Don Bosco: Sosok Empati dan Jujur
Ada seorang sahabat yang mengatakan kepadaku perkataan ini: “Pada zaman ini memang sangat sulit untuk mendapatkan sosok yang tulus berempati dan jujur.” Saya mengangguk-angguk sekaligus merenung tentang sikap yang tulus dalam berempati dan jujur dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan Tuhan. Pada saat yang sama, saya juga membayangkan bagaimana perilaku orang yang tulus berempati dan jujur.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kata empati berarti suatu keadaan mental yang membuat seseorang itu merasa atau mengidentifikasikan dirinya dengan keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Maka seorang yang tulus berempati pasti merasa dirinya sama dengan keadaan orang atau kelompok lain. Misalnya seseorang yang ikut merasakan penderitaan sesamanya. Orang lain sakit dan menderita namun ia memposisikan dirinya dengan orang sakit dan menderita. Saya mengingat penulis berkebangsaan Amerika, namanya Stephen Covey. Ia pernah berkata: “Ketika kamu menunjukkan empati yang besar terhadap orang lain, energi negatif mereka menurun dan digantikan oleh energi yang positif. Itulah ketika kamu lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah.” Hidup ini semakin bermakna ketika kita dapat berempati dengan sesama manusia. Kita meningkatkan energi positif di dalam diri sesama manusia. Apakah anda sudah sadar untuk berempati dengan sesama di sekitarmu?
Banyak di antara kita mungkin memiliki kesan yang mirip satu sama lain bahwa pada zaman ini sulit untuk mendapatkan sosok pribadi yang jujur. Ada kenyataan di dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa sikap hidup jujur sudah mulai dilupakan. Banyak orang lebih menyukai sikap hidup tidak jujur dari pada hidup jujur. Misalnya kebohongan demi kebohongan selalu ada dalam diri pribadi orang atau kelompok tertentu. Boleh dikatakan bahwa rasa malu sebagai sosok pembohong itu sudah mulai lenyap. Sebenarnya, orang-orang yang suka berkata jujur akan memperoleh tiga hal penting ini: kepercayaan, cinta dan rasa hormat dari orang lain. Orang yang tidak jujur tentu tidak akan memilikinya. Mahatmah Gandhi pernah berkata: “Berperilaku jujur memang sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin dilakukan.” Hidup sebagai orang jujur itu penting dan harus dihayati sepanjang hidup kita!
Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita adalah apakah sikap tulus dalam berempati dan jujur masih perlu dalam hidup kita? Saya menjamin bahwa semua orang yang membaca tulisan saya ini akan mengakui dan sepakat bahwa perasaan tulus dalam berempati dan jujur masih penting dalam hidup bersama. Sarah Monk, seorang penulis berkebangsaan Inggris pernah berkata: “Cinta sejati itu utuh, cinta sejati itu terbuka, jujur dan bahagia. Cinta sejati tidak membuatmu duduk di pojokan dan menangis. Cinta sejati memberikan kekuatan kepadamu, cinta sejati tidak membuatmu lemah.” Tulus dalam berempati dan jujur itu masih diperlukan hingga saat ini.
Memandang kepada Don Bosco
Saya memulai tulisan ini dengan menggambarkan tentang hidup sebagai pribadi yang memiliki ketulusan dalam berempati dan jujur. Semua pemikiran ini menginspirasikan kita untuk tulus dalam berempati dan jujur. Kita tentu membutuhkan modelling atau sosok tertentu yang membantu untuk menginspirasikan kita supaya hidup serupa demi kebaikan bersama. Untuk itu saya mengajak kita semua untuk memadang St. Yohanes Bosco, atau dikenal dengan nama Don Bosco, mengagumi dan mengasihinya lebih lagi. Kita semua tidak pernah hidup bersama dengannya namun hidup dan karyanya sendiri tetap inspiratif dan tepat bagi kaum muda masa kini. Don Bosco adalah orang kudus yang membaktikan dirinya bagi kaum muda yang miskin hingga akhir hayatnya. Pada saat memperingati 100 tahun meninggalnya yakni tanggal 31 Januari 1988, Paus Yohanes Paulus ke-II memberinya sebuah gelar baru yakni Don Bosco sebagai bapa, guru dan sahabat kaum muda.
Don Bosco itu tulus dalam berempati
Pertanyaan sederhana ini menarik perhatian kita, terutama bagaimana kita dapat masuk lebih dalam lagi dalam kehidupan pribadi Don Bosco, Bapak, Guru dan Sahabat kaum muda. Saya perlu menegaskan bahwa Don Bosco tidak hanya mengajar orang-orang muda yang miskin untuk berempati dengan sesamanya yang miskin, ia juga menghayati sikap empati dan jujur ini dalam hidupnya yang nyata. Semua gagasan Don Bosco menjadi nyata dalam karya kerasulannya di tengah kaum muda, bahkan ia sendiri mendirikan Serikat Salesian Don Bosco (SDB), para suster Salesian (FMA) dan para kooperator Salesian untuk melanjutkan cita-citanya yang luhur ini.
Don Bosco lahir dan besar dalam sebuah keluarga yang miskin. Ayahnya bernama Fransiskus Bosco dan ibundanya bernama Margaretha Occhiena. Pada saat Yohanes Bosco berusia dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Suasana ini memang sangat sulit bagi Margaretha Occhinea yang saat itu harus bertindak sebagai ibu sekaligus ayah bagi Yohanes Bosco yang lebih muda, dan kedua kakanya yaitu Yosef dan Antonius. Suasana keluarga yang miskin ini mendorong keluarga ini berjuang untuk hidup. Yohanes memang bercita-cita untuk masuk sekolah dan mewujudkan cita-citanya untuk menjadi imam. Tetapi keluarga ini tidak memiliki sumber dana untuk membiayainya di seminari. Yohanes yang masih anak usia dini ini harus bekerja sebagai gembala bagi ternak pasutri Luis Moglia dan Dorothea pada tahun 1827. Ia bekerja sebagai gembala selama 3 tahun, dan setiap malam menyisihkan waktunya untuk belajar Bahasa Latin.
Selama tiga tahun bekerja sebagai gembala, Yohanes menjumpai banyak remaja seusianya yang terpaksa bekerja karena kemiskinan di dalam keluarga mereka. Ia menjumpai seorang rekan gembala dan bersahabat dengannya. Pada siang hari mereka berdua duduk bersama untuk menyantap roti yang menjadi bekal santap siangnya. Yohanes Bosco melihat sahabatnya membawa roti berwarna hitam sedangkan dia sendiri membawa roti berwarna putih. Yohanes memiliki bayangan bawa roti hitam itu pas gizinya rendah, keras dan hanya menjadi penawar rasa lapar saja. Ia lalu berpikir: “Saya adalah seorang anak dari keluarga miskin, tetapi saya masih bersyukur menyantap roti berwarna putih sedangkan sahabat saya ini miskin dan menyantap roti berwarna hitam. Saya harus berbagi dengannya. Roti putih milikku akan kuberikan kepadanya, sedangkan roti hitamnya menjadi santap siangku”.
Pada saat duduk bersama untuk santap siang, Yohanes menawarkan roti putihnya kepada sahabatnya. Mulanya sahabatnya itu menolak, namun Yohanes berusaha meyakinkan dia hingga ia bisa menerima dan menyantap roti putih milik Yohanes. Yohanes sendiri menyantap roti hitam milik sahabatnya. Persahabatan mereka menjadi semakin akrab. Rasa empati yang tulus dari Yohanes Bosco membuahkan sebuah persahabatan yang mendalam.
Kisah sederhana ini menunjukkan satu kebijaksanaan Yohanes Bosco yaitu ketulusan dalam berempati. Yohanes Bosco adalah anak miskin tetapi dia masih berpikir bahwa ada teman sebayangan yang jauh lebih miskin darinya. Pengalaman sebagai anak miskin membuatnya semakin solider dan empati dengan sesama yang miskin. Pengalaman masa kecil ini membentuk Yohanes Bosco dengan sempurna hingga mendirikan kongregasi Salesian, supaya cita-cita dan harapannya untuk mengabdi bagi kaum muda yang miskin tetap berlanjut di dalam Gereja. Inti kebijaksanaannya adalah kaum miskin dapat menjadi rasul untuk menyelamatkan kaum miskin yang lain. Don Bosco membaktikan dirinya bagi kaum miskin hingga ajal menjemputnya di tengah kaum muda yang miskin. Ia berkata kepada kaum muda: “Bagi kalian saya belajar, bagi kalian saya bekerja, bagi kalian saya hidup, bagi kalian saya bahkan menyerahkan nyawaku”.
Don Bosco itu jujur dalam hidupnya
Sebuah kebijaksanaan yang lain adalah kejujuran. Don Bosco mendapat nasihat untuk menjadi pribadi yang jujur dari ibunya Margaretha Occhiena. Suasana kemiskinan bukanlah menjadi pintu masuk untuk menjadi sosok yang tidak jujur. Ibunya justru mengajarkannya supaya menjadi anak miskin yang jujur. Prinsip inilah yang menjadi bekal sepanjang hidupnya.
Yohanes Bosco memiliki sebuah pengalaman yang membentuknya menjadi pribadi yang jujur. Pada suatu saat Yohanes Bosco melihat di atas lemari di dapur buah-buah segar. Ia ingin memakannya tetapi ia tidak berani untuk meminta dari ibundanya. Kebetulan ibunya sedang pergi membeli sayuran di pasar. Ini menjadi kesempatan baginya untuk mengambil makanan di atas lemari. Sayang sekali karena badannya pendek maka sambil berusaha untuk mengambil makanan itu tangannya menyentuh botol berisi minyak goreng. Botol itu jatuh di atas lantai dan pecah. Ia berusaha mengeringkan lantai namun usahanya sia-sia saja. Jalan terakhir yang ditempuhnya adalah menyiapkan sebuah tongkat dan siap untuk memberikan kepada ibundanya saat ia kembali dari pasar untuk memukulnya. Pada saat ibunya tiba, ia menjelaskan kepada ibunya semua yang sudah terjadi. Ibunya memujinya karena kejujurannya. Sebelum tongkat itu dibuang ibunya masih berkata: “Saya tidak memukulmu dengan tongkat karena engkau jujur. Lain kali kalau membutuhkan sesuatu maka mintalah.”
Yohanes belajar dari pengalamannya untuk menjadi pribadi yang jujur. Ini adalah kebijaksanaannya. Maka dalam sistem pendidikannya bagi kaum muda, ia mau mendidik kaum muda untuk menjadi orang muda ideal yakni menjadi orang beriman yang baik dan warga negara yang jujur. Kejujuran selalu dimulai dari diri sendiri dan dengan demikian mengalir ke luar dari diri kita sendiri.
Harapan kita
Dua kebijaksanaan Don Bosco yakni ketulusan dalam berempati dan kejujuran masih aktual bagi kita semua. Mari kita belajar dari Don Bosco dan membenahi diri kita supaya selalu tulus dalam berempati dan jujur dalam hidup kita. Viva Don Bosco.
P. John Laba, SDB