Berjalan Bersama Merajut Kebersamaan
Saya memiliki sebuah kebiasaan berjalan sore hari di tepi pantai. Bagi saya ini adalah sejenis olah raga yang murah meriah namun memberikan keuntungan yang banyak kepada saya. Misalnya, ketika berjalan di atas pasir memang membutuhkan energi yang besar sehingga kita mudah berkeringat, ada kesempatan untuk menikmati keindahan alam di pantai, mengambil gambar-gambar pemandangan, apalagi menjelang terbenamnya sang surya ke peraduannya. Kata yang selalu keluar dari mulut: “Betapa indahnya pemandangan di tepi pantai!” Sambil berjalan di atas pasir laut, saya memperhatikan sebuah relasi persahabatan antara pasir dan air laut. Dan saya berani mengatakan bahwa relasi persahabatan antar pribadi itu seumpama laut dan pasir. Keduanya senantiasa bersama-sama menghadapi pecahan ombak, bersama-sama merasakan lelehan senja, dan saling melengkapi dari masa ke masa. Persahabatan pasir dan laut tidak akan berakhir.
Dari relasi pasir dan laut saya belajar tentang makna kebersamaan dalam sebuah persahabatan. Meskipun ombak besar membelah onggokan-onggokan pasir di tepi pantai tetapi keduanya tetap bersama-sama karena mereka bersahabat. Pasir dan laut tidak saling mempersalahkan satu sama lain sebab mereka selamanya sahabat. Pikiran saya lalu beralih dari relasi persahabatan antara pasir dan air laut menuju ke relasi antar pribadi manusia. Hanya manusia yang mengerti apa artinya berjalan bersama demi merajut kebersamaan. Hanya manusia yang dapat melakukannya karena setiap pribadi memang membutuhkan pribadi yang lain. Itulah sikap utama manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa merajut kebersamaan dalam sebuah persahabatan. Ada perbedaan-perbedaan tertentu sebagai individu itu wajar tetapi persahabatan tidak akan memisahakan sebuah kebersamaan.
Memandang Komunitas Yesus
Pada malam perjamuan terakhir, para murid Yesus merasa kaget karena Yesus menyapa mereka sahabat bukan hamba. Mereka telah berjalan bersama dan merajut kebersamaan selama tiga tahun. Sapaan yang sudah lumrah di bibir mereka kepada Yesus adalah ‘Guru’ tetapi pada malam perjamuan terakhir sapaan itu berubah menjadi sahabat. Yesus yang mengubah relasi mereka, dalam hal ini Yesus menjadi sahabat para murid-Nya, sebaliknya para murid juga menjadi sahabat-sahabat Yesus. Ini adalah sebuah relasi baru yang begitu indah. Lebih jelas perhatikan kutipan perkataan Yesus berikut ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15:13-15).
Bagaimana para murid dapat menjadi sahabat Yesus? Ada nilai-nilai luhur yang Yesus ungkapkan dalam perkataan-Nya ini. Persahabatan itu menjadi kuat karena ada pengurbanan diri pribadi sebagai sahabat. Tanpa ada pengurbanan diri maka persahabatan tidak memiliki nilai dan makna. Yesus menjadi sahabat dengan mengurbankan diri-Nya bagi para murid-Nya. Persahabatan menjadi sebuah rajutan kebersamaan kalau ada kepatuhan. Yesus meminta para murid-Nya supaya melakukan perintah kasih di dalam hidup mereka. Persahabatan menjadi kuat dan dapat merajut kebersamaan karena dibangun di atas dasar cinta kasih. Maka di sini kita menemukan pijakan-pijakan kebersamaan dalam persahabatan yakni pengurbanan diri dan cinta kasih.
Komunitas Yesus tetaplah menjadi model kebersamaan bagi komunitas manusia. St. Lukas dengan tepat melukiskan kehidupan pribadi Yesus yang selalu berjalan keliling dan berbuat baik (Kis 10:38). Di tempat lain Yesus berkata: “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang.” (Mrk 1:38). Yesus tidak pernah berjalan sendiri tetapi selalu bersama dengan para murid-Nya. Bahkan ada tiga murid inti yang selalu bersama-sama dengan Yesus dalam peristiwa-peristiwa penting, mereka adalah Simon Petrus, Yakobus dan Yohanes. Kita mengingat ketika Ia menampakkan kemuliaan-Nya di gunung Tabor, dalam peristiwa Yesus membangkitkan anak perempuan Yairus dan di Taman Getzemani, selalu bersama ketiga murid ini. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Yesus selalu bersama-sama dengan para murid yang disapa sebagai sahabat-sahabat-Nya.
