Ia melakukan segala pekerjaan Bapa dengan sempurna, yakni mengasihi sampai tuntas. Ia menjadi martir agung karena mengasihi kita sampai tuntas (Yoh 13:1). Apakah kita masih bisa mengasihi sampai tuntas sebagai sebuah tanda kemartiran?
P. John Laba, SDB