Maafkan daku!
Apakah kata “maafkan daku” memiliki nilai transformatif dalam hidup ini? Saya yakin bahwa banyak di antara kita yang sepakat dengan saya bahwa kata ini memiliki power yang dapat mengubah hidup pribadi dan hidup banyak orang di sekitar kita. Kata maafkan daku adalah kata yang hendak menegaskan bahwa saya secara pribadi sudah mengenal kekurangan dan kelebihanku, sudah menerima diriku apa adanya dan bahwa kehadiranku di antara orang-orang yang lain turut mempengaruhi hidup mereka karena kemampuan untuk memaafkan diriku. Saya berani mengatakan maafkan daku karena saya sendiri mampu memaafkan diriku.
Dalam penerbangan dari Surabaya ke Denpasar pada hari Minggu 26 November 2017 kemarin, saya mendapat sebuah insight yang sangat mendidik. Ada seorang ibu yang membawa serta anaknya yang masih berusia sekitar empat tahun. Sepanjang perjalanan anak itu banyak berbicara dengan ibunya dalam bahasa Inggris. Saya menduga mereka tinggal di luar negeri sehingga bahasa Inggrisnya serupa dengan para native speaker. Ada satu momen yang saya katakan inspiratif, yakni ibunya kembali dari toilet dan langsung duduk di kursi, tanpa melihat bahwa anaknya sedang meletakkan tangan kanannya dekat kursi ibunya. Maka mungkin saja tangan anak itu diduduki ibunya. Anak yang tadinya banyak omong dalam waktu singkat menangis. Ibunya berusaha menengkannya dengan kata-kata yang lazim dari mulut seorang ibu. Tetapi kata yang membuat anak itu terdiam adalah: “Maafkan mami, nak! I am sorry!” Anak itu berhenti dan mengatakan: “I forgive you mom!” Beberapa saat kemudian anak itu kembali berbicara seperti biasa, seakan sudah melupakan rasa sakitnya. Anak kecil itu belajar memaafkan dari ibunya sendiri. Kata maafkan daku memiliki power transformatif yang luar biasa.
Saya membayangkan, sekiranya banyak orang dewasa berani mengatakan dengan jujur: “Maafkan daku” mungkin keluarga, masyarakat dan dunia kita ini akan memiliki warna yang berbeda. Sang ibu dalam contoh di atas telah memenangkan hati anaknya dengan kata maaf. Hal yang terjadi adalah kebiasaan buruk yakni suka mengingat-ingat kesalahan orang, sulit untuk memaafkan orang yang sudah bersalah, masih menggunakan prinsip balas dendam, like dan dislike. Apa untungnya kita masih mengingat-ingat kesalahan orang lain dan masih mau membalas dendam? Ketika kita sulit untuk memaafkan orang lain itu berarti kita masih sulit untuk memaafkan diri kita sendiri. Musuh terbesar bukan orang lain tetapi diri sendiri. Maafkanlah daku!
Saya mengingat seorang motivator dari Amerika Serikat, namanya Steve Maraboli. Ia berkata: “Love is forgiving, accepting, moving on, embracing, and all encompassing. And if you’re not doing that for yourself, you cannot do that with anyone else.” (Cinta adalah memaafkan, menerima, berjalan terus, merangkul, dan meliputi segalanya. Dan jika Anda tidak dapat melakukan itu untuk diri sendiri, anda tidak dapat melakukannya dengan orang lain). Perkataan motivator kelahiran tahun 1975 ini bagi saya super sekali. Kalau kita tidak mampu memaafkan diri sendiri, bagaimana mungkin anda dapat memaafkan sesamamu?
Maafkan daku. Ucapkan satu kali saja dan lakukanlan seribu kali seribu kali. Lihatlah hasilnya: anda sendiri berubah, sesamamu berubah, dan dunia pun berubah menjadi lebih baik dari sekarang ini. Maafkan daku diriku, maafkan daku sesamaku.
PJSDB