Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XX
Peringatan Wajib St. Pius X
Yeh. 37:1-14
Mzm. 107:2-3,4-5,6-7,8-9
Mat. 22:34-40
Kasih hingga keabadian
Pada hari ini kita mengenang kembali St. Pius ke-X. Beliau terlahir dengan nama Giuseppe Melchiorre Sarto, kelahiran Riese, Italia tanggal 2 Juni 1835. Ia berasal dari keluarga yang sederhana namun orang tuanya menghendaki agar mereka memperoleh pendidikan yang baik. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi imam maka ia mulai belajar Filsafat dan Teologi di Seminari Padua dan ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 18 September 1858. Tahun 1884 diangkat menjadi uskup Mantua oleh Paus Leo-XIII. Pada tanggal 12 Juni 1893 diangkat menjadi Kardinal, sekaligus menjadi Patriark di Venezia, Italia. Pada tahun 1903 diangkat menjadi Paus ke-257, menggantikan Paus Leo-XIII dengan nama kepausannya Paus Pius ke-X.
Hidup orang kudus dengan nama sapaan Sarto ini penuh keunikan. Keluarganya sederhana, tetapi sejak kecil kesepuluh bersaudara itu dibentuk dalam suasana keagamaan yang baik. Sebab itu ia memiliki habitus berdoa di depan patung Bunda Maria “Madonna delle Cendrole” di gereja parokinya. Ia mengaku, kenangan terindah masa kecilnya ialah kebersamaan dengan Bunda Maria dalam doa selama berjam-jam. Baginya, Bunda Maria ialah figur teladan penyerahan diri total pada kehendak Allah. Maka ia pun bertekad menyerahkan hidupnya demi kemuliaan Tuhan seperti Bunda Maria. Ia pernah berkata: “Sungguh kita sedang melalui masa-masa yang rawan bencana, ketika kita menjadikan ratapan para nabi milik kita: “Tidak ada kebenaran, dan tidak ada kerahiman, dan tidak ada pengetahuan akan Allah di tanah ini”(Hosea 4:1). Namun di tengah-tengah arus kejahatan ini, Sang Perawan yang Maha Rahim muncul dihadapan kita seperti pelangi, sebagai penengah antara Allah dan manusia.”
Di dalam Gereja Katolik, Paus Pius ke-X dikenal sebagai Paus pembaru bidang liturgi, memberi contoh homili yang ringkas, jelas dan sederhana, menggalakkan lagu Gregorian, serta mendirikan Institut Kepausan untuk Musik Liturgi dan Kitab Suci. Ia juga merevisi Brevir (Ibadat Harian) dan Katekismus Gereja Katolik. Umat dianjurkan untuk bisa menerima komuni dan membaca Kitab Suci setiap hari. Ia merupakan Paus Ekaristi sebab mempromulgasikan Dekrit tentang Penerimaan Komuni Pertama sejak usia 7 tahun yang sebelumnya pada usia 12 tahun. Beliau juga merupakan Paus yang melawan arus modernisme, terutama yang ingin mempertentangkan negara dan Gereja. Ia mereformasi Kuria Roma dan mendorong karya misi yang dilakukan oleh berbagai tarekat. Ia juga mengkodifikasi Hukum Gereja yang sudah ada secara sistematis. Sebuah perkataannya yang selalu dikenang adalah: “Aku lahir miskin; aku pun hidup miskin; dan aku ingin mati sebagai orang miskin.” Ia meninggal dunia pada tanggal 20 Agustus 1914 dan dinyatakan kudus oleh Paus Pius XII (1939-1958) pada tanggal 29 Mei 1954.
Sosok Paus Pius ke-X sangat menginspirasi kita untuk memahami bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini. Dalam bacaan pertama kita semua dikuatkan oleh Tuhan melalui nabi Yehezkiel akan iman dan kepercayaan kita kepada kebangkitan badan dan kehidupan kekal sebagai wujud nyata kasih Allah bagi kita sebagai manusia lemah. Dikisahkan bahwa nabi Yehezkiel dibimbing Tuhan untuk melihat kenyataan di sebuah lembah di mana terdapat banyak tulang belulang yang sudah kering. Tulang belulang yang sudah kering ini dapat dihidupkan kembali oleh Tuhan. Tuhan memberikan nafas-Nya kepada tulang-tulang itu, urat-urat untuk meliliti tulang dan bertumbuh menjadi daging. Daging akan ditutupi oleh kulit dan nafas hidup sehingga tulang-tulang itu benar-benar menjadi makhluk hidup. Ini hanya dapat dilakukan oleh Tuhan sendiri. Siapakah tulang-tulang kering yang kini menjadi makhluk hidup? Tulang-tulang itu adalah seluruh kaum Israel.
Tuhan menunjukkan kasih-Nya kepada mereka melalui nabi Yehezkiel ketika berkata: “Sungguh, Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umat-Ku, dari dalamnya, dan Aku akan membawa kamu ke tanah Israel. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan, pada saat Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umat-Ku, dari dalamnya. Aku akan memberikan Roh-Ku ke dalammu, sehingga kamu hidup kembali dan Aku akan membiarkan kamu tinggal di tanahmu. Dan kamu akan mengetahui bahwa Aku, Tuhan, yang mengatakannya dan membuatnya, demikianlah firman Tuhan.” (Yeh 37:12-14). Tuhan benar-benar menunjukkan kasih setia-Nya yang abadi kepada manusia sehingga memberikan anugerah hidup baru. Hidup lama sudah menjadi serupa dengan tulang-tulang yang sudah kering di lembah maut, tetapi kuasa Tuhan mengubah segala sesuatu. Kasih-Nya memberi hidup abadi. Kasih setia-Nya hingga keabadian.
Apa yang harus kita lakukan?
Kasih itu bukanlah sebuah perkataan tetapi sebuah pengalaman yang nyata. St. Yohanes dalam suratnya mengatakan: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1Yoh 3:18). Tuhan mengasihi manusia dalam perbuatan dan kebenaran sebagaimana dinubuatkan Yehezkiel dalam bacaan pertama ini. Sebagai jawaban kepada kasih Tuhan maka kita juga membalasnya dengan kasih. Dia lebih dahulu mengasihi kita maka kitapun diharapkan untuk mengasihi-Nya sampai tuntas.
Bacaan Injil hari ini menginspirasi kita memahami perintah utama dari Tuhan. Tuhan Yesus ditanya tentang hukum yang terutama dalam hukum Taurat. Yesus menjawabnya dengan tepat: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:37-39). Kasih sejati dari pihak manusia kepada Tuhan dengan total. Kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Hal yang sama juga kita lakukan bagi saudara-saudari kita, mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Tuhan Yesus mengakhirinya dengan mengatakan: “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:40).
Kasih hingga keabadian adalah kasih yang total dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi kepada Tuhan. Dia mengasihi kita lebih dahulu. Dia mengasihi kita dengan setia. Kasih semacam ini kita alami secara pribadi hari demi hari. Maka kita juga perlu melakukan kasih yang sama kepada Tuhan sumber kasih. Tuhan menghendaki agar kita mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita. Kualitas kasih kepada diri kita haruslah sama dengan kasih kepada sesama. Benarlah perkataan Yohanes ini: “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20). St. Pius ke-X, doakanlah kami. Amen.
PJ-SDB