Aku mau berhati bijaksana
Adalah Democritus (460-380 SM). Beliau dikenal sebagai seorang ahli Filsafat berkebangsaan Yunani, dan pernah berkata: “Orang yang bijaksana adalah mereka yang tidak berduka cita akan hal-hal yang ia tidak miliki dan merasa bahagia dengan apa yang telah ia miliki.” Saya tertarik untuk mengingat dan merenung kembali perkataan ini karena memiliki nilai edukasi yang tinggi. Orang bijaksana tidak akan merasa sedih karena tidak memiliki apa-apa. Ia tidak akan membandingkan dirinya dengan diri orang lain, terutama apa yang sedang ia miliki saat ini. Orang bijaksana justru merasa bahagia dengan apa yang dia miliki.
Perkataan Democritus sering bertolak belakang dengan kehidupan kita. Kecenderungan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain selalu ada. Seorang anak yang masih kecil masih senang dipeluk dan dicium orang tuanya. Ketika memasuki usia remaja dia tidak mau dipeluk dan dicium lagi oleh orang tuanya. Mengapa? Salah satu alasannya adalah ia mulai membandingkan kedua orang tuanya dengan orang tua temannya atau orang lain. Ada orang yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah sedang ia miliki sebab itu ia menjadi avarice. Ia senang mengoleksi barang di kamar tanpa pernah dipergunakannya. Mestinya orang merasa bahagia akan apa yang sudah sedang dimilikinya.
Insipirator kita hari ini adalah Salomo. Sosok ini mendapat tawaran dari Tuhan untuk bebas meminta apa saja yang dia mau dan sukai. Salomo ternyata memilih yang paling tepat, bukan yang disukainya melainkan yang dibutuhkannya untuk melayani bangsa Israel. Ia membutuhkan hati yang bijaksana. Salomo berkata kepada Tuhan: “Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat.” (1Raj 3:9). Tuhan mendengar dan mengabulkan permohonan Salomo dengan berkata: “Sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau.” (1Raj 3:12).
Pada zaman ini sangatlah sulit menemukan sosok Salomo. Orang akan meminta kepada Tuhan apa yang disukainya yaitu harta dan kuasa juga usia panjang untuk menikmati harta dan kuasa. Orang lebih berfokus pada harta dan kuasa bukan kepada Tuhan yang memberikan harta dan kuasa kepada manusia. Pada zaman ini orang sulit untuk sign out dari handphonenya ketika makan bersama. Inia da quality time dalam keluarga tetapi orang selalu lalai. Kebiasaan ini bukan hanya di dalam keluarga tetapi sudah menembusi tembok biara dan pastoran. Selama perayaan misa ada romo yang masih sempat melihat handphone dan membaca WA serta chating atau menerima telp selama misa. Kalau penghuni altar saja begini bagaimana dengan yang duduk menghadap ke altar? Seandainya Salomo masih ada di sini pasti dia meminta kita untuk mengubah kiblat hati kita supaya focus pada Tuhan bukan menjadi pribadi yang terkontaminasi virus ‘phubbing’.
Pada hari ini kita memohon kepada Tuhan supaya memiliki hati yang bijaksana. Kebijaksanaan adalah anugerah Tuhan bagi kita. Mintalah maka Ia akan menganugerahkan kepadamu secara gratis. Dengan demikian relasi kita dengan Tuhan dan sesama akan berubah.
Tuhan memberkati kita semua,
P. John Laba, SDB