Homili Hari Minggu Biasa ke-XV/A – 2020

Hari Minggu Biasa ke-XV/A
Yes. 55:10-11
Mzm. 65:10abcd,10e-11,12-13,14
Rm. 8:18-23
Mat. 13:1-23

Belajar dari sang Penabur

Pada hari ini kita memasuki hari Minggu Biasa ke-XV/A. Perayaan Ekaristi hari ini diawali dengan sebuah Antifon Pembuka yang inspiratif berikut ini: “Dalam kebenaran, aku mau memandang wajah-Mu, dan aku akan puas waktu menyaksikan kemuliaan-Mu.” (Mzm 17:15). Apa saja yang terjadi dalam perayaan Ekaristi? Kita semua mencari Tuhan sepanjang hidup kita. Satu hasrat kita dalah tinggal bersama Tuhan dalam keabadian yang dapat kita alami mulai di dunia ini. Setiap hari Minggu misalnya, merupakan kesempatan emas bagi kita semua untuk mencari Tuhan sang Kebenaran sejati. Kita berusaha untuk memandang wajah Tuhan dalam Ekaristi. Dialah yang tersamar dalam rupa roti dan anggur. Sambil memadang wajah Tuhan dalam Ekaristi, kita akan puas menyaksikan kemuliaan-Nya sendiri. Dalam perayaan Ekaristi, Tuhan memuaskan kita melalui Sabda yang kita dengar, renungkan dan diwartakan di dalam hidup. Kita juga menerima Tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi. Sabda dan daging menyatu dalam perayaan Ekaristi kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu Biasa ke-XV ini akan membantu kita untuk merenung lebih mendalam tentang spiritualitas sang Penabur dan kita berusaha untuk belajar dari pada-Nya. Sebagaimana dikisahkan oleh Penginjil Matius bahwa Sang Penabur tanpa nama ini keluar dari rumahnya untuk menabur benih gandum sesuai kehendaknya. Ia menggengam benih gandum yang sudah disiapkan dan menabur dengan bebas di tempat yang dia kehendaki. Dengan demikian ada benih gandum yang jatuh di pinggir jalan dan langsung dimakan burung-burung sampai habis. Ada benih yang jatuh di atas batu, dapat bertumbuh tetapi hanya bertahan dalam waktu singkat saja karena tidak ada tanahnya. Ada benih yang jatuh di antara semak berduri, dapat bertumbuh tetapi tidak berkembang dan mati karena dihimpit semak duri itu. Ada benih yang jatuh di tanah yang baik dan berbuah seratus, enam puluh dan tiga puluh kali lipat. Perumpamaan ini memang sangat kontekstual karena diberikan Yesus di Galilea, sebuah daerah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.

Tuhan Yesus mengetahui ketidakmampuan para murid-Nya untuk memahami dengan baik makna perumpamaan-Nya ini, meskipun Yesus sendiri mengatakan bahwa mereka diberi kemampuan untuk mamahami rahasia Kerajaan Surga (Mat 13: 11). Sebab itu Ia menjelaskan makna perumpamaan ini kepada mereka. Sang Penabur adalah Tuhan Yesus sendiri. Dia yang memiliki kehendak untuk berbicara kepada semua orang tanpa memandang siapakah orang itu. Dia tidak memilih dan memilah lawan bicara di hadapan-Nya. Benih adalah Sabda atau setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah. Benih yang jatuh di pinggir jalan itu sama seperti orang yang mendengar sabda tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengerti sehingga dengan mudah iblis merampas dari dalam hatinya. Benih yang jatuh di atas batu itu terjadi pada orang yang senang menerima Sabda tetapi tidak berakar dalam hatinya. Ketika da penindasan dan penganiayaan maka orang itu cepat murtad. Benih yang jatuh di antara semak duri adalah orang yang mendengar sabda namun ia mudah sekali khawatir, tenggelam dalam tipu daya kekayaan sehingga tidak berbuah. Benih yang jatu di tanah yang baik adalah orang yang mendengar Sabda, mengerti denhan baik sehingga berbuah dalam kelimpahan.

