Food For Thought: Allah telah memilihmu menjadi kudus

Allah juga memilihmu menjadi kudus

Pada hari ini kita mengenang St. Theresia dari Avila. Orang kudus yang juga menjadi salah satu wanita Pujangga Gereja ini pernah berkata: “Mengendalikan kemarahan dalam diri memang tidak mudah. Sebagian orang mampu melakukannya dengan mudah, tapi tidak untuk yang lainnya.” Ada sebuah pertanyaan bagi kita di akhir hari ini: “Apakah hari ini anda sempat marah?” Ayo jujurlah! Saya sendiri merasa yakin bahwa sebagian besar dari pembaca akan mengaku dengan jujur dan merasa berdosa karena telah marah dan mungkin marahnya ‘sembarangan’ atau marah tanpa ada alasan yang jelas. Ketika sadar baru kita merasa malu sendiri dengan amarah kita. St. Paulus pernah menulis begini: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” (Ef 4:26). Nah, mari kita belajar untuk memiliki rasa malu. Kita merasa malu karena sampai saat ini, masih ada orang yang tidak merasa bahwa marah, benci dan dendam dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan baru di dalam keluarga dan masyarakat.

Di tempat lain, Theresia berkata: “Cinta adalah ukuran kemampuan kita dalam memikul salib.” Cinta selalu dikaitkan dengan salib. Kalau kita memandang salib maka kita memiliki reaksi yang berbeda-beda. Ada perasaan sukacita yang mendalam, ada derita yang mendalam saat memandang salib. Benarlah perkataan ini: “Simbol cinta itu bukan hati sebab hati akan berhenti bekerja dan kembali menjadi debu. Simbol cinta adalah salib sebab Dia yang tersalib itu tidak akan berhenti mencintaimu.” Saya sepakat dan boleh mengatakan super untuk perkataan tentang cinta. Dia yang tersalib tidak akan meninggalkan kita seorang diri. Dia tetap mengasihi, bahkan mengasihi kita sampai tuntas.

St. Paulus pernah mengatakan kepada jemaat di Efesus bahwa Allah telah memilih kita sebelum menciptakan jagat raya. Saya tertarik pada perkataan St. Paulus berikut ini: “Sebab di dalam Dia, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (Ef 1:4). Hanya di dalam Yesus, Allah memilih kita untuk menjadi kudus dan tidak bercacat di hadirat Tuhan. Kalau kita marah dan tidak mampu mengasihi maka kita tidak bisa menjadi kudus. Kalau kita mampu mengasihi maka itu menjadi pertanda bahwa kita akan menjadi kudus sesuai kehendak Allah sendiri.

St. Yohanes Paulus II, pernah mengajak kaum muda dengan menyapa mereka: “Jangan takut untuk menjadi kudus!” Kekudusan adalah sebuah anugerah dari Tuhan secara cuma-cuma. Kekudusan adalah jalan kita menuju ke sana. Kekudusan juga bagimu! Apakah anda juga mau menjadi kudus? Kekudusan juga bagimu.

Tuhan memberkati kita semua,

P. John Laba, SDB