Misa Malam Natal
Yes 9:1-6
Mzm 96:1-3.11-13.
Tit 2:11-14
Luk 2:1-14
Kasih karunia Allah menjadi nyata
Saya memulai homili Malam Natal ini dengan mengutip perkataan Paus Emeritus Benediktus ke-XVI ini: “Manusia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri sehingga tidak memikirkan Tuhan. Ini berarti tidak ada ruang untuk anak-anak maupun orang miskin dan mereka yang merasa terasingkan.” Paus Emeritus Benediktus membuka wawasan kita untuk merenungkan Natal bukan dalam konteks kemewahan tetapi dalam kesederhanaan hidup. Kita merayakan Natal pada malam hari ini bukan dalam suasana kemewahan yang dipertunjukkan dalam hal kelimpahan makanan dan minuman dan berbagai gaun yang kita kenakan. Natal bukanlah kesempatan untuk mempertunjukkan pola hidup yang hedonis dan konsumtif tetapi sebuah pola hidup yang sederhana, penuh dengan sikap empati dengan sesama manusia. Realita menunjukkan bahwa memang banyak di antara kita yang hedonis dan konsumtif sehingga terlalu memikirkan dirinya sendiri dan lupa memikirkan Tuhan. Ruang untuk memperhatikan anak-anak dan kaum miskin dilupakan begitu saja. Ada jurang yang gelap, yang memisahkan setiap pribadi manusia.
Sebenarnya tujuan kita merayakan Natal bukan untuk membahagiakan diri kita dengan berbagai perilaku hedonis dan konsumtif semata, tetapi merayakan Natal bertujuan untuk membahagiakan Tuhan. Artinya, tugas kita adalah membahagiakan Tuhan, meskipun Ia tidak membutuhkannya. Kita adalah anak-anak yang patut membahagiakan-Nya. Kita haruslah berpikir bukan tentang apa yang dapat kita peroleh dari perayaan Natal ini, melainkan apa yang dapat Tuhan peroleh dari perayaan Natal ini. Kita memberi kepada Tuhan apa yang Ia butuhkan dan membahagiakan-Nya dengan memberi diri secara total, memberi hidup kita dan memberi seluruh kasih kita kepada-Nya, dan berusaha mengundang sesama untuk melakukan hal yang sama.
Kita merayakan Natal berarti kita merayakan Terang Tuhan yang menyinari seluruh hidup kita. Dalam prefasi Natal I dikatakan begini: “Sebab ketika Sabda-Mu menjadi manusia, Engkau memancarkan di hadapan kami keagungan-Mu yang tak terperikan. Engkau, Allah yang tak kelihatan, kini dapat kami kenal dalam diri Putera-Mu, Juru Selamat kami. Kabut yang menyelimuti hati dan budi ditembusi sinar surga.” Pada malam hari ini kita mengalami hal yang sama. Selama ini, banyak di antara kita yang hidup dalam kegelapan, akibat tidak ada perhatian kepada kaum papa dan miskin. Banyak di antara kita yang mengingat diri, hedonis dan konsumtif. Tidak ada ruang bagi sesama. Kita butuh sinar Tuhan dari surga untuk menerangi dan mengubah hidup kita. Kita butuh kasih karunia dari Tuhan untuk memiliki hidup baru.
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama memiliki visi yang jelas bahwa pada saatnya yang tepat, bangsa yang berjalan dalam kegelapan akan melihat terang yang besar, terang telah bersinar atas mereka yang diam di negeri kekelaman. Yehuda memang hidup dalam kegelapan akibat dosa dan buahnya adalah penderitaan. Ada krisis pemerintahan yakni raja yang tidak percaya kepada Tuhan. Dalam suasana krisis ini, Tuhan menjanjikan keselamatana berupa terang yang besar. Dalam kacamata kristiani, terang yang besar adalah Yesus Kristus, sang terang dunia. Terang yang besar itu telah menjadi nyata dalam diri anak yang lahir, di mana lambing pemerintahan dan kekuasaan ada di tangannya. Dia menjadi penasihat Allah, Allah Yang Perkasa, Bapa Yang Kekal dan Raja Damai. Kuasanya besar dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan. Dia adalah kasih karunia yang menjadi nyata. Dialah Yesus Kristus, sang Mesias yang dinubuatkan.