Sekarang pikiran kita terarah pada kemampuan kita untuk mendengar, merenung dan melakukan Sabda di dalam hidup kita. Apakah hati kita itu menjadi tempat yang tepat bagi Sabda sehingga dapat menghasilkan buah yang berlimpah? Atau hati kita justru diliputi oleh kuasa kejahatan sehingga tidak ada tempat bagi Sabda, bermental bekicot sehingga tidak bertahan dalam derita dan penuh dengan kekhawatiran karena harta dan hati menyatu. Masing-masing kita boleh memeriksa batin dan mengatakan dengan jujur kepada Tuhan hidup kita yang sebenarnya. Banyak kali orang boleh aktif di gereja dua puluh lima jam tetapi dia bukanlah lahan yang subur bagi Sabda. Dia tidak lebih dari benih di pinggir jalan, di atas batu dan di antara semak duri. Ini namanya iman yang dangkal dan tidak dewasa.

Sabda Tuhan adalah benih yang mampu mengubah hidup kita. Maka hati kita haruslah menjadi lahan yang subur bagi benih Sabda Tuhan. Artinya setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah itu harus memiliki daya transformatif dalam hidup kita. Tepatlah perkataan nabi Yesaya ini: “Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.” (Yes 55:10-11). Dan memang benar perkataan Tuhan melalui nabi Yesaya ini. Sabda itu tidak akan kembali begitu saja. Sabda melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan. Tuhan Yesus sebagai Sabda hidup melakukan kehendak Bapa dengan Penebusan berlimpah.

Bagaimana kita menyikapi Sabda Tuhan di dalam hidup kita?

Saya teringat pada Paus Fransiskus dan perkataan-perkataannya yang selalu menginspirasi. Ia pernah berkata: “Tuhan memberimu firman-Nya, sehingga anda dapat menerimanya seperti surat cinta yang telah ia tulis kepadamu, untuk membantu anda menyadari bahwa Dia berada di pihakmu.” Sangat sepakat dengan Sri Paus, bahwa Sabda Tuhan adalah benih yang ditabur oleh Tuhan sendiri merupakan kata-kata cinta Tuhan bagi kita. Ketika kita membaca Kitab Suci atau mendoakan ibadat harian maka kita mengalami kata-kata kasih, sebuah surat cinta dari Tuhan sendiri. Sri Paus juga mengatakan: “Firman-Nya menghibur dan mendorong kita. Pada saat yang sama itu menantang kita, membebaskan kita dari ikatan keegoisan kita dan memanggil kita untuk bertobat, karena firman-Nya memiliki kekuatan untuk mengubah hidup kita dan untuk menuntun kita keluar dari kegelapan menuju terang.”

Kita harus percaya kepada Tuhan sang Penabur benih Sabda-Nya. Dari Tuhan sendiri kita belajar sebuah spiritualitas yang dijiwai kasih penuh kebebasan. Dia memiliki kehendak bebas untuk berkata-kata dan kata-kata itu memiliki daya transformatif yang luar biasa. Pikirkankanlah dan percayalah bahwa setiap perkataan yang ada di dalam Kitab Suci merupakan sapaan kasih Tuhan bagi kita semua. Sapaan kasih itu harus kita balas dengan kasih bukan dengan yang lain. Maka tugas kita adalah mendengar, merenungkan dan melakukan Sabda. Sabda mengubah hidup kita dan kita mengubah hidup sesama dengan kuasa sabda dalam diri kita yang nampak keluar dalam bentuk keteladanan hidup.

Mari kita belajar dari Tuhan sang Penabur benih Sabda. Kita berjalan dalam lorong-lorong kehidupan sesama untuk untuk menabur kasih dan kebaikan. Biarlah semua orang semakin mencintai Tuhan dan sabda-Nya.

PJ-SDB