Tentang Aku dan Dia
Saya pernah mendengar sebuah sharing yang indah dari seorang anak tentang kedua orang tuanya pada saat rekoleksi sekolah. Dari banyak hal yang indah dalam pengalaman pribadinya, ada satu hal yang tetap diingatnya yakni ayah dan ibunya selalu memanggilnya dengan nama panggilan pemberian mereka saat dibaptis. Nama panggilannya adalah Dion maka nama yang sama tetap didengarnya dari mulut kedua orang tuanya. Ia merasa benar-benar dikasihi oleh kedua orang tuanya karena namanya selalu disapa dan ia juga merasa yakin bahwa namanya selalu disebut dalam doa-doa kedua orang tuanya. Saya memperhatikan wajah semua anak yang hadir dalam rekoleksi sekolah. Ada anak yang ceriah wajahnya karena mungkin mereka memiliki pengalaman yang sama, ada yang wajahnya sedih karena mungkin jarang nama mereka disebut. Saya merasa yakin bahwa ketika nama kita disapa maka hati kita senang dan merasa benar-benar dikasihi oleh orang di luar diri kita.
Dari pengalaman kebersamaan dengan anak-anak dalam rekoleksi bersama ini, saya mengingat Tuhan Allah kita. Dalam Kitab nabi Yesaya Tuhan berkata: “Aku memanggil engkau dengan namamu” (Yes 45:4). Setiap kali membaca dan mengingat perkataan ini saya selalu merasa dekat dengan Dia, merasa dikasihi apa adanya. Alasan mendasar mengapa saya berperasaan demikian karena Dia selalu memanggil dengan namaku sendiri. Namaku mencerminkan hidupku di hadirat-Nya. Hidupku semakin berarti dan saya merasa semakin bebas dalam mengasihi dan mengikuti Tuhan.
Dia menyapa aku dalam kasih
Tuhan selalu memanggil dengan nama sendiri tanpa perlu simbol-simbol seperti ‘hei, anda, dikau, kau’ dan sapaan lainnya. Ia selalu memanggil dengan nama karena dalam nama itu ada nama Tuhan sebagai meterainya. Ada banyak contoh di dalam Kitab Suci di mana Tuhan memanggil dengan nama atau dengan sapaan yang jelas bukan nama samara. Misalnya: ‘Tuhan Allah memanggil manusia (Adam) itu…’ (Kej 3:9). Di sini Tuhan memanggil Adam dengan namanya sendiri sebagai manusia pertama. Abram mendapat panggilan Tuhan untuk pergi dari negerinya (Kej 12:1). Tuhan memanggil Musa dengan namanya sendiri: ‘Musa, Musa!’ (Kel 3:4). Ini adalah beberapa contoh Tuhan mengasihi manusia dengan memanggil nama pribadi. Dari situ manusia merasa benar-benar di kasihi oleh Tuhan.
Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Tuhan Yesus memanggil para murid dengan namanya sendiri. Kita membaca dalam Injil Matius nama kedua belas rasul yakni: “Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, dan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius pemungut cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia.” (Mat 10:2-4). Saya merasa yakin bahwa Tuhan Yesus pasti memanggil para rasul-Nya dengan nama mereka sendiri. Dan mereka pasti merasa bahagia karena dikasihi Yesus. Tuhan Yesus juga memanggil Saulus dengan namanya sendiri dalam perjalanan ke Damaskus (Kis 9:4).
Semua contoh dari Kitab Suci ini menandakan sebuah relasi kasih yang mendalam antara Tuhan yang memanggil dan manusia yang menjawabi panggilan Tuhan. Tuhan memanggil manusia dengan namanya sendiri dan manusia menjawabi panggilan Tuhan ini. Betapa bahagianya kita saat ini memiliki nama baptis karena dari nama baptis itu ada nama Tuhan di dalamnya. Nama baptis menunjukkan relasi kasih ‘Aku dan Dia’ secara pribadi. Kasih Tuhan sangat bersifat pribadi bagi diri saya sendiri. Itu sebabnya Ia juga memanggil dengan nama sendiri.
Aku menyapa Dia dalam doa
Tuhan telah menyapa kita dengan nama kita sendiri. Ia juga menyapa kita melalui Sabda-Nya yang kita dengar, renungkan dan lakukan bersama. Bagaimana dengan jawaban kita akan panggilan Tuhan yang penuh kasih itu? Di pihak kita, kita berusaha menjawabnya dalam doa-doa yang kita panjatkan secara pribadi dan bersama-sama dalam komunitas. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa doa berarti mengarahkan hati kepada Allah. Ketika seseorang berdoa maka ia benar-benar masuk dalam hubungan yang hidup dengan Tuhan Allah (KGK, 2558-2565). Doa itu laksana pintu gerbang untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Seseorang yang berdoa akan membangun relasi dengan Dia yang rasanya jauh (transenden) tetapi sebenarnya dekat (imanen).
