Hari Rabu, Pekan Biasa IX
Peringatan Wajib. St. Yustinus
2Tim. 1:1-3,6-12
Mzm. 123:1-2a,2bcd
Mrk. 12:18-27
Aku percaya akan Allah orang hidup!
Hari ini tanggal 1 Juni, seluruh Gereja Katolik merayakan peringatan St. Yustinus, Martir. Orang kudus ini adalah orang asli Palestina, kelahiran Nablus, Samaria pada permulaan abad kedua. Ketika masih kecil ia mendapat pendidikan yang baik. Ia tertarik untuk belajar Filsafat dan Kitab Suci supaya mendapat kepastian tentang diri sebagai manusia dan Tuhan. Setelah selesai belajar, ia dibaptis sebagai pengikut Kristus. Ia kemudian menjadi pembela iman kristiani terkenal. Ia mengajar di tempat-tempat umum dan menjelaskan tentang kebenaran agama kristiani yang percaya pada Yesus Kristus. Ia menulis buku “Dialog dengan Tryphon”.
Yustinus menulis: “Meski kami orang Kristen dibunuh dengan pedang, disalibkan atau dibuang ke moncong-moncong binatang buas, atau pun disiksa dengan belenggu dan api, kami tidak akan murtad dari iman kami. Sebaliknya semakin hebat penyiksaan, semakin banyak orang demi nama Yesus, bertobat dan menjadi orang saleh”. Ia meninggal sebagai martir di Roma tahun 165. Yustinus memilih menjadi martir karena panggilan untuk mewujudkan cintanya kepada Kristus. Ia membuktikan bahwa kuasa yang besar itu hanya ada pada Tuhan yang ia layani. Segala kuasa dunia, kepintaran disingkirkan dan yang ada hanya untuk kemuliaan Tuhan.
Lalu apa kata Sabda Tuhan pada hari ini?
Sambil kita merenung tentang hidup dan kemartiran St. Yustinus, Penginjil Markus mengisahkan tentang bagaimana membangun pemahaman yang benar tentang kebangkitan orang mati. Dikisahkan bahwa ada beberapa orang Saduki yang tidak percaya pada kebangkitan orang mati, datang kepada Yesus lalu mengungkapkan sebuah contoh kasus perkawinan lewirat dan kaitannya dengan kebangkitan orag mati. Perlu diketahui bahwa kaum Saduki adalah bangsawan keturunan Sadok yang menjadi imam pada masa raja Daud. Mereka sangat menghormati Kitab Taurat hingga tidak mau menerima ajaran tentang kebangkitan orang mati yang berasal dari zaman sesudah pembuangan. Mereka hanya mengakui adanya sheol atau dunia bawah, tetapi mereka tetap menolak adanya kebangkitan badan
Perkawinan levirat adalah perkawinan antara seorang janda dengan saudara kandung suaminya yang sudah meninggal dunia berdasarkan adat istiadat dalam masyarakat bersangkutan. Jadi diharapkan bahwa anak yang lahir dari perkawinan itu akan menjadi milik saudara yang sudah meninggal sekaligus sebagai ahli warisnya. Kaum Saduki memberi contoh seorang wanita yang menikah, kemudian suaminya meninggal dan wanita itu karena alasan perkawinan levirat menikah lagi dengan para saudara suaminya sampai tujuh bersaudara itu menikahinya. Pertanyaan orang Saduki adalah siapa yang akan menjadi suami wanita itu kelak pada hari kebangkitan orang mati? Pertanyaan kaum saduki ini juga menjadi pertanyaan aktual bagi para pasutri di zaman ini: Siapa yang akan menggandeng istrinya atau suaminya di surga? Bagaimana dengan duda atau janda yang menikah lagi, siapa suami atau isteri sah di Surga?
Kita semua percaya bahwa Yesus dengan kuasa-Nya menjaga dan melindungi kita semua. Ia menebus dan memberi hidup baru kepada semua orang. Sebab itu Yesus mengoreksi kaum Saduki dengan berkata, “Kalian sesat, justru karena kalian tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Sebab di masa kebangkitan orang mati, orang tidak kawin dan dikawinkan. Mereka itu seperti Malaikat di surga”. (Mrk 12:24-25). Malaikat adalah para pembantu Tuhan. Jadi selama-lamaNya mereka tetap melayani Tuhan. Nah, Yesus mengingatkan kaum saduki akan dua jenis kesalahan mereka, bahwa mereka salah mangartikan Taurat dan kekuasaan Allah yang memberi kehidupan. Mereka dianggap sesat karena kedua hal ini.
Melalui kata-kata ini, Yesus membantu kita untuk mengerti bahwa Dia memiliki rencana dan kehendak yang indah bagi semua orang yang percaya kepadaNya. Rencana dan kehendak yang terbaik adalah membangkitkan manusia dari kematian kekal, memberikan hidup baru kepada mereka yang percaya dan berharap kepada-Nya. Kebangkitan badan adalah jaminan dari Tuhan karena “Dia bukanlah Allah orang mati melainkan Allah orang hidup”. Artinya, manusia tidak dapat mati karena Allah adalah Allah yang hidup. Allah mengasihi dan tetap mendukung hidup manusia karena memang Dia adalah Allah yang hidup. Boleh dikatakan bahwa kaum Saduki memang salah karena telah keliru mengartikan hakikat Allah.
Mari kita berefleksi, apakah kita juga sama dengan kaum Saduki yang keliru mengartikan hakikat Allah?
Saya mengakhiri renungan ini dengan mengutip C.S.Lewis. Ia berkata: “Alam berlalu dengan cepat; kita akan melampauinya, bahkan jika semua matahari dan kabut telah hilang, setiap dari kita akan tetap hidup.” Di tempat lain ia menulis: “Dan tampak bahwa tempat di surga telah dibuat untukmu dan memang hanya untukmu saja karena kamu memang diciptakan untuk menempatinya”.
PJSDB