Homili Hari Raya Natal
Yes. 52:7-10
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4,5-6
Ibr. 1:1-6
Yoh. 1:1-18
Kelahiran-Nya menyatukan kita
Saya senang mendengar kisah dua bersaudara kandung yang saling berpelukan sambil menangis di malam natal tahun ini. Konon setelah misa malam natal, keduanya bertemu, saling berpelukan dan menangis sambil meminta maaf satu sama lain. Banyak orang mengatakan bahwa kedua bersaudara ini sudah tujuh tahun tidak saling menyapa satu sama lain karena ada masalah keluarga. Ada pihak netral yang pernah berusaha untuk menyatukan dan mendamaikan namun selalu gagal. Kali ini mereka dua berjumpa di satu gereja yang sama, saling memandang satu sama lain saat salam damai dan bersatulah mereka setelah menerima komuni kudus. Orang mengatakan bahwa mukjizat selalu terjadi di dalam hidup kita sehari-hari. Mukjizat itu adalah hal-hal sederhana di dalam hidup kita, yang biasa menjadi luar biasa. Saya memaknai natal dengan pengalaman kedua bersaudara ini sebagai kesempatan untuk saling menyatu sebagai saudara.
Tuhan Yesus lahir ke dunia untuk menyatukan semua orang yang berbeda-beda. Para malaikat menyampaikan kepada para gembala untuk bersukacita karena ‘kesukaan besar’ akan dialami oleh setiap insan yaitu Yesus Kristus yang lahir di kota Bethlehem. Rumah Daging dan Rumah Roti menjadi tempat sang Sabda menjadi Daging dan tinggal bersama kita (Yoh 1:14). Dialah Roti Hidup (Yoh 6:48) yang mengenyangkan kita secara rohani dengan Tuhan dan sesama. Maka sambil memandang Yesus yang dibungkus dengan kain lampin, dan dibaringkan di dalam palungan, kita merasakan persekutuan yang akan kita rasakan dalam Ekaristi. Dia yang berada di dalam palungan akan memberi diri sebagai makanan rohani dalam Ekaristi selama-lamanya. Kita pun sadar diri bahwa Ekaristi menyatukan kita semua. Ekaristi menjadikan kita sebagai saudara. Maka dapatlah dikatakan bahwa Natal adalah peristiwa iman yang menyatukan kita sebagai saudara dalam Kristus.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini membangkitkan harapan kita untuk menyambut kedatangan Yesus yang menyatukan kita sebagai saudara. Dalam bacaan pertama, kita melihat realita bangsa Israel yang terpecah-pecah, hancur dan menderita di Babilonia. Dalam suasana yang seakan tidak menentu ini, Tuhan mengutus para nabi-Nya untuk menghibur sekaligus memberi harapan akan hidup baru yang penuh dengan persaudaraan. Mereka akan kembali, bersama-sama sebagai saudara ke Yerusalem. Yesaya tanpa ragu bernubuat: “O betapa indah kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan bentara yang mengabarkan berita damai dan memberitakan Kabar Baik; yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion ‘Allahmu meraja’”. Berita damai dan Kabar Sukacita menyatukan setiap pribadi untuk kembali ke Yerusalem yang sudah ditebus Tuhan.
Pada zaman now, Tuhan berbicara dengan perantaraan Anak-Nya sendiri yaitu Yesus Kristus Tuhan kita. Ini bukan berarti Tuhan mengabaikan para nabi hingga zaman Yohanes Pembaptis. Para nabi tetaplah menjadi rujukan sebab mereka memberi harapan yang kini menjadi nyata di dalam diri Yesus Kristus. Penulis surat kepada umat Ibrani menegaskan bahwa Tuhan Allah Bapa kini berbicara melalui Yesus Putera-Nya. Dialah Sabda yang menjadi daging dan tinggal menyatu dengan manusia. Dia yang menegaskan persekutuan dengan Bapa: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30). Allah sendiri berkata: “Anak-Kulah Engkau! Pada hari ini Engkau telah Kuperanakkan.” Di tempat lain kita mendengar perkataan ini: “Aku akan menjadi Bapa-Nya dan Ia menjadi Anak-Ku”. Dengan demikian semua malaikat dan segala makhluk menyembah-Nya.
Penginjil Yohanes menyimpulkan semua bacaan liturgi yang indah di Hari Raya Natal ini dengan mengatakan bahwa Yesus adalah Firman. Firman adalah Allah sendiri. Firman ada bersama Allah dan menjadikan segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada. Pikiran kita lalu tertuju pada Allah yang kita temukan dalam Kitab Kejadian di mana Ia menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya. Ia bersabda maka jadilah. Penginjil Yohanes juga mengatakan bahwa Yesus adalah terang. Yohanes Pembaptis bersaksi tentang terang, hanya dia sendiri bukanlah terang itu. Terang yang sesungguhnya menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. Terang itu telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Yesus mempertegas diri-Nya sebagai terang. Ia berkata: ‘Akulah terang dunia” (Yoh 8:12; 9:5).
Yesus adalah terang dunia. Ia mempersatukan semua orang dari segala suku dan bahasa menjadi satu komunitas yang merasakan terang-Nya. Suku dan bangsa yang masih berjalan melihat terang yang datang dari Allah kita. Kita pun dipanggil untuk membawa terang Kristus kepada sesama manusia. Kita merayakan Natal, mengenang kelahiran Yesus Kristus. Bayi Yesus yang lahir ke dunia, hendak mengatakan kepada kita bahwa Allah adalah Bapa yang baik, kita semua bersatu sebagai saudara dan saudari dalam satu Bapa yang sama. Tanpa Yesus, tidak ada persaudaraan, hanya kekosongan dan perpecahan. Sunggu Natal adalah kesempatan untuk membangun persaudaraan sejati.
Selamat Natal 25 Desember 2018
PJ-SDB