Aku dan Dia berelasi dan menyatu dalam doa. Aku menyapa-Nya, membangun komunikasi dengan-Nya dalam doa-doa pribadi, dan doa bersama dalam komunitas. Relasi kasih ini berlanjut dari dahulu hingga sekarang dan aku merasa begitu dekat dengan-Nya. Ketika membangun relasi dengan-Nya aku merasa benar-benar dikasihi oleh-Nya. Semua rahmat mengalir ke dalam diriku dan aku hanya bisa bersyukur karena Dia begitu baik dan tetap baik denganku. Inilah relasi kasih Aku dan Dia dalam doa.
Relasi kasih ini sebenarnya sederhana. Banyak kali orang berpikir bahwa berdoa itu sulit karena butuh rangkaian kata-kata yang indah. Sebenarnya tidak seperti ini. St. Theresia Lisieux (1873-1897) membagi pengalaman doanya seperti ini: “Bagiku, doa adalah ayunan hati, suatu pandangan sederhana ke surga, seruan syukur dan cinta kasih, baik di tengah percobaan maupun kegembiraan”. Semakin doa itu sederhana kita semakin bersatu dengan Tuhan.
Para Bapa Gereja mengajarkan bagaimana membangun relasi kasih dengan Tuhan dalam Doa. Pertama kita berdoa kepada Tuhan. Ini banyak dialami oleh orang-orang yang baru belajar berdoa. Tuhan masih begitu jauh sehingga berdoa ‘kepada’ Tuhan. Kita harus naik ke tingkat kedua yaitu berdoa bersama Tuhan. Tuhan Yesus mengajar para murid-Nya doa Bapa Kami, dan mereka berdoa bersama-sama. Ketiga, dari berdoa bersama Tuhan kita berusaha untuk naik ke level ketiga yaitu doa adalah kasih. Diri kita melebur dalam kasih Tuhan karena Dia adalah kasih. Inilah yang dialami para kudus sebagaimana dikatakan St. Theresia Lisieux. Saya mengingat Filsuf Kierkegaard yang pernah berkata: “Berdoa bukan berarti mendengarkan apa yang engkau ucapkan sendiri; berdoa berarti mengheningkan diri dan menunggu sampai engkau mendengar Allah berbicara.” Dia berbicara karena kasih, dan mengasihi kita.
Aku dan Dia sama tetapi beda
Aku dan Dia memang berelasi tetapi aku menemukan kesamaan dan perbedaan. Ada beberapa hal yang saya renungkan selama berelasi dengan Dia:
Pertama, Dia itu penuh perhatian. Tuhan Yesus selalu tergerak oleh belas kasih kepada manusia yang membutuhkan tangan kasih-Nya (Mat 8:5-7). Saya, anda dan kita hanya memiliki sedikit belas kasih kepada sesama yang membutuhkan, meskipun kita memiliki perhatian kepada sesama. Kedua, Dia hidup miskin dan sederhana. Tuhan Yesus meskipun anak Allah namun Ia rela menjadi miskin dan sederhana. Kita memilih untuk mencari harta kekayaan hingga lupa Dia sebagai pemilik kekayaan yang sebenarnya. Kita malu untuk menjadi miskin dan sederhana meskipun banyak kali mendengar seruan untuk hidup miskin dan sederhana.
Ketiga, Dia memang kaya raya tetapi tidak tamak. Seluruh ciptaan adalah miliknya namun Ia tidak tamak. Hanya kita yang suka menjadi pribadi tamak sehingga tidak malu untuk mencuri, melakukan korupsi. Keempat, Dia berani dan tegas. Banyak kali Ia berkata: “Jangan takut!” (Yes 41:10). Kita hidup dalam ketakutan. Takut untuk bersaksi bahwa kita adalah anak Tuhan, takut berderma karena bisa miskin. Kelima, Dia tidak mencari popularitas. Ia melakukan banyak mukjizat karena kasih bukan popularitas. Kita mencari popularitas dan mau lebih lama di zona nyaman.
Masih banyak hal yang Tuhan tunjukkan kepada kita seperti Tuhan itu tahan godaan sementara kita mudah tergoda, Tuhan selalu puas dan bersyukur sementara kita tidak mudah puas dan jarang bersyukur, Tuhan itu dapat mengampuni tetapi kita yang mengikuti-Nya sulit untuk mengampuni, Tuhan itu lemah lembut dan rendah hati tetapi kita bersifat keras hati, mudah menuntut balas. Tuhan itu sabar, siap menderita dan tulus hati sedangkan kita tidak sabar dengan diri dan sesama, takut menderita dan tidak jujur. Memang ada banyak hal yang sama secara manusiawi namun sangat berbeda dengan Dia.
Akhirnya…
Sebenarnya dalam berelasi dengan Dia, aku merasa malu karena aku tidak layak di hadirat-Nya. Namun saya tetap percaya bahwa perkataan-Nya akan mengubah hidupku menjadi baru. Aku dan Dia memang sama namun beda, tetap bersatu dalam doa. Terima kasih Tuhanku.
P. John Laba, SDB