Hari Jumat Agung
Yes. 52:13-53:12
Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25
Ibr. 4:14-16; 5:7-9
Yoh. 18:1-19:42
Sebuah cinta kasih yang radikal
Kita merayakan Hari Jumat Agung untuk mengenang sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Untuk itu saya memulai Homili pada hari istimewa ini dengan mengutip perkataan Paus Benediktus ke-XVI dalam Ensiklik Deus Caritas Est: “Kematian Yesus di Salib adalah titik puncak tertinggi saat Allah kembali kepada Diri-Nya dan mempersembahkan Diri-Nya supaya mengangkat dan menyelamatkan manusia. Cinta kasih seperti ini adalah cinta kasih dalam bentuk paling radikal.” Perayaan ibadat suci kita hari ini memfokuskan perhatian kita pada Tuhan yang mengasihi kita semua tanpa batas. Ia mengasihi kita dengan kembali kepada Diri-Nya dan mempersembahkan diri-Nya dengan memikul salib hingga wafat di atas kayu Salib. St. Cirilius dari Yerusalem pernah mengatakan bahwa Tuhan Yesus merentangkan tangan-Nya di kayu salib agar menjangkau dan memeluk hingga sudut terjauh alam semesta. Tangan-Nya selalu terbuka untuk menerima semua orang tanpa memandang siapakah orang itu. Orang baik dan orang jahat disayangi oleh Tuhan.
Hari Jumat Agung bukan hanya sebuah memori tentang sebuah peristiwa Yesus tempo doeloe. Hari Jumat Agung adalah sebuah realitas yang masih aktual saat ini. Kita mengenang pengurbanan Tuhan Yesus ketika memikul salib yang berat, dicaci maki, dipukuli hingga wafat di atas kayu salib yang sama. Peristiwa Yesus masih aktual saat ini. Ada begitu banyak orang yang memikul salib-salib tertentu di dalam hidupnya. Misalnya, ada banyak anak kecil dan remaja yang tidak memiliki makanan dan minuman, sementara banyak orang menghamburkan makanan. Ada banyak orang yang tidak memiliki rumah tinggal, sementara orang-orang kaya memiliki lebih dari satu rumah tinggal. Ada banyak orang sakit yang tidak mendapat pengobatan karena tidak mampu membayarnya. Anak-anak dan remaja tidak dapat bersekolah karena tidak memiliki biaya pendidikan yang cukup. Banyak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja di tempat kerjanya. Inilah realitas yang menunjukkan bahwa masih banyak salib dalam kehidupan kita. Masih banyak Yesus yang ada di sekitar kita saat ini.
Mengapa Tuhan Yesus Kristus menebus kita di kayu salib? Ini selalu menjadi sebuah pertanyaan yang lazim dalam masyarakat kita. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa salib adalah tempat hukuman yang paling hina dan mengerikan. Tuhan Yesus, Penebus kita meskipun tidak berdosa namun Ia memilih salib untuk menanggung dosa dan salah kita dan merasakan kesakitan dunia. Konsekuensinya, dengan salib, Ia membawa dunia kembali kepada Allah dengan kasih sempurna (KGK, 613-617,622-623).
Tuhan Yesus adalah gambaran Hamba Yahwe yang menderita dalam Kitab Nabi Yesaya. Ia menyatakan solidaritas-Nya dengan kesalahan dan dosa kita. Gambaran kesalahan dan dosa adalah selalu mengacu pada sesuatu yang buruk. Tuhan sendiri berkata: “Sesungguhnya hamba-Ku akan berhasil. Ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan! Seperti banyak orang tertegun melihat dia – rupanya begitu buruk, tidak seperti manusia lagi, dan tampaknya tidak seperti anak manusia lagi. Banyak bangsa akan tercengang melihatnya. Raja-raja akan mengatup mulutnya ketika memandangnya.” Kita mengarahkan pandangan kepada Tuhan Yesus. Dia adalah Anak Allah yang menderita hingga rupa-Nya begitu buruk, berlumuran darah. Ia ditinggikan di atas salib dan dimuliakan ketikan bangkit dengan jaya.
Meskipun rupanya buruk dan tidak seorang pun ingin memadangnya, namun ia sendiri menanggung segala penyakit kita. Ia memikul kesengsaraan kita. Ia tertikam karena pemberontakan kita dan diremukkan oleh kejahatan kita. Ia menderita supaya kita selamat. Bilur-bilurnya menyembuhkan kita. Gambaran hamba Yahwe yang menderita ini merupakan prototipe Yesus Anak Allah. Dialah Tuhan dan satu-satunya penebus kita.
St. Paulus dalam bacaan kedua mengatakan bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Imam Agung yang mengatasi segala langit. Dia mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap dan tangis dan keluhan kepada Dia yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut dan karena kesalehan-Nya, Ia telah didengarkan. Hal istimewa yang kita patut belajar dari Tuhan Yesus adalah sekalipun Dia sebagai Anak Allah, Ia telah belajar menjadi taat dan menjadi pokok keselamatan abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya. Kata kunci keselamatan kita menurut St. Paulus adalah ketaatan Kristus kepada kehendak Bapa di surga.
Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip Thomas A Kempis yang mengatakan: “Jika engkau memanggul salibmu dengan sukacita, maka salibmu akan memanggulmu”. Mari kita menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus dari dekat. Hanya pada salib-Nya ada keselamatan kita. In Cruce Salus.
PJSDB