Homili 17 September 2020

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXIV
1Kor 15:1-11
Mzm 118: 1-2.16ab-17. 28
Luk 7:36-50

Sadar diri sebagai pendosa

Apakah Anda pernah merasa diri sebagai orang berdosa? Apakah Anda pernah merasa diri terusik dengan kebiasaanmu untuk jatuh lagi dan mengulangi dosa yang sama? Kalau Anda merasakan seperti ini berarti Anda masih waras dan berakal sehat. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena pada masa ini banyak orang sudah tidak sadar lagi sebagai orang berdosa. Bagi mereka, soal dosa itu ‘barang’ biasa saja. Maka setiapkali mereka melakukan dosa dalam pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian, mereka tidak menyadarinya atau sengaja tidak menyadarinya. Kalau saja mereka tidak menyadarinya maka mereka juga tidak dapat menyesal dan bertobat. Kita semua pasti mengetahui kisah Kain dalam Kitab Suci. Ia sudah terang-terangan melakukan dosa besar yaitu membunuh Abel adiknya. Namun ketika Tuhan bertanya di mana adiknya, ia menjawab: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (Kej 4:9). Ini adalah sikap yang turun temurun ada bersama kita, yakini tidak sadar diri sebagai orang berdosa.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok seorang wanita pendosa yang rendah hati. Penginjil Lukas menyebutnya: “Seorang wanita yang terkenal sebagai orang berdosa di dalam kota itu”. Kita bisa membayangkan bahwa wanita seperti ini pasti dibully, dilabel sebagai wanita murahan, hanya menjadi pemuas nafsu laki-laki sehingga martabatnya pasti sangat direndahkan masyarakat saat itu. Ketika dia mendengar tentang Yesus, ia datang dengan membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi. Ia menangis, berdiri di belakang Yesus dekat kakinya, membasuh kaki Yesus dengan air matanya, menyekanya dengan rambutnya. Ia mencium kaki Yesus dan meminyakinya dengan minyak wangi. Apa yang mau ditunjukkan oleh wanita pendosa yang terkenal di kota itu? Ia adalah wanita yang lebih mulia di hadapan Tuhan dibandingkan dengan orang-orang lain bahkan kita yang membaca dan mendengar Injil ini sebab ia tahu diri, sadar diri dan tidak malu-malu untuk merendahkan dirinya di hadapan Tuhan sebagai orang berdosa. Dia tidak sombong dan bangga sebagai wanita pendosa number one di dalam kota itu tetapi di hadirat Tuhan dia takluk, tunduk, menyesal dan mau bertobat.

Kisah wanita pendosa yang rendah hati ini membuat kita merenung tentang hidup kita sendiri. Sebagaimana saya katakan sebelumnya bahwa semakin dosa orang bertambah maka mudah sekali orang lupa bahwa dirinya adalah orang berdosa, bahkan dosa itu sepertinya biasa-biasa saja. Hilangnya kesadaran diri sebagai orang berdosa ini sedang subur di dalam Gereja. Sakramen tobat sepertinya tidak banyak bermanfaat lagi. Ada romo-romo yang sudah jarang mengaku dosa apalagi umatnya. Ketika umat meminta kesempatan untuk mengakui dosanya, romo selalu memiliki alasan tertentu. Inilah wajah gereja kita saat ini. Mengapa kita takut untuk mengakui diri sebagai orang berdosa? Saya ingat Paus Fransiskus pernah berkata: “Ketika Tuhan mengampuni dosa, Ia langsung melupakannya. Dia melupakan dosa-dosa kita karena Tuhan memang sungguh baik bagi kita. Melalui sakramen tobat, Tuhan sepenuhnya menghapus segala dosa kita. Kita seakan lahir baru dan menjadi ciptaan baru.” Kalau demikian mengapa kita masih malu untuk mengakui dosa-dosa kita? Wanita pendosa di dalam injil itu terkenal di seluruh kota, kita tidak terkenal tetapi malu untuk mengakui dosa-dosa kita.

Tuhan Yesus memang hebat. Ia memberi perumpamaan tentang kualitas pengampunan berdasarkan kuantitas dosa. Ada dua orang yang memiliki utang kepada sang pelepas uang. Orang pertama memiliki utang 500 dinar dan yang satunya 50 dinar. Karena mereka masih kesulitan maka sang tuan menghapus utang mereka. Dari kedua orang ini, orang yang utangnya lebih besar yakni 500 dinar akan lebih banyak mengasihi tuannya daripada yang berutang 50 dinar. Demikian juga semua orang berdosa, orang yang banyak berbuat dosa, ketika mendapat pengampunan maka ia merasa beban yang berat menjadi lebih ringan. Hal ini terjadi dan nyata dalam diri wanita pendosa di kota itu: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, karena ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit pula ia berbuat kasih.” Tuhan Yesus melakukan hal yang sama, ketika berkata: “Dosamu telah diampuni”. Dia mengatakan kepada wanita pendosa, kepada Anda dan saya.

Tuhan Yesus adalah pengampun sejati. St. Paulus mengatakan bahwa Kristus wafat karena dosa kita sesuai dengan Kitab Suci. Dia lalu memberikan bukti-bukti autentik tentang kebangkitan Yesus Kristus. Ini adalah bukti-bukti tertua: “Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya.” (1Kor 15:4-9).

Santu Paulus membagikan pengalamannya bagaimana ia juga seorang pendosa ibarat seorang anak yang lahir sebelum waktunya. Dia mengakui dirinya sebagai yang paling hina dari semua rasul bahkan tidak layak disebut sebagai rasul. Dia pernah berdosa dan jujur mengakuinya sebagai penganiaya jemaat. Hanya kasih karunia Allah yang dapat mengubah kehidupannya sehingga ia berubah dari Saulus menjadi Paulus. Kasih karunia membaharui hidup Paulus sehingga menjadi rasul agung.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok wanita pendosa dalam Injil dan Paulus yang membagikan pengalaman masa lalu mereka. Mari kita belajar dari kedua sosok ini untuk berubah menjadi lebih baik lagi sebagai anak-anak Tuhan. Berani sadar sebagai orang berdosa, berani rendah hati dan bersujud untuk memohon pengampunan berlimpah dari Tuhan.

PJ-SDB