St. Paulus mengingatkan Titus dalam suratnya bahwa sudah nyatalah kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia. Kasih karunia bukan sesuatu melainkan seorang yaitu Tuhan Yesus Kristus. Bagi Paulus, Tuhan Yesus sebagai kasih karunia mendidik kita agar meninggalkan kefasikan dan keinginan-keingininan duniawi, dan supaya kita menjadi bijaksana, adil, beribadat sambil mengharapkan kedatangan Yesus dengan kemuliaan-Nya. Tuhan Yesus menunjukkan suatu sikap yakni menyerahkan diri seutuhnya bagi kita, membebaskan kita dari kejahatan dan menguduskan kita semua.
Tepat sekali perkataan Paulus bahwa Yesus adalah kasih karunia yang menyelamatkan. Pada malam hari ini kita menyaksikan kasih karunia yang menjadi nyata di Bethlehem. Bethlehem dikenal sebagai kota Raja Daud menjadi tempat kelahiran Dia yang akan memerintah Israel yakni sang Mesias sebagaimana dinubuatkan Mikha (Mi 5:2). Betlehem atau Bethlehem (Arab: بيت لحم, Bayt Laḥm, artinya “rumah daging”. Dalam bahasa Ibrani: בית לחם, Bet léḥem atau Bet láḥem, Bêṯ léḥem atau Bêṯ lāḥem artinya “rumah roti”. Dalam bahasa Yunani: Βηθλεέμ; bahasa Latin: Bethleem; bahasa Inggris: Bethlehem. Hal yang menarik perhatian kita adalah makna Betlehem dalam Bahasa semitis. Di kota inilah lahir Yesus Kristus sebagai Sabda yang menjadi Daging dan tinggal di antara kita. Dialah yang akan menjadi roti hidup bagi kita semua.
Tuhan Yesus sebagai kasih karunia Allah yang nyata masuk dalam sejarah manusia. Penginjil Lukas melukiskan kelahiran Yesus dalam konteks historis yakni sensus penduduk yang dikehendaki oleh Kaisar Agustus. Disebutkan juga nama Kireneus sebagai walinegeri Siria. Artinya kisah Yesus ini bukan sekedar mengada-ada tetapi suatu kenyataan yang benar. Maria dan Yusuf meninggalkan Nazareth dan menuju ke Betlehem di daerah Yudea untuk mengikuti Sensus penduduk. Ketika tiba di Bethlehem, tibalah saatnya bagi Maria untuk melahirkan Anaknya yang bersama Yusuf sudah mengetahui nama-Nya yaini Yesus. Dikisahkan bahwa tidak ada tempat hunian yang layak bagi keluarga kudus. Maria melahirkan Yesus, membungkusnya dengan kain lampin dan membaringkannya di dalam palungan atau tempat makan hewan.
Yesus adalah kasih karunia yang nyata memulai hidupnya dalam kesederhanaan dan kemiskinan. Ia dibungkus dan dibaringkan dalam palungan. Palungan adalah tempat makan dan minum bagi ternak. Palungan itu laksana altar kurban di mana nantinya Yesus juga mempersembahkan diri-Nya secara total bagi keselamatan manusia. Hidup manusia yang penuh kefasikan akan berubah menjadi kekudusan. Kisah kelahiran Yesus ini ikut membuka wawasan kita bahwa peristiwa Betlehem adalah awal bagi peristiwa di Kalvari. Penderitaan akan berakhir dengan kemenangan kekal.
Natal adalah sebuah perayaan damai dan sukacita. Para gembala adalah orang-orang sederhana yang dipakai Tuhan untuk mewartakan kelahiran Yesus Kristus dengan sukacita. Yesus adalah Raja Damai. Dialah kesukaan besar yang Tuhan janjikan bagi manusia. Dialah Juru Selamat. Kita semua dengan sukacita boleh berkata bersama para malaikat Tuhan: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi bagi orang yang berkenan kepada-Nya.” Apakah ada damai di dalam hatimu? Natal adalah kasih karunia yang membuat hatimu damai dan tenang.
Pada malam natal yang indah ini mari kita membuat resolusi yang tepat. Malam natal adalah awal yang bagi kita untuk meninggalkan kefasikan hidup karena sudah menerima kasih karunia Tuhan. Kefasikan hidup karena kejahatan yang kita lakukan bagi sesama, ujaran kebencian, kekerasan fisik dan verbal, kebohongan public yang benar-benar menguasai dan memecah belah persaudaraan kita. Mari kita menyiapkan ruang yang baik bagi kaum miskin dan anak-anak, bagi orang-orang yang difitnah secara keji. Kasih karunia yakni Yesus Kristus membaharui hidup orang-orang yang berkenan kepada Tuhan.
Selamat Hari Raya Natal 25 Desember 2018
P. John Laba, SDB