Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXXIII
Why 10:8-11
Mzm 119:14.24.72.103.111.131
Luk 19:45-48
Setia mewartakan Sabda
Ada seorang Romo, pernah menceritakan pengalamannya bermisi di tanah misi: Pada suatu kesempatan ia mengunjungi sebuah stasi terpencil. Ini merupakan jadwal kunjungan bulanannya ke stasi. Meskipun stasi ini boleh dibilang stasi kecil dan terjauh, namun selalu ada sesuatu yang membahagiakannya. Ia selalu menjumpai umat yang memiliki motivasi besar dalam hidup menggereja. Gedung gerejanya bersih dan rapi. Tamannya sederhana dan indah. Para awam sebagai agen pastoral sangat aktif menerjemahkan dan mengerjakan reksa pastoral paroki berdasarkan petunjuk umum dari keuskupan. Antusiasme umat untuk akrab dan bersahabat dengan Sabda Tuhan juga luar biasa. Para awam terlatih selalu mengumpulkan umat untuk membaca dan merenungkan Sabda Tuhan secara bersama-sama. Banyak umat benar-benar merasakan kekuatan Sabda Tuhan. Hal ini telah menjadi sebuah kesenangan bagi Romo di tanah misi. Ia merasa juga bahagia sebagai sebagai seorang misionaris. Saya sendiri membayangkan tempat-tempat lain yang memiliki banyak pastor. Mereka malah malas ke gereja, malas berkumpul untuk mendengar dan merenungkan Sabda Tuhan dalam kelompok atau paguyuban tertentu.
Sabda Tuhan pada hari ini mengundang kita untuk merenungkan kuasa Sabda dan kesetiaan untuk mewartakannya. Dalam bacaan pertama kita mendengar sebuah visi dari Yohanes tentang kerajaan Allah. Ia mendengar sebuah suara dari langit yang berkata: “Pergilah, ambillah gulungan Kitab yang terbuka di tangan malaikat yang berdiri di atas laut dan di atas bumi itu”. (Why 10: 8). Pikiran kita diarahkan kepada kisah tentang gulungan Kitab, di mana orang yang berhak untuk membuka gulungan Kitab dan melepaskan meterai-meterai adalah singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang (Why 5:5). Dialah Yesus Kristus anak Daud. Kini Yohanes sendiri mengalami sebuah panggilan khusus untuk menerima dan mewartakan Sabda. Gulungan Kitab di tangan malaikat harus segera diwartakan dengan sukacita.
Pengalaman akan Allah dalam diri Yohanes ini mengingat kembali apa yang sudah dihayati nabi Yehezkiel. Ketika itu nabi bernubuat tentang pengalaman panggilannya. Tuhan menyuruh Yehezkiel untuk mengangakan mulutnya dan memakan segala sesuatu yang Tuhan berikan. “Makanlah apa yang engkau lihat di sini. Makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel. Yehezkiel pun membuka mulutnya dan memakan gulungan Kitab itu sampai selesai” (Yeh 2:8; 3: 1-2). Yohanes membaca pengalaman nabi Yehezkiel dan menuliskannya kembali dalam kitab Wahyu yang kita dengar pada hari ini: “Ambillah dan makanlah. Kitab itu akan terasa pahit dalam perutmu tetapi manis seperti madu di dalam mulutmu” (Why 10: 9). Yohanes menerima Kitab itu dari tangan malaikat, memakannya dan terjadilah seperti yang disampaikan sendiri oleh malaikat. Mulutnya merasakan kemanisan dari Sabda dan perutnya merasa pahit. Manis dan pahit sebagai pewarta sabda memang perlu dan harus dialami. Yesus saja pernah ditolak berkali-kali.
St. Hironimus mengatakan bahwa barangsiapa tidak mengenal Kitab Suci, dia juga tidak bersahabat dengan Kristus. Kita dapat menyaksikan banyak orang yang ingin menjadi pengikut Yesus Kristus yang baik tetapi sulit untuk menghayati kehidupan Yesus di dalam diri mereka. Mengapa? Sebab mereka belum bersahabat dengan Sabda. Pemazmur pernah berkata: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105). Kita sangat membutuhkan Sabda Tuhan sebagai pelita, penerang bagi setiap langkah kaki kita di dunia ini. Sabda itu harus diwartakan bukan tinggal tetap dan menjadi milik pribadi kita. Apakah kita peduli dengan Sabda Tuhan? Apakah kita siap untuk mewartakannya?
Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah di Yerusalem. Setelah menangisi kota Yerusalem, Ia perlahan-lahan turun gunung dan mulai menunjukkan diri-Nya sebagai anak Allah. Ia masuk ke dalam Bait Allah dan melihat bagian dalam Bait Allah bukan sebagai rumah Tuhan tetapi sebagai tempat berjualan. Tuhan Yesus mengutip perkataan ini: “Rumah-Ku adalah rumah doa, tetapi kalian telah menjadikannya sebagai sarang penyamun” (Luk 19:46). Tuhan Yesus menunjukkan kuasa-Nya sebagai Anak yang mengasihi Bapa dan kediaman-Nya. Rumah doa haruslah menjadi rumah yang kudus bukan pasar.
Selama berada di Yerusalem, Yesus mengajar di dalam Bait Allah. Para murid yang hadir ikut merasakan semua pengajaran-Nya. Para murid juga berkesempatan mengenal figur-figur lain yakni para imam kepala, para ahli Taurat dan para pengikutnya yang berkeinginan untuk membinasakan Yesus. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana harus melakukannya sebab seluruh rakyat terpikat dan ingin mendengar-Nya.
Bacaan Injil menyoroti berbagai kebiasaan yang keliru di dalam Gereja masa kini. Gereja adalah tempat sakral di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Yesus Kristus maka Ia sendiri hadir. Namun sangat disayangkan karena orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus menyalahgunakan gedung Gereja sebagai tempat yang kudus menjadi tempat yang duniawi. Misalnya, ada umat yang datang ke gereja tidak berpakaian layak untuk berjumpa dengan Tuhan dalam ibadat. Ada umat yang selalu terlambat mengikuti misa dan pulang lebih dahulu sebelum menerima berkat penutup dari pastor. Ada umat yang tidak pernah melepaskan dirinya dari gadget. Mereka chating, bermain game online bahkan jualan online dan belanja online selama misa berlangsung. Saya sendiri pernah melihat seorang Romo konselebran membaca pesan selama homili berlangsung. Sungguh gereja bukan lagi menjadi tempat yang kudus untuk beribadah, tetapi sebagai sarang penyamun.
Sabda Tuhan juga menyinggung kekudusan tubuh kita masing-masing. St. Paulus mengatakan bahwa tubuh kita adalah tempat Roh Allah bersemayam. Sebab itu kita harus berusaha untuk menguduskan dan menjaga kekudusan tubuh kita dan sesama. Banyak kali kita sendiri tidak menghargai tubuh kita dan tubuh sesama. Betapa lemahnya kehidupan kita di hadirat Tuhan. Marilah kita kembali kepada Tuhan. Dialah Allah kita, kita umat kesayangan-Nya. Dia mengasihi kita apa adanya.
Rumah Tuhan harus menjadi tempat yang indah dan nyaman untuk mewartakan mendengar dan mewartakan Sabda.
PJSDB