Hari Minggu Biasa ke-XXXI/A
Mal. 1:14b-2:2b,8-10
Mzm. 131:1,2,3
1Tes. 2:7b-9,13
Mat. 23:1-12
Berempati dengan sesama
Adalah Stephen Covey. Beliau adalah seorang penulis berkebangsaan America Serikat. Ia pernah berkata begini: “Ketika kamu menunjukkan empati yang besar terhadap orang lain, energi negatif mereka menurun dan digantikan oleh energi yang positif. Itulah ketika kamu lebih kreatif dalam menyelesaikan suatu masalah.” Saya menyukai kata empati atau berbela rasa sebagai kata yang memiliki kekuatan tersendiri bagi kita semua, sebab kata ini bersifat transformatif. Transformasi yang dialami adalah energi negatif sesama akan menurun dan energi positifnya meningkat. Segala persoalan hidup pun dapat diatasi dengan baik dan benar.
Perasaan empati atau berbela rasa haruslah dimiliki oleh setiap pribadi. Masing-masing kita menyadari bahwa hidup kita di dunia ini selalu dibaluti oleh berbagai problem kehidupan. Misalnya ada rasa sombong, narsis, egosentris yang menguasai hidup kita, sehingga sadar atau tidak sadar kita dapat melupakan sesama yang lain. Hanya ada sedikit orang yang berusaha untuk mewujudkan kebajikan kerendahan hati di dalam hidupnya. Padahal kebajikan kerendahan hati dapat membuka jalan bagi kita kepada Tuhan. Hanya ada sedikit orang yang memiliki sikap rela berkorban untuk menjadi pelayan-pelayan yang setia dalam keluarga dan masyarakat. Dan selebihnya adalah orang-orang yang gila hormat, gila kuasa dan gila harta. Ini adalah balutan-balutan diri manusia now. Tanpa balutan-balutan ini, manusia now merasa tidak eksis di dunia nyata.
St. Paulus mengingatkan jemaat di Tesalonika tentang semangat pengorbanan diri yang mereka curahkan bagi Jemaat. Semangat pengorbanan diri atau semangat rela berkorban merupakan wujud nyata sikap empati dalam hidup bersama. Paulus berkata: “Saudara-saudara, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya, demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.” (1Tes 2:7-8). Hubungan persaudaraan antara Paulus dan jemaat di Tesalonika sangat akrab sama seperti seorang ibu dengan anak-anaknya. Relasi kasih antara ibu dan anak-anak adalah relasi kasih yang penuh empati, penuh dengan pengorbanan diri. Demikian relasi Paulus dengan jemaat juga penuh dengan pengorbanan dan pemberian diri dan kasih. Ia mengaku, tidak hanya mewartakan Injil tetapi juga memberikan diri seutuhnya kepada jemaat.
Sikap empati menjadi nyata dalam usaha memberikan diri seutuhnya kepada sesama. Para suami dan istri saling memberi diri seutuhnya sampai maut memisahkan mereka di dunia ini. Para pelayan publik memiliki sikap empati terhadap kaum miskin, kaum pinggiran dengan memperhatikan kesejahteraan hidup mereka. Para pelayan publik tidak hanya sekedar menjual programnya atau uangnya tetapi ikut memberi dirinya dalam mengawasi semua proses sehingga kesejahteraan umum benar-benar terwujud. Para gembala di dalam Gereja bersikap empati untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan dengan memberi diri seutuhnya bukan setengah-setengah bagi Tuhan dan sesama.
Pada akhirnya Paulus mengatakan: “Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima Sabda Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, melainkan sebagai Sabda Allah, memang demikianlah adanya. Dan Sabda Allah itu bekerja giat di dalam kamu yang percaya.” (1Tes 2:13). Di sini, Paulus menunjukkan integritasnya sebagai pewarta Injil. Ia menyatakan rasa syukurnya kepada Tuhan sebab jemaat menerima sabda Tuhan bukan sebagai perkataan manusia melainkan perkataan Tuhan sendiri. Pengurbanan dalam pelayanannya tidaklah sia-sia. Contoh hidup Paulus ini memang dikehendaki oleh Tuhan Yesus.
Dalam bacaan Injil kita mendengar bagaimana Tuhan Yesus meminta para murid-Nya dan orang banyak yang mengikuti-Nya untuk mawas diri terhadap kegilaan akan kuasa apapun. Ia melihat orang-orang Farisi sudah kehilangan ara, sangat legalis melebihi Musa sendiri. Sebab itu Ia berkata: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa.” (Mat 23:2). Tanda-tanda bahwa mereka menduduki kursi Musa adalah tutur kata dan sikap hidup mereka terlalu berlebihan terhadap sesama, melebihi Musa dan hukum-hukum Taurat yang ada. Misalnya, mereka mengajar banyak hal yang bagus-bagus tetapi tidak melakukannya, beban-beban mereka berikan kepada orang lain sementara jari mereka tidak menyentuhnya. Mereka memiliki gaun-gaun tersendiri seperti tali sembayang yang lebar dan jumbai yang panjang untuk menunjukkan jati dirinya, suka duduk di tempat terhormat dan tempat terdepan, menerima penghormatan dan suka disapa Rabi.
Yesus membuka wawasan para murid dan orang banyak dengan mengatakan bahwa mereka boleh mendengar perkataan kaum Farisi dan para ahli Taurat. Namun demikian mereka harus menyaringnya. Dalam hal ini semua perkataan yang baik dari ajaran mereka boleh dijalani tetapi sikap hidup mereka tidak perlu diikuti sebab antara mulut dan tindakan tidak sinkron. Mereka juga diingatkan untuk menjadi orang-orang biasa, anawim yang rendah hati. Jadi tidaklah perlu disapa Rabi, Bapa dan Pemimpin di bumi ini. Semua kategori ini hanya ada di dalam Tuhan sedangkan manusia adalah sesama dan saudara. Sebagai sesama dan saudara maka mereka haruslah saling rendah hati dan siap untuk menjadi pelayan sejati. Yesus mengatakan: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat 23:11-12).
Pengajaran Yesus dalam bacaan Injil ini mirip dengan nubuat Maleakhi. Para imam dalam Kitab Perjanjian Lama dipilih untuk memimpin umat Allah. Sebagai pemimpin umat, salah satu tugasnya adalah mengajar kebenaran kepada umat dengan harapan bahwa umat dapat melakukan kebenaran juga. Namun sayang sekali karena para imam tidak melakukan tugasnya sebagai pemimpin umat. Para imamnya mengatakan banyak hal yang bagus tetapi tidak sinkron dengan hidupnya yang nyata. Tidak ada keteladanan yang baik bagi jemaat Tuhan. Para imam justru menjadi sandungan bagi jemaat. Maka Maleakhi mengatakan: “Kamu telah menyimpang dari jalan; dengan pengajaranmu kamu membuat banyak orang tergelincir”. Tuhan akan membuat para imam menjadi hina di hadirat-Nya. Para imam melakukan semuanya ini sebagai bentuk ketidaktaatan mereka kepada Tuhan.
Hari Minggu ini Tuhan menghendaki agar kita melakukan dua hal ini. Pertama, memiliki empati dengan sesama manusia. Kedua, kita belajar untuk rendah sama seperti Tuhan sendiri lemah lembut dan rendah hati. Sikap empati dan kerendahan hati membuka jalan bagi kita untuk bersatu dengan Tuhan. Tuhan yang kita imani senantiasa berempati bahkan merendahkan diri-Nya bagi kita orang berdosa.
PJSDB