Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XXX
Flp 1:18b-26
Mzm 42:2.3.5bcd
Luk 14:1.7-11
Yesus Kristus adalah segalanya!
Ketika masih mengajar di sekolah, saya memiliki sebuah kebiasaan untuk mengumpulkan dan memeriksa catatan para siswa. Kebiasaan ini bertujuan untuk melihat seberapa besar keaktifan dan minat para siswa terhadap mata pelajaran yang saya ampuh saat itu. Saya dapat memahami kemampuan mereka untuk menangkap penjelasan yang saya berikan, keteraturan dalam mencatat dan aspek-aspek lain yang penting dalam pembelajaran mereka. Kebiasaan ini membantu saya untuk mengenal mereka dan menerima mereka apa adanya. Ada hal-hal menarik yang saya temukan dalam buku-buku catatan mereka. Ada yang menulis kata-kata mutiara, kata-kata cinta dan ada yang mengutip kalimat-kalimat tertentu dari Kitab Suci dan para tokoh yang mengubah wajah dunia. Ada seorang siswa yang kelihatan nakal namun selalu menulis kalimat ini di dalam buku catatannya: “Tuhan Yesus Kristus adalah segalanya bagiku”. Saya hanya tersenyum dan mengatakan dalam hati bahwa siswa ini kelihatan nakal tetapi tidak jauh dari kerajaan Allah.
Persahabatan dengan Tuhan Yesus Kristus adalah suatu hal yang baik dan bermakna. Setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat mengungkapkan isi hati dan kedekatannya dengan cara masing-masing. St. Teheresia dari Lisieux misalnya pernah berdoa: “Yesus, tentu Engkau senang mempunyai mainan. Biarlah saya menjadi mainan-Mu! Anggap saja saya ini bola-Mu. Bila akan Kauangkat, betapa senang hatiku. Jika hendak Kausepak kian kemari, silakan. Dan jika hendak Kau tinggalkan dipojok kamar karena bosan, boleh saja. Saya akan menunggu dengan sabar dan setia. Tetapi kalau hendak Kautusuk bola-Mu, ah Yesus, tentu sakit sekali. Namun terjadilah kehendak-Mu.” Doa sederhana dari seorang anak yang polos kepada Yesus. Ini adalah sebuah bentuk persahabatan yang indah antara St. Theresia dari Lisieux dan Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus memang tidak membutuhkan doa yang muluk-muluk. Hanya doa yang benar-benar keluar dari dalam hati layak bagi-Nya.
Pada hari ini kita mendengar pengalaman akan Allah dari St. Paulus yang dibagikannya kepada jemaat di Filipi. Mula-mula ia menyatakan sukacitanya kepada Tuhan karena Kristus tetap diwartakan kepada semua orang. Ia mengaku akan tetap bersukacita di dalam Kristus karena akhir dari segalanya adalah keselamatan. Ia sebagai rasul Yesus Kristus mengalami keselamatan karena doa jemaat dan pertolongan Tuhan Yesus sendiri. Ia merindukan dan mengharapkan bahwa dalam segala sesuatu ia tidak mendapat malu sebab ia telah setia mewartakan Kristus sampai tuntas. Kristus yang menderita juga dimuliakan di dalam tubuhnya ang fana, baik hidup atau pun mati. Bagi saya, ini adalah sebuah bentuk pengakuan iman dari St. Paulus yang patut kita ikuti. Ia percaya bahwa dalam hidupnya, Tuhan Yesus Kristus benar-benar bersemayam dan mengubah seluruh hidupnya.
Selanjutnya St. Paulus berkata: “Bagiku, hidup adalah Kristus dan mati keuntungan” (Flp 1: 21). Paulus hidup bagi Kristus karena Ia merelakan dirinya, memberikan dirinya secara total bagi Kristus dan Gereja-Nya. Selama menjalankan tugas panggilannya sebagai rasul, ia mengalami banyak penderitaan, penganiayaan dan menjadi tawanan Allah. Pengalaman-pengalaman yang keras ini dilewati dengan penuh sukacita. Pengalaman Kristus yang menderita menjadi pengalaman Paulus sendiri. Pengalaman Kristus yang mulia juga merupakan pengalaman Paulus. Sebab itu ia mengatakan bahwa baginya hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.
Paulus mengatakan bahwa hidup di dunia adalah bekerja dan menghasilkan buah. Hal ini ditunjukkannya dengan kerendahan hati untuk tinggal bersama jemaat di Filipi dan melayani mereka dengan sukacita. Pelayanannya merupakan sebuah bentuk pengurbanan diri yang menghasilkan buah dalam ketekunan. Buah-buah yang dimaksud Paulus adalah kebajikan-kebajikan kristiani yang diwartakannya kepada jemaat. Paulus sebagai rasul mewartakan Yesus Kristus bukan hanya dengan perkataan melainkanjuga dalam perbuatan dan keteladanan hidupnya. Jemaat menjadi semakin bersatu dengan Tuhan karena pelayanan Paulus.
Pelayanan Paulus dengan rendah hati merupakan sebuah bentuk kerinduannya yang mendalam kepada Tuhan Allah. Raja Daud pernah mengalaminya jauh sebelumnya dan berusaha membagi pengalaman kerinduannya kepada Allah laksana rusa yang merindukan sungai berair, demikian ia juga merindukan Allah yang hidup (Mzm 42:2-3). Orang yang rendah hati mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Orang congkak akan mengesampingkan Tuhan dan memprioritaskan hidupnya sendiri. Orang yang rendah hati akan mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah segalanya.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengingatkan kita semua untuk selalu belajar menjadi lemah lembut dan rendah hati. Ia mengingatkan kita demikian karena Dia sendiri lemah lembut dan rendah hati. Hal praktis yang Yesus ajarkan dalam perumpamaan adalah dalam hal memilih tempat duduk dalam sebuah pesta. Kebiasaan manusiawi adalah selalu memilih tempat terhormat, terdepan supaya dilihat orang. Yesus mengharapkan supaya kita duduk di tempat terendah. Ini adalah semangat kerendahan hati yang nyata. Ia berkata: “Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.” (Luk 14:11). Apakah kita memiliki kebajikan kerendahan hati?
Homili hari ini saya akhiri dengan mengutip perkataan St. Bernardus tentang kerendahan hati yakni: “Kerendahan hati adalah induk dari segala kebajikan Kristiani”. St. Theresa dari Kalkuta berkata: “Memaafkan itu mengandaikan adanya kasih, melupakan itu mengandaikan adanya kerendahan hati”. Mari kita memandang Yesus yang lemah lembut dan rendah hati. Dia adalah segalanya bagi anda dan saya.
PJSDB