Membangun Pertobatan Sejati
Kita semua memasuki masa Prapaskah tahun 2019. Biasanya ada satu kata yang mewarnai masa Prapaskah ini yakni kata Tobat. Ada kalanya orang mengatakan bahwa masa prapaskah itu mirip dengan sebuah retret agung selama empat puluh hari dan empat puluh malam, di mana selama retret agung ini kita dapat mengalami sebuah pertobatan sejati atau yang lebih dikenal dengan nama metanoia (μετάνοια). Kata metanoia sendiri berarti “perubahan pikiran” untuk menjadi yang terbaik. Orang yang mengalami metanoia adalah orang yang benar-benar berubah pikiran atau berubah kiblat hidupnya, dan hidupnya hanya terarah kepada Tuhan Allah saja. Tentu saja proses perubahan berawal dari pengalaman pribadi pernah jatuh ke dalam dosa, menyadari dosa dan akibat-akibatnya lalu berusaha untuk berbalik kepada Tuhan dan mengikuti jalan dan perintah-perintah-Nya.
Pertanyaan awal: Apakah anda pernah mengalami sekali saja jatuh ke dalam dosa dan hingga saat ini selalu mengulangi doa yang sama? Apakah anda pernah mengalami kesulitan untuk bermetanoia? Sebuah pertobatan sejati itu bukan hanya sekedar sebuah niat baik, melainkan sebuah kesungguhan yang berasal dari kedalaman hati kita untuk mengikuti jalan Tuhan. Pertobatan sejati itu berasal dari dalam hati, bukan hanya sekedar angan-angan dalam pikiran kita saja. Niat baik untuk bertonat belum cukup. Kita butuh rahmat dan kasih Tuhan Yang Maharahim.
Saya mengingat St. Theresa dari Kalkuta. Beliau pernah berkata: “Beberapa orang kudus menggambarkan diri mereka sebagai penjahat yang mengerikan karena mereka melihat Tuhan, mereka melihat diri mereka sendiri dan dari situ mereka menemukan letak perbedaannya.” Perkataan orang kudus moderen ini menggambarkan kehidupan kita yang nyata di hadirat Tuhan. Kalau kita berada di hadirat Tuhan kita akan merasa bahwa diri kita tidak lebih dari sebutir debu. Betapa diri kita itu hina di hadirat Tuhan karena dosa dan salah yang sadar dan tidak sadar kita lakukan di setiap waktu kehidupan. Tuhan Allah sendiri berkata: “Dosa itu sudah mengintip di depan pintu, ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej 4:7).
Masalahnya adalah manusia memang lemah sehingga ketika dosa menggodanya, ia pun langsung menikmati dosa itu. Dalam Kitab Mazmur kita membaca: “Dosa bertutur di lubuk hati orang fasik; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.” (Mzm 36:1). Maka tepat sekali perkataan St. Theresia dari Kalkuta bahwa ada beberapa orang kudus memang menggambarkan diri mereka sebagai penjahat yang mengerikan ketika memandang Tuhan dan memandang pada dirinya sendiri sambil menemukan perbedaan dirinya dengan Tuhan yang Mahasempurna. Hal yang terpenting di sini adalah Tuhan turut bekerja untuk mempertobatkan orang-orang berdosa. Tuhan sendiri bernubuat melalui nabi Mikha: “Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapus kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.” (Mi 7:19).
Kita perlu belajar bertobat
Bertobat dari kebiasaan jatuh ke dalam dosa yang sama bukanlah hal yang mudah. Lagi pula dosa itu sendiri selalu mengintip dan menggoda kehidupan kita. Maka mudah sekali orang merasa tergoda dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Namun apakah kita begitu lemah dan menyerah kepada dosa yang sama? Jawabannya tidak! Kita memiliki Tuhan Allah yang maharahim. Ia akan menguatkan dan memulihkan kita dari noda dosa. Orang berdosa sekalipun Ia sembuhkan. Hanya kita sajalah yang tidak mau merasa diri sebagai orang berdosa sehingga sulit bagi kita untuk bertobat. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10). Banyak di antara kita memilih bersembunyi dari dosa-dosa kita.
Mari kita sejenak memandang contoh pribadi-pribadi tertentu yang mengalami pertobatan sejati:
Pertama, Sang Anak bungsu dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk 15: 11-32). Anak bungsu memanfaat kemurahan hati Bapanya dengan mengambil harta yang menjadi haknya, lalu pergi ke tempat yang jauh. Di sana ia hidup berfoya-foya dan menikmati dosa. Ia akhirnya sadar bahwa dosa itu menghancurkannya maka ia mengingat kembali kerahiman Bapanya. Ia pun berniat untuk kembali kepada Bapanya. Ia memang berniat untuk menemui Bapanya, tetapi yang terjadi adalah Bapanya yang keluar dari rumah, membuka tangan kasihnya untuk memeluk dan menciumnya, memberinya gaun baru berupa sebuah jubah, cincin baru, dan alas kaki baru, serta pesta sebagai tanda kasih dan sukacita pertobatan. Pertobatan sejati adalah rencana Tuhan bukan rencana dan keinginan kita. Dialah yang memanggil kita kepada diri-Nya. Dialah Bapa selama-lamanya maharahim!
