Aku berubah…
Pagi ini, seorang sahabat membroadcast sebuah lirik lagu rohani yang pernah popular tempo doeleo: “Aku berubah, sungguhku berubah waktu ku s’rahkan hatiku. Aku berubah, sungguhku berubah waktu ku s’rahkan semua. Yang ku kasihi kini lenyap, yang lebih baik aku dapat. Aku berubah, sungguh ku berubah waktu ku s’rahkan semua.” Saya menduga mungkin dia mau menyatakan dirinya sebagai sosok yang berubah di hadapan Tuhan dan sesama. Mungkin dia hendak menggambarkan alur pertobatan pribadinya. Bertobat dapat bermakna berubah menjadi lebih baik lagi dari hidup yang sekarang ini. Perubahan itu sebuah proses. Perubahan itu pertama-tama berasal dari dalam diri kita bukan dari luar diri kita. Sebab itu kalau mau mengubah orang lain maka ubahlah dirimu lebih dahulu, dan dirimu yang berubah itu dengan sendirinya akan mengubah diri orang lain.
Kita membahasakan proses perubahan atau metanoia dengan bertobat secara radikal. Orang berjuang untuk berbalik jalan yang benar, kembali kepada Tuhan. Saya tertarik dengan sebuah ekspresi dalam Katekismus Gereja Katolik seperti ini: “Jalan metanoia dan pertobatan dilukiskan Yesus secara sangat mengesankan dalam perumpamaan mengenai “anak yang hilang”, yang pusatnya adalah “Bapa yang berbelaskasihan” (Luk 15:11-24): godaan untuk mengenyam kebebasan semu, meninggalkan rumah Bapa; kemelaratan lahiriah yang menjerat sang putera, setelah ia memboroskan segala milik kepunyaannya; penghinaan yang mendalam, karena harus menggembalakan babi dan, lebih buruk lagi, kerinduan agar memuaskan diri dengan makanan babi; renungan akan harta benda yang telah hilang; penyesalan dan keputusan mengaku diri bersalah di depan Bapa; jalan kembali; penerimaan yang penuh murah hati oleh Bapa; kegembiraan Bapa: semuanya itu adalah ciri-ciri proses pertobatan. Pakaian yang indah, cincin, dan perjamuan pesta adalah lambang kehidupan baru yang murni, layak, dan penuh kegembiraan, kehidupan seorang manusia yang kembali kepada Allah dan ke dalam pangkuan keluarganya, Gereja. Hanya hati Kristus, yang mengenal kedalaman cinta Bapa-Nya, dapat menggambarkan bagi kita jurang belas kasihan-Nya atas suatu cara yang begitu sederhana dan indah.” (KGK, 1439).
Kita semua adalah orang berdosa dan mau berubah menjadi lebih baik dalam hidup ini. Kita berjuang untuk masuk melalui pintu yang sempit sehingga mampu memperoleh keselamatan. Kita siap untuk menderita. Aneka penderitaan dan kemalangan itu menjadi berkat bagi kita bukan kutukan dari Tuhan. Pertobatan akan memurnikan misi kita untuk mewartakan Injil dan menunjukkan wajah kerahiman Allah bagi semua orang. Mari berubah!
P. John Laba, SDB