Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XIX
Peringatan St. Klara, Perawan
Yeh 12:1-12
Mzm 78:56-59.61-62
Mat 18:21-19:1
Kerahiman Allah itu tanpa batas!
Pada hari ini seluruh Gereja Katolik memperingati St. Klara dari Asisi. Klara dilahirkan di Asisi, Italia pada tanggal 16 Juli 1194. Ia adalah gadis keturunan bangsawan dan hidupnya tentu berkecukupan. Ia berani meninggalkan segala kemewahan keluarga dan darah bangsawannya lalu memilih hidup dalam semangat kemiskinan supaya bisa bebas melayani Tuhan dan sesama. Semangat yang sama ditularkannya dalam kongregasi yang didirikannya yakni Ordo suster-suster Claris. Ia meninggal pada tanggal 11 Agustus 1253.
St. Klara menginspirasikan kita supaya mengerti bahwa harta bukanlah segalanya. Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk waspada dan bijaksana terhadap harta karena di mana harta berada, di sana hati manusia juga berada (Mat 6:21). Klara memilih cara hidup yang sungguh ekstrim yakni dari hidup sebagai orang kaya menjadi orang miskin. Ia tidak melekat pada harta dunia supaya lebih bebas melayani Tuhan dan sesama. Ia berkata: “Banyak orang mengatakan bahwa kita sangat miskin namun hati kita tidak miskin karena memiliki Allah Yang Mahakuasa.”
Banyak orang belum berani untuk memilih hidup yang ekstrim seperti St. Klara dan St. Fransiskus dari Asisi. Mereka lebih berani menjadi pribadi yang konsumeris dan hedonis. Kelekatan pada harta bisa membuat orang lupa diri untuk menjadi sesama bagi yang lain. Malahan yang terjadi, mereka justru memanfaatkan sesama, memeras, menindas, mencuri untuk kepetingan dirinya. Orang kudus ini menginspirasikan kita untuk melakukan revolusi mental yakni kembali kepada Allah, sumber segala sesuatu. Masalahnya adalah apakah kita bersedia untuk memiliki sikap lepas bebas, sehingga hanya bersatu dengan Allah saja? Apakah kita mampu melupakan diri dan keinginan duniawi supaya hanya mengandalkan Allah sendiri saja?
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menghadirkan sosok Allah yang maharahim. Dalam bacaan pertama, kita mendapat informasi dari nabi Yehezkiel bahwa anak-anak Israel itu memiliki mental pemberontak. Mereka berani dan terang-terangan memberontak kepada Allah. Namun Tuhan Allah mengutus Yehezkiel nabi-Nya untuk menyapa mereka sebagai anak-anak-Nya. Tuhan menunjukkan kepedulian-Nya kepada mereka. Sebagai Allah yang maharahim, Ia tidak akan meninggalkan anak-anak-Nya.
Tuhan mengatakan kepada Yehezkiel bahwa Ia sedang tinggal di tengah-tengah kaum pemberontak. Mereka adalah anak-anak Israel yang mempunya mata tetapi tidak melihat, mempunyai telinga tetapi tidak mendengar. Yehezkiel harus menjadi utusan yang rendah hati. Ia harus berjalan seperti orang buangan untuk menyapa anak-anak Israel di tempat mereka masing-masing. Dengan demikian mereka insaf bahwa memang mereka adalah kaum pemberontak.
Tuhan menjadikan Yehezkiel sebagai lambang bagi kaum Israel. Menjadi nabi memang penuh dengan resiko. Bagaimana nabi harus bertindak untuk meyakinkan anak-anak Israel yang memberontak. Hal yang menarik perhatian kita adalah bahwa kerahiman Allah telah mengubah hidup pribadi Yehezkiel supaya rendah hati. Tuhan menunjukan kerahiman-Nya dengan mengampuni dan mengampuni mereka.
Dalam bacaan Injil kita mendengar Petrus mendekati Yesus dan bertanya tentang kuantitas pengampunan. Apakah mengampuni saudara yang bersalah itu sampai tujuh kali saja? Tuhan Yesus menjawabnya dengan menekankan kualitas pengampunan yakni pengampunan tanpa batas. Yesus berkata kepada Petrus: “Mengampuni itu bukan hanya sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat 18:22). Maka orang yang melakukan dosa besar, ketika mengalami pengampunan, hendaknya ia juga mengampuni saudaranya.
Tuhan Yesus menunjukkan wajah Allah Bapa yang maharahim kepada kita semua kaum pendosa. Kita hanya mampu mengampuni seperti pertanyaan Petrus yakni pengampunan terbatas. Mengapa kita bersikap demikian? Karena kita adalah orang yang tinggi hati di hadapan Tuhan dan suka membuat perhitungan matematis dengan Tuhan dan sesama. Tuhan yang kita imani ternyata bukan demikian. Kita semua berdosa di hadapan-Nya. Ia mencari, menyapa dan mengampuni kita semua. Satu-satunya pikiran Tuhan adalah menyelamatkan manusia. Tidak ada yang lain! Inilah kerahiman Tuhan bagi kita. Paus Fransiskus mengatakan: “Kita dipanggil untuk menampakkan kerahiman karena kerahiman itu sudah lebih dahulu dianugerahkan kepada kita.” (Misericordiae Vultus, no.9).
Mengampuni itu berarti melupakan. Kita mampu mengampuni ketika dengan rendah hati kita berusaha untuk melupakan segala sesuatu yang telah orang lakukan kepada kita. Proses merendahkan diri itu benar-benar membantu kita untuk berani melupakan. Di satu pihak kita melakukan pertobatan pribadi karena berani lupa akan perbuatan orang kepada kita. Di lain pihak, orang yang menyakiti atau yang berdosa kepada kita juga tentu bisa berubah di dalam hidupnya. Saya percaya bahwa manusia memang bisa berubah!
Pada hari ini kita semua dikuatkan oleh dua kata penting yakni semangat kemiskinan dan pengampunan. Kita memiliki semangat kemiskinan supaya hanya berharap kepada Tuhan. Dengan berharap kepada Tuhan maka kita akan bebas mengampuni seperti Tuhan sendiri. Apakah kita semua mampu hidup seperti ini? Ingatlah bahwa kerahiman Allah bagi kita itu tiada batasnya.
PJSDB