Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXXIV
Why 14:1-3.4b-5
Mzm 24:1-6
Luk 21: 1-4
Segalanya bagi Tuhan saja!
Saya pernah menghadiri sebuah perayaan syukur panca windu seorang bruder dari sebuah kongregasi. Ia memilih tema perayaannya: “Segalanya bagi Tuhan saja!” Usa perayaan misa, ia mendapat kesempatan untuk menyapa semua umat yang hadir dan membagikan pengalaman hidup membiaranya. Ia mengakui bahwa menapaki jalan Tuhan dalam membiara tidaklah mudah. Ia pernah memikirkan bahwa semuanya akan lancar seperti jalan toll. Ternyata di jalan toll juga ada kemacetan dan kecelakaan. Demikian perjalanan panggilannya. Ia memang mau memberi dirinya secara total kepada Tuhan namun ia juga pernah mengalami ‘kemacetan total’ sehingga memilih untuk tinggal di luar biara selama tiga tahun. Setelah tiga tahun berakhir, ia mengatakan dalam hatinya: “Ternyata Tuhan itu lebih daru segalanya. Lebih baik saya masuk kembali untuk melayani-Nya dari dalam biara bukan dari luar biara. Sebab itu ia sangat bersyukur di hari bahagianya dengan memiliki prinsip ‘Segalanya bagi Tuhan saja!’ Ia berjanji untuk semakin setia dalam panggilannya. Ini benar-benar sebuah pengalaman yang indah dan sangat mendidik kita. Ketika kita memberi diri secara total kepada Tuhan maka kita harus berusaha untuk setia dalam komitmen kita. Sekali kita memberi kepada Tuhan maka berilah secara total bukan memberi dengan setengah-setengah.
Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus dalam Injil Lukas. Kita mendengar kembali kisah janda miskin yang memberi dari kekurangan bahkan seluruh nafkahnya. Ketika itu Yesus bersama para murid-Nya sedang berada di dalam Bait Allah. Ia menggunakan kesempatan untuk memperhatikan orang-orang yang memasukkan persembahannya ke dalam peti-peti persembahan yang ada. Semua orang kaya yang hadir memberi kolektenya dengan uang yang banyak dari kelebihan hidupnya. Ada juga seorang janda tanpa nama memberikan dua peser ke dalam peti persembahan di dalam Bait Allah. Yesus memuji janda tanpa nama ini sebab ia memberi lebih banyak. Ia tidak hanya memberi dua peser, tetapi boleh dikatakan memberi dirinya bagi kebahagiaan orang lain yang sama-sama miskin.
Janda ini tentu memiliki pikiran yang sangat positif dalam memberi persembahan di dalam Bait Allah. Ia menyadari bahwa miliknya saat ini hanya dua peser, namun ia tidak takut untuk melarat. Ia masih mau berbagi dengan kaum miskin yang lain. Ia tidak pelit dan ingat diri atau takut untuk menjadi miskin. Ia memberi segalanya karena ia masih percaya kepada penyelenggaraan ilahi. Ia percaya bahwa Tuhan akan memberikan segala yang ia butuhkan di dalam hidupnya. Ia juga percaya bahwa dari dua peser yang ia bagikan kepada sesama kaum miskin maka ia akan menerima lebih dari itu bagi hidupnya. Tuhan akan menganugerahkan anugerah dan berkat-berkat yang lebih banyak.
Gambaran janda miskin adalah gambaran hidup kita sebagai pribadi dan Gereja. Kita secara pribadi perlu menyadari bahwa segala yang kita miliki bukan hanya untuk diri kita saja. Kita juga perlu berbagi dengan sesama yang lain. Kita perlu membahagiakan saudari dan saudara kita yang sangat-sangat membutuhkan. Gereja memiliki sebuah optio yaitu melayani kaum miskin dan mengentaskan kemiskinan mereka. Orang-orang miskin selalu ada di dalam Gereja. Sebab itu sangatlah diperlukan semangat untuk melayani kaum miskin, melakukan usaha-usaha untuk mengentaskan kemiskinan mereka. Program-program pemberdayaan dapat dilakukan dengan dukungan dana papa di dalam Gereja. Tentu saja sangat diharapkan supaya Gereja itu tidak bangga karena memiliki kolekte yang besar. Gereja harus bangga ketika dapat mengentas kemiskinan umatnya.
Gereja yang melakukan perbuatan amal kasih untuk mengentas kemiskinan benar-benar menjadi ‘angkatan yang mencari wajah Tuhan’. Kita mendapat kesadaran yang dalam bahwa segala yang ada di atas dunia ini adalah milik Tuhan. Hanya Tuhan saja yang mendasarkan bumi di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai. Angkatan yang mencari wajah Tuhan akan membaktikan dirinya secara total bagi kebahagiaan orang lain. Masing-masing kita perlu menyadari jalan kekudusan kita. Haruslah kita bersih tangan dan murni hati kita, tidak mudah menyerahkan diri kepada penipuan dan tidak bersumpah palsu. Semua ini dapat dilakukan kalau kita berprinsip segalanya bagi Tuhan saja.
Mengapa kita perlu ‘bersih tangan dan murni hati’ di hadapan Tuhan dan sesama? Alasan utamanya adalah kita mau menjadi serupa dengan Tuhan. Kita laksana orang-orang yang mengikuti Anak Domba ke mana saja Ia pergi. Kita mengikuti Tuhan Yesus, sang Anak Domba Allah sebab mengalami penebusan berlimpah dari Tuhan. Tidak ada dusta apapun di dalam mulut orang-orang kudus. Hidup sempurna dan tak bercela sebab Yesus Kristus berkarya di dalam diri kita. Bahkan pada dahi orang-orang beriman, tertulis nama Anak Domba dan nama Bapa-Nya.
Pada hari ini kita mendapat kekuatan baru dari Tuhan untuk setia dalam hidup. Kita belajar untuk setia sebagai abdi Tuhan dalam keluarga, masyarakat dan tempat di mana kita bekerja. Kita adalah abdi yang siap untuk melayani dan berbagi hidup dengan orang lain di sekitar kita. Hidup Kristiani benar-benar bermakna ketika kita mampu berbagi dalam hidup kita setiap hari. Hidup Kristiani bermakan ketika semua orang sadar diri sebagai saudara dalam Kristus. Sebab itu kita harus merasa malu kepada Tuhan ketika menyaksikan masih ada banyak orang yang lebih miskin dari kita. Tuhan sebenarnya bermaksud supaya orang-orang miskin yang masih ada bersama kita mendapat perhatian yang lebih besar dalam pelayanan-pelayanan kita. Ini adalah hal yang nyata dalam mewujudkan kasih: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Sebab itu janganlah takut untuk menjadi miskin sebab pada wajah orang-orang miskin, kita menemukan gambaran sejati wajah Tuhan Yesus sendiri, sang Anak Allah yang mengosongkan diri-Nya, rela menjadi miskin supaya kita menjadi kaya di hadirat-Nya. Kita juga belajar untuk bermurah hati kepada semua orang. Sadarlah bahwa semua bakat, kemampuan, waktu bahkan hidup kita berguna untuk kebaikan sesama kita. Bersama Tuhan kita pasti mampu membaktikan diri bagi Tuhan dan sesama.
PJ-SDB