Kebohongan publik sedang meraja
“Saat-saat penuh kebohongan”, demikian ungkapan seorang pemuda ketika mengomentari berbagai berita di berbagai koran cetak, online dan media-media sosial. Dia merasa muak membaca berbagai berita, apalagi yang berkaitan dengan panasnya suhu politik di tanah air. Salah satunya misalnya kisah tentang para pendukung paslon presiden 02 yang keracunan kue. Konon bermula dari orang yang tak dikenal memberikan ‘mereka’ kue yang dikemas dalam koper warna merah. Kue tersebut pun kemudian disantap, lalu mereka keracunan. Para korban koper merah ini dirawat di RSCM dan dijenguk Titiek Soeharto.
Memang aneh tapi nyata kalau kita membaca berita ini dan coba memahaminya. Kita pakai saja common sense saja. Para pendemo sedang berpuasa, masa mereka begitu ceroboh untuk batal puasa. Para pendemo menerima kue dari kopor merah dari orang yang tidak dikenal. Apa benar kuenya disimpan di dalam kopor merah. Apa benar orang yang membawa kue tidak dikenal tetapi para pendemo mau menerima kopor, membukanya dan mengambil kue-kue untuk dimakan. Apakah benar jam besuk di RSCM sampai dini hari? Hal-hal seperti ini mengantar kita kepada sebuah perkataan: “Kebohongan publik itu sedang meraja”. Aneh tapi nyata ketika melakukan kebohongan publik.
Baltasar Garcian (1601-1658) adalah seorang Filsuf berkebangsaan Spanyol. Ia pernah berkata: “Una sola mentira destruye toda una reputación de integridad” (Satu kebohongan menghancurkan seluruh reputasi dalam integritas). Saya sepakat dengan perkataan Baltasar Garcian. Apa yang dikatakannya sedang terjadi di negeri ini. Kebohongan publik dari para elit yang besar dan kecil sedang menghancurkan seluruh reputasi dan integritas mereka. Ketika seorang public figure berbohong maka reputasi dan integritasnya hancur. Orang akan kehilangan rasa simpatik dan kepercayaan.
Michael Jackson pernah berkata: “Kebohongan sanggup berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari maraton. Namun di pengadilan, kebenaran itu akan memenangkan maraton.” Kebohongan memang sangat cepat tersebar kemana-mana. Pada zaman digital ini, hanya dalam hitungan detik orang dapat mengakses beritanya di seluruh dunia. Berita bohong dan berita faktual tersebar begitu cepat. Kita juga mengingat rekam jejak digital seseorang. Kadang-kadang orang dapat ditelanjangi oleh rekam jejak digitalnya sendiri. Kita masih mengingat dokter saraf Ani Hasibuan yang numpang tenar selama seminggu terakhir ini. Dalam waktu singkat orang mengetahui rekan jejak digitalnya bahwa dia adalah pendukung paslon 02. Akibatnya ia dibully, dicaci maki oleh nitizen. Semua ini menunjukkan betapa bengis dan kejamnya rekam jejak digital saat ini.
Melakukan kebohongan publik itu sebuah dosa dan sangat memalukan. Presiden Soekarno pernah berkata: “Tuhan menciptakan bangsa untuk maju melawan kebohongan elit atas, hanya bangsanya sendiri yang mampu merubah nasib negerinya sendiri.” Para elit yang berbohong akan perlahan-lahan terkubur oleh kebohongannya sendiri. Dia kehilangan harga diri, reputasi, kepercayaan, integritas dan lain sebagainya. Sebab itu mawas diri kiranya menjadi kata yang tepat bagi kita semua untuk menjaga diri kita masing-masing.
Prinsip yang paling penting adalah kejujuran. Pertanyaan sederhana dan bermakna bagi kita semua adalah apakah kita jujur dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan Tuhan? Adalah William Faulkner (1897-1962), seorang penulis dan peraih nobel Sastra pernah berkata: “Jangan pernah takut untuk mengangkat suara Anda untuk kejujuran dan kebenaran serta kasih sayang melawan ketidakadilan, kebohongan dan keserakahan.” Mari kita belajar untuk terus menerus bersikap jujur dan menghindari kebiasaan berbohong atau berlaku tidak jujur kepada diri sendiri, sesama manusia dan Tuhan.
PJ-SDB