Pengalaman komunitas Yesus ini nantinya berkelanjutan dari zaman Gereja perdana hingga saat ini dengan semboyan ‘Cor unum et anima una’ atau sehati dan sejiwa. Santu Lukas bersaksi: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32). Gereja saat ini tetap berpegang teguh pada semangat ini, dengan tekun membangun kebersamaan sebagai satu umat Allah. Gereja mengusahakan pemberdayaan terhadap kaum miskin sehingga mereka juga memiliki martabat sebagai manusia dan anak-anak Allah. Para gembala haruslah berbau domba dengan hadir dan memperjuangkan harkat hidup para domba gembalaannya. Inilah keindahan Gereja yang berjalan bersama demi merajut kebersamaan.
Kebersamaan dalam keluarga
Sebuah keluarga katolik dibangun di atas dasar kasih. Semua orang mengetahui dan mengakuinya. Sang pria yang menjadi suami dan wanita yang menjadi istri mulai merajut kebersamaan berawal dari perasaan kesepadanan atau kecocokan. Sebelum menikah mereka pasti memiliki antrian tersendiri. Namun kata ‘cocok’ dan ‘tidak cocok’ menjadi kata yang sifatnya menyeleksi hingga mengerucut pada dua pribadi yang sepakat untuk menjadi suami dan istri. Dari kesepadanan atau kecocokan ini maka suami dan istri yang ‘berbeda’ dalam banyak hal mulai berjalan bersama. Dalam berjalan bersama dan merajut kebersamaan ini ternyata tidaklah mudah. Ada saja perbedaan yang kalau tidak dapat diolah dengan baik dapat menjadi ancaman bagi kebersamaan sebagai suami dan istri. Sebab itu satu hal penting yang patut diingat adalah jangan pernah berhenti pada masalah sepeleh dalam merajut kebersamaan, berusahalah untuk sadar diri bahwa setiap masalah adalah kesempatan untuk bertumbuh menjadi lebih baik lagi dalam hidup berkeluarga.
Saya mengingat St. Theresia dari Kalkuta. Pada suatu kesempatan ia berkata kepada keluarga-keluarga tentang bagaimana merajuit kebersamaan sebagai keluarga: “Senyum satu sama lain, senyum pada istri anda, senyum pada suami anda, tersenyum pada anak-anak anda, tidak peduli siapa dia, ini akan membantu anda untuk tumbuh dalam kasih yang lebih besar satu sama lain.” Hanya dengan kata ‘senyum’, Santa Theresia dari Kalkuta mau meneguhkan persekutuan dan kebersamaan di dalam sebuah keluarga. Mungkin pada masa kini, ‘senyum’ semakin mahal dan mudah diabaikan.
Keluarga juga mengalami kesulitan dalam merajut kebersamaan. Hal terpenting adalah sikap mawas diri. Saya mengingat Paulo Coelho dalam bukunya sang Alkemis menulis: “Kalau kita bergaul dengan orang-orang yang sama setiap hari, pada akhirnya kita menjadi bagian dari hidup orang itu. Lalu kita ingin orang itu berubah. Kalau orang itu tidak seperti yang dikehendaki orang-orang lain maka orang-orang lain itu menjadi marah. Orang tampaknya selalu merasa lebih tahu, bagaimana orang lain seharusnya menjalani hidup, tapi mereka tidak tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup sendiri.”
Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan bahwa dalam merajut kebersamaan di dalam berumah tangga itu seperti sepatu. Ada lima hal yang dapat kita pelajari dari filosofi sepatu berikut ini: Pertama, kakimu bisa saja lecet saat menggunakan sepatu, tapi bukan berarti anda langsung membuangnya. Kedua, sepatu memang bentuknya tak sama, namun mereka diciptakan untuk bersama. Ketiga, sepasang sepatu itu selalu sederajat, tak pernah ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Keempat, saat sepatu berjalan, mereka tak kompak tapi tujuannya sama. Kelima, bila satu sepatu hilang, maka yang lainnya sudah tidak memiliki arti. Mari kita belajar dari pasir dan laut yang selalu bertahan dalam persahabatan mereka. Mari menjadi sepatu dalam merajut kebersamaan.
P. John Laba, SDB