Masa lalu itu seperti bekas luka
Pada malam hari ini saya coba memperhatikan kembali betis kaki saya dan bekas luka bakar yang pernah saya alami sekitar lima belas tahun yang lalu. Ketika itu saya membonceng seorang teman saya dengan sepeda motor. Di depan saya ada bus yang berlari dengan kecepatan tinggi namun tiba-tiba bus itu berhenti, tanpa ada menyalahkan lampu penunjuknya. Saya masih ingat jarak bus kota dan saya hanya sekitar 5 meter. Saya berusaha untuk menghindar tetapi tabrakan pun tak bisa dihindari. Suasananya adalah seandainya saya menabrak langsung ke badan bus mungkin teman saya akan jatuh dan meninggal di tempat. Saya mengambil keputusan penuh resiko bagi diri saya yakni menghadapkan stir sepeda motor ke samping maka sasarannya adalah bagian samping depan sepeda motor. Saya berhasil mengontrolnya tetapi tanpa sadar knalpot sepeda motornya menempel pada betis saya. Luka bakar pun tidak bisa dihindari, namun kami berdua selamat dari kecelakaan itu. Hanya saja saya yang mengalami luka bakar di betis. Proses pengobatan luka bakar di betis saya berlangsung selama sebulan. Saya merasakan sakit dan menderita, apalagi di betis kaki.
Sambil memperhatikan bekas luka ini saya merasa bersyukur kepada Tuhan karena hanya luka yang saya alami, sedangkan maut belum menjemput kami berdua. Beberapa kali saya menunjukkan bekas luka ini kepada teman saya dan ia mengucapkan terima kasihnya kepada Tuhan karena kami selamat dari kecelakaan dan kepada saya karena saya rela berkorban dengan mengalami luka tetapi dia selamat dan tidak mendapatkan luka apapun. Saya sangat setuju dengan David J. Schwartz, seorang penulis berkebangsaan Amerika. Ia pernah berkata: “Setiap pemenang penuh dengan bekas luka, hidup berarti perjuangan selalu ada rintangan dan saingan, setiap sukses harus diperjuangkan.” Saya merasa bangga sebagai seorang pemenang karena telah menyelamatkan nyawa sendiri dan nyawa teman saya. Bekas luka betisku mengajarkanku tentang cinta kasih yang benar. Mencintai berarti berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Mencintai bukan hanya sekedar berkata-kata tetapi mencintai itu nyata dalam perbuatan-perbuatan baik, meskipun ada resiko yang besar. Saya melihat bekas luka sebagai tanda perjuangan saya bagi kebaikan orang lain. Khalil Gibran benar, ketika ia mengatakan dengan penuh keyakinan: “Akhir dari penderitaan menghasilkan jiwa yang kuat; karakter terkuat ditandai oleh bekas luka.”
Bekas luka adalah masa laluku. Saya bahagia memiliki bekas luka karena bekas luka adalah tanda saya berkurban demi kebaikan orang lain. Masa laluku sama dengan bekas luka di betisku. Anda, saya dan kita perlu sadar diri bahwa selalu ada saat di mana kita menunjukkan kebahagiaan karena segala kesuksesan yang diperoleh melalui perjuangan diri. Saya mengingat Jeremy Irons, seorang aktor berkebangsaan Inggris. Ia pernah berkata: “Kita memiliki mesin waktu sendiri-sendiri. Sebagian membawa kita ke masa lalu yang disebut memori. Sebagian lain membawa kita ke masa depan yang disebut mimpi.” Apakah anda masih memiliki memori dan mimpi yang baik? Bekas luka selalu mendidik kita semua untuk meninggalkan masa penuh pesimisme menuju ke masa penuh optimism. Bekas luka adalah guru kehidupan kita. Kita perlu bersyukur atas pengalaman masa lalu, laksana bekas luka dengan persiapan bathin untuk menjadi baru, lebih baik lagi dalam hidup ini.
Saya mengakhiri sharing tentang bekas luka yang menjadi bagian dari masa laluku. Kata-kata yang selalu meneguhkan saya adalah perkataan Tuhan dalam Kitab nabi Yesaya: “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” (Yes 43:18-19). Semua perkataan ini akan menjadi pesan bagi Bangsa Isarel untuk menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan. Pesan Tuhan yang sama mengundang kita untuk mawas diri dan menjadi pribadi yang terbaik. Belajarlah dari bekas luka maka anda akan mengerti siapakah dirimu di hadapan Tuhan dan sesama.
P. John Laba, SDB