Meniti Jembatan Emas
Saya mengisi pagi hariku kemarin dengan mengikuti upacara Bendera untuk memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-74 di KBRI Dili Timor Leste. Sya menyaksikan dari dekat masyarakat Indonesia di Timor Leste yang masih begitu antusias mengikuti upacara Bendera untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Lagu-lagu kebangsaan seperti Hari Merdeka gubahan H. Mutahar, Indonesia Pusaka gubahan Ismail Marzuki, Halo-halo Bandung yang juga merupakan gubahan Ismail Marzuki dinyanyikan dengan meriah oleh paguyuban Kawanua dan diikuti oleh masyarakat Indo yang masih mengingatknya dengan baik di tanah rantau. Usai upacara bendera semua hadirin dijamu oleh Bapak Dubes di KBRI Dili. Ini adalah pengalamana indah setelah mengikuti pemilu di bulan April silam, di mana masyarakat Indonesia juga antusias, kelihatan benar-benar berbhineka tunggal ika, merasa sebagai saudara meskipun berasal dari berbagai suku yang berbeda.
Pengalaman merayakan kemerdekaan di luar negeri mengingatkan saya pada pesan Bung Karno ini: “Kemerdekaan adalah jembatan emas, jembatan inilah yang leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.” Kemerdekaan sebagai jembatan emas memang begitu berharga, diusahakan dengan menumpahkan darah dan keringat hingga mencapainya dengan gemilang. Kemerdekaan bukan diberikan karena belas kasih tetapi dengan sebuah perjuangan hingga tuntas. Sebab itu masyarakat yang berbeda harusnya gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi. Saya merasa bahwa perkataan Bung Karno ini tersimpan dalam benak setiap anak bangsa. Memiliki bangsa dan negara Indonesia yang merdeka berarti meniti jembatan emas yang menata bangsa Indonesia yang adil dan Makmur.
Namun peringatan kemerdekaan dinodai oleh berita-berita viral yang mencoreng jembatan emas di negeri tercinta. Corengan jembatan emas yang menyakiti anak bangsa lain yang menunjukkan bahwa perjuangan selama 74 tahun untuk mengisi kemerdekaan belum cukup. Dari kehidupan beragama, ceramah Ustad Abdul Somad benar-benar menunjukkan betapa dangkalnya hati nurani, cara pikir dan sensibilitasnya sebagai pemuka agama. Somad lupa bahwa masih banyak orang yang mempelajari dan memahami ilmu perbandingan agama, sejarah agama-agama dan hal lain yang berhubungan dengan agama apapun di dunia ini. Ini adalah sebuah kebodohan yang belum memerdekakan banyak orang. Ini merupakan sebuah model radikalisme yang bukan lagi terselubung tetapi secara terang benderang. Hal lain adalah para politikus sebenarnya belum melewati jembatan emas karena mereka masih berlomba-lomba mencari kursi empuk dan melupakan rakyat. Mereka lupa bahwa profesi dan tugas utama mereka adalah hamba dari para hamba bagi rakyatnya. Sungguh sebuah dagelan zaman now.
Terlepas dari suasana yang mencoreng jembatan emas kita, saya tetap memiliki rasa hormat yang mendalam kepada para pahlawan bangsa yang sangat toleran dan benar-benar hidup sebagai orang merdeka. Saya ingat Jenderal Soedirman. Ia pernah berkata: “Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan satu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapa pun juga.” Dalam tahun politik banyak orang berkoar-koar tentang ekonomi, setelah penetapan presiden dan wakil presiden orang mengalihkan suasana ke issue pindahnya ibu kota negara Republik Indonesia karena alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan sosok presiden dan wakil presiden sekarang ini. Anehnya mereka adalah orang-orang legislatif yang tahu persis alasan mengapa Ibu kota Republik Indonesia hendak dipindahkan ke daerah lain di Indonesia. Satu kata saja: “Indonesia tidak akan lenyap”.
Saya mengakhiri pemikiran ini dengan mengutip Nelson Mandela. Beliau berbicara berdasarkan pengalamannhya di Afrika Selatan, yakni: “Tak ada jalan mudah untuk mencapai kemerdekaan di mana pun. Banyak dari kita berkali-kali harus melewati lembah dengan bayangan kematian sebelum mencapai puncak cita-cita kita itu.” Bangsa kita juga sudah sedang melewati jalan menuju kemerdekaan atau melewati jembatan emas yang sama. Benar kata Ismail Marzuki dalam lagu Indonesia Pusaka: “Sungguh indah tanah air beta. Tiada bandingnya di dunia. Karya indah Tuhan Maha Kuasa, bagi bangsa yang memujanya.” Dirgahayu Republik Indonesia ke-74.
PJ-SDB