Kedua, Zakheus. Beliau adalah seorang kepala pemungut cukai dan termasuk seorang yang kaya di Yerikho. Ia sudah mendengar tentang Yesus dari Nazareth yang sedang melakukan lawatan-Nya sambil berbuat baik dengan melewati kota Yerikho. Zakheus mencoba untuk memanjat pohon ara untuk melihat Yesus dari atas. Tetapi nyatanya Yesuslah yang melihat dan menyapa dengan namanya sendiri. Zakheus turun dan menerima Yesus di rumahnya. Ia mengalami pertobatan sejati dengan berjanji: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Luk 19:8). Zakheus mengalami metanoia yang radikal. Orang sombong berubah menjadi rendah hati karena rahmat Tuhan. Memang, kerahiman Allah dalam diri Yesus dirasakannya dengan sempurna.
Ketiga, St. Paulus dalam Kisah Para Rasul. Ia mengawali hidupnya sebagai Saulus yang memiliki sisi gelap yang luar biasa. Ia siap untuk menghabiskan semua orang yang mengikuti Yesus dari Nazaret. Berbagai rencana untuk menganiaya dan menghabiskan orang-orang yang mengikuti Yesus dari Nazaret dimilikinya. Semua rencana berubah total ketika Tuhan Yesus mememberinya terang, dan menyapanya dengan namanya sendiri. Ia mengalami pertobatan sejati dan berubah dari Saulus menjadi Paulus. Semua ini diceritakannya dalam Kisah Para Rasul 9:1-31; 22:1-22 dan 26:9-24. Buah pertobatan sejatinya adalah ia menjadi rasul dan misionaris bangsa-bangsa.
Keempat, St. Agustinus. Dia memulai masa mudanya dengan hidup dan menikmati dunia dan gemerlapnya. Ibunya Monika berdoa dan berharap bahwa anaknya ini akan berubah kiblat hidupnya kepada Tuhan. Hal ini tidak masuk dalam pikiran Patrisius ayahnya. Namun, pengurbanan seorang ibu yang saleh menghasilkan pertobatan sejati dalam diri anaknya. Agustinus dibaptis oleh Uskup Ambrosius dari kota Milano, Italia. Ketika bertobat, ia mengungkapkan isi hatinya: “Tardi ti ho amato” (Betapa lambatnya aku mengasihi-Mu). Bagi Tuhan, tidak ada yang terlambat. Hal terpenting adalah kesadaran untuk bertobat secara radikal.
Kelima, Kusni Kasdut. Kusni Kasdut pernah menggegerkan seluruh Indonesia karena masa lalunya dan dianugerahi label seorang penjahat Indonesia. Nama aslinya adalah Waluyo. Ia lahir sebagai pemuda miskin, anak seorang petani miskin di Blitar, Jawa Timur. Sebuah kejahatan yang dilakukannya adalah merampok 11 permata di Museum Gajah pada 31 Mei 1961. Ia dipenjarakan dan di dalam penjara itu ia mengalami kasih Tuhan. Ia masih melakukan kejahatan lainnya akhirnya mendekam di penjara sebagai seorang penjahat kelas kakap. Ia bertobat di dalam penjara dan dibaptis dengan nama baptis Ignasius. Ia dieksekusi mati pada tanggal 16 Februari 1980. Di dalam penjara, orang seperti Kusni Kasdut bertobat. Sebelum dieksekusi, ia masih meminta waktu untuk mengaku dosa kepada Romo pembimbingnya.
Kelima sosok yang saya tampilkan di sini adalah gambaran diri kita semua. Mereka pernah jatuh ke dalam dosa berkali-kali dan mengalami pertobatan sejati karena kasih dan kerahiman Tuhan. Sekali mereka bertobat, mereka benar-benar menjadi milik Tuhan satu kali untuk selama-lamanya. Mereka menginspirasikan kita untuk mencapai pertobatan sejati.
Kembalilah kepada Sakramen Tobat
Kita kembali ke sakramen tobat yang menjadi harta rohani di dalam Gereja Katolik. Tuhan Yesus sendiri menetapkan sakramen tobat ketika Ia memperlihatkan dirin-Nya kepada Para Rasul pada hari Paskah. Ia berkata: “Terimalah Roh Kudus ini. Jika kamu mengampuni dosa orang, maka dosanya diampuni. Jika kamu mengatakan dosa orang tetap ada, maka dosanya tetap ada” (Yoh 20: 22a-23). Ini adalah kuasa yang Tuhan berikan kepada para rasul dan pengganti-penggantinya hingga saat ini di dalam Gereja Katolik.
Maka pertobatan sejati dapat kita lakukan dengan mendekatkan diri kita pada sakramen tobat ini. Kita butuh pemeriksaan bathin yang baik dan benar. Pedoman kita adalah sepuluh perintah Allah, lima perintah Gereja, sakramen-sakramen, kebajikan-kebajikan, sabda bahagia, panggilan hidup dan lain sebagainya. Kalau saja kita tidak setia melakukannya maka kita mengakuinya dengan jujur di hadapan Bapak Pengakuan. Pada akhirnya kita menyesal dan menerima absolusi. Pastor sebagai pelayan Tuhan akan berdoa sambil memberkati kita: “Allah Bapa yang Mahamurah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya, dalam wafat dan kebangkitan Putra-Nya. Ia telah mencurahkan Roh Kudus demi pengampunan dosa. Dan berkat pelayanan Gereja, Ia melimpahkan pengampunan dan damai kepada orang yang bertobat. Maka, saya melepaskan saudara dari dosa-dosa saudara. Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.”
Mari kita menghidupkan kembali sakramen Tobat sebagai jalan untuk mengalami pertobatan sejati. Hidup kita semakin kristiani ketika kita berusaha menghancurkan perasaan ‘tidak memiliki dosa’ dengan sebuah pertobatan yang terus menerus, sebagai cara kita untuk mengalami Allah Yang Maharahim. Selamat memulai masa